.avatar-image-container img { background: url(http://l.yimg.com/static.widgets.yahoo.com/153/images/icons/help.png) no-repeat; width: 35px; height: 35px; }

"Memento Mori"

What is the PRECIOUS thing you TREASURE most in your LIFE?

"Memento Mori" means:

Remember you are mortal...

Vita brevis breviter in brevi finietur,
Mors venit velociter quae neminem veretur,
Omnia mors perimit et nulli miseretur,

Ad mortem festinamus peccare desistamus.


Empati

...Sebuah cerpen konyol yang masih butuh edit sana-sini :P

Jaket hitam yang berkibar usang, rontok uban yang teramat gersang, dua hal yang tertampung dalam satu tonggak tubuh penat berkulit hitam. Ringkih berjalan tertatih, hembusan nafasnya berpacu detik dengan malaikat maut. Mata tua yang mudah meredup dan celana coklat butut yang ia kenakan – adalah pasangan hidup di semakin hari ia bertolak menuju alam azali.
Dan inilah kami. Bertemu begitu saja, di Port Jeremie, tanpa sengaja, tanpa janji. Berjalan, berpapasan, tanpa tegur sapa, hanya berbalas senyum. Tubuh tuanya berjalan lambat – walau sedikit lambat tertahan, tapi pasti. Seakan-akan emosi alam sudah bercampur dengan jiwa raganya. Sedangkan aku? Aku hanya berjalan lurus, tidak lebih. Percuma aku memberinya uang, karena materi itu kini baginya fana dan tidak kekal. Percuma aku bersimpati lebih kepada sang luapan hati, karena pasti ia menolak diri.
Bukan. Tolong jangan tatapkan pandangan skeptis itu ke arahku. Kau hanya belum merasakan. Coba saja kau berdiri disampingku, menatap sosok rentanya dari belakang. Apa yang kau lihat?
~{x-Penasaran? Langsung aja "click" judulnya 2 recall it back...-x}~

Di mataku dia bagaikan matahari. "Bukannya itu cuma gambar lingkaran?", tanya kawanku di sebelah, heran. Tidak, sobat. Keras semangatnya yang telah ia banting habis untuk sisa hidup koleganya. Juga beratus tapak sudah injak hanya untuk membuktikan – bahwa di dunia tiran ini masih ada simpati. Dan meski ia tidak berharap puja, cintanya kepada mereka yang melempar caci begitu luas, bagaikan luapan sinar surya di atas alam raya. Dan tidak sedikitpun sosok renta itu pernah berhendak pamrih. Tidak, tidak sedikitpun.
"Kamu ngomong seakan sudah kenal dia bertahun-tahun aja!", ucap kawanku tergelak. Bibirku tersenyum simpul, sembari mataku masih melekat kepada sosoknya yang sudah mulai menjauh.
Begitulah. Namanya memang tidak pernah tersingkap di berbagai media massa. Ujung citanya juga tidak pernah berpindah menjadi obrolan para pemuda di kampungnya.
Saat pertama kali kami bertemu, dia menasehatiku, "Kehidupan itu pahit jika saja kamu tidak bergerak. Kehidupan itu pahit jika saja kamu berhenti tertawa."
Orang tua itu pernah menuliskan sebuah surat kepadaku:
"Kamu tahu arti langit? Kesanalah para pemuda seperti kamu harusnya menatap. Kesanalah nanti tubuh-tubuh ringkih sepertiku akan berangkat. Aku tidak pernah menyalahkan kuasa Tuhan atas keluargaku. Sudahlah biarkan nama mereka berlalu seiring hembusan angin. Aku percaya mereka tidak akan membiarkan secuil rasa iba mulai terkikis dari hati para manusia. Karena itulah aku tidak pernah mengeluh. Aku tidak pernah berhenti bekerja. Masih banyak para kolegaku yang kelaparan, dan siapa lagi yang akan berbuat? Demi nama mereka dan kunci-kunci masa depan!".
"Tanganku tak mampu lagi mengayuh kuat. Kakiku akan patah jika dipaksakan berlari. Bahkan mata ini sudah tak mampu lagi menangis. Tetapi aku masih mempunyai hati! Tubuhku mungkin lemah tetapi tidak dengan semangat ini!."
Sampai di paragraf itu hampir saja aku tertawa. Dia? Dengan semangat membara? Bayangkan saja sosok mirip kerangka berkata lantang dan berapi-api, tetapi tanpa daya sokong tubuh mudanya yang kini sudah tiada? Bagaimana bisa?! "Bodoh", ucapku saat itu. Tetapi senyumku berubah kerut saat membaca kalimat selanjutnya.
 "Pasti kamu tertawa membaca angan gila si tua ini. Tetapi ketahuilah pemuda - entah siapapun kamu, kelak anganku ini terbukti saat ruhku tercabut. Aku hanya menanam benih empati agar mereka yang belum mengecapnya, kelak akan dapat menuai hasil, memakannya dan kembali menaburkan biji-biji empati lain agar dapat kembali dituai oleh orang lain. Usahaku ini tidak sia-sia. Kau akan melihatnya tidak lama lagi..."
Surat itu masih tersimpan rapi di kantongku. Sudah berapa minggu saat aku memberinya tiga kardus penuh makanan pokok, baju-baju bekas dan beberapa uang kertas...dua minggukah? Tiga minggu? Tidak, mungkin lebih. Orientasi waktuku kacau. Surat tersebut langsung ia tulis setelah dia menerima barang-barang sumbangan dariku.
"Hei, kamu tahu...", kawanku berkata lantang sambil menepuk bahuku, keras. Pikiranku langsung kembali ke alam sadar. "...setiap kali kamu berbicara tentang orang tua itu, kata-katamu terasa seakan-akan dia adalah ayah kandungmu." Aku tersenyum lagi.
"Dia ayahku. Tetapi dia juga kakekku. Dia mengajariku berjuta pengalaman. Walau pertemuan kami berlalu sekejap, tetapi aku merasakannya seperti seorang kakak yang selalu mendukung adiknya. Entahlah, aku seperti pagi tanpa mentari sebelum bertemu dengannya." Beginilah aku dan kawanku - dua orang petugas International Red Cross, kini berdiri terdiam seraya memandang khusyuk ke sosok renta di depan.
Sekarang orang tua itu akan menyeberangi jalan. Lampu lalu lintas menyala merah.
Tetapi tidak....
Jangan...
Tampar aku dan katakan ini cuma mimpi buruk!
Aku berlari sekuat tenaga. Temanku menyusul dibelakang.
Nafasku tersengal. Tanganku nergerak menggeser orang-orang yang berdesakan mengelilingi jalan. "Permisi..!". Mataku terhalang terik. Keringat dingin membanjiri tubuhku. "Maaf! Beri jalan, please..!" Panas. Dan ricuh kerumunan orang-orang yang penasaran tertumpah padat disana. Mengelilingi sosok yang mungkin tak lagi bernyawa. Mobil yang menabraknya telah melaju kencang, menghilang di perempatan. Dengan sendirinya tubuhku langsung bergerak merangkul tubuh si tua. "Tidak....ini bohong kan?!"
Sebuah mobil polisi datang. Satu dari dua petugas kepolisian yang keluar dari mobil memaksaku mundur. Aku melepaskan tubuh yang bersimbah darah itu dan merebahkannya perlahan.
"Apakah anda salah satu kenalannya? Keluarganya? Atau rekannya?!", tanya salah satu polisi dengan nada mengecam. Aku melihat polisi yang lain bergerak langsung meraba-raba sesuatu di balik jaket hitam si tua.
"Bukan! Saya baru saja melihat tabrak lari dan.."
Ucapanku dipotong. "Apakah kamu mengenalnya?"
Ya, aku sangat mengenalnya, walau aku tidak tahu siapa nama orang itu. Tetapi spontan yang keluar dari mulutku, "Tidak, aku tidak tahu."  Kawanku yang baru saja sampai langsung menatapku heran. Aku juga tidak tahu. Kalimat itu terucap begitu saja!
Polisi yang tadi menyelidiki tubuh si tua berjalan ke arahku sambil tersenyum sinis. Di tangannya tergenggam selembar kertas lecek. Dia berkata ke rekannya, "Benar. Dia pelakunya."
Rekannya langsung berpaling ke arahku. "Untung barusan anda bilang bahwasanya anda bukan kenalannya. Kalau benar anda berdua bersekongkol, kami akan langsung menginspeksi anda." Polisi tersebut mengambil kertas dari temannya. "Kemarin malam terjadi pencurian saat para senator berkumpul di The Foyer Curturel. Diduga saat para senator melakukan sebuah transaksi bisnis, orang tua tersebut datang menyusup ke sana. Dan saat mereka akan melakukan pertukaran cek, tiba-tiba saja listrik padam. Saat listrik kembali menyala, selembar cek senilai 2.345 ribu dolar raib. Kamera pengawas yang didukung dengan automatic-generator menangkap orang tua tersebut mengambil cek selagi perhatian para senator teralih, dan kini terbukti bukan?"
"Hahaha! Sudah berbau bangkai masih saja mempunyai niat busuk!", rekan satunya tergelak. Lantas dia meludahi si tua dan menendang tubuhnya. Jasad si tua sedikit terlempar.
Emosiku terbakar. Aku langsung menghantam polisi tersebut sampai terpelanting jatuh. "Jangan perlakukan dia seperti sampah!", aku berteriak lantang. "Kamu tidak tahu apa saja yang orang tua tersebut lakukan! Kamu tidak tahu seperti apa angannya! Bagaimana mimpinya..."
"Sepertinya anda mengenali si pelaku," polisi yang tadi menanyaiku kali ini berkata dengan nada tajam. Dengan sigap tanganku diborgolnya dari belakang. "Anda harus ikut kami untuk interogasi lebih lanjut!"
"Tunggu!", kawanku memotong. "Sepertinya terjadi kesalahpahaman, dia tidak benar-benar mengenal orang tersebut! Maksudku, kami hanya sekali bertemu dengannya dan ...."
Polisi yang tadi aku hantam mengerang keras. Dia berdiri dan dengan tangan terkepal, langsung berjalan ke arahku. "Kamu.." Kepalaku dia hantam dengan keras. Wajahku terbentur aspal. Aku merasakan ada sesuatu yang mengalir dari balik pelipis kananku, hangat. ".....kamu telah melawan hukum, shitty-head!"
Aku melihat kawanku berusaha untuk mencegah si polisi kembali memukulku. "Maaf, tolong maafkan kami! Temanku ini memang mudah naik darah. Tetapi tolong, sekali lagi, dia tidak bersalah! Dia benar-benar tidak terlibat pencurian apapun, ini hanya salah paham!". Polisi yang tadi memborgolku membantuku berdiri. Kemudian dia meletakkan telpon genggamnya di saku.
  "Kamu telah melakukan hal yang sia-sia, kid..", dia berkata kepadaku. "Mobil ambulans akan segera datang. Saat ini kamu harus ikut kami ke kantor." Polisi yang tadi memukulku memandangku puas. Kawanku menatapku cemas. Aku hanya bisa menatapnya balik. Pasrah. Aku bisa merasakan pandangan iba dari orang-orang yang berkerumun disana. Entah itu karena perbuatanku ataupun si orang tua. Aku sendiri tidak tahu apa arti tatapan dan bibir yang berkicau gaduh dari mereka, tetapi aku bisa menangkap rasa empati disana.
Dan mobil ambulans pun tiba. Para perawat bergerak cekatan mengangkat tubuh si tua ke dalam mobil. Aku sendiri berjalan terpaksa diiringi dua polisi di belakangku. Sebelum aku masuk ke mobil polisi, aku sempatkan diriku melihat sekilas wajah si tua yang belepotan darah, tetapi masih utuh.
            Tunggu...Dia tersenyum?!

11 comments:

Miawruu said...

etto... ending ceritanya si orangtua masih hidup atau si tokoh aku itu yg salah lihat???? Tapi sayang juga, semangat dan niat mulia si orangtua tercoreng dg pencurian.

Cuman, ada scene yg agak aneh rasanya Rav, saat senator (yg merupakan org2 penting) melakukan transaksi bisnis bisa dihadiri oleh sembarangan orang? (si orangtua itu). Kan transaksi bisnis ya...palagi dilakukan oleh senator kan sebuah transaksi penting. Biasanya transaksi penting kan cuman dihadirin pihak2 yg terkait aja. (alias ga sembarangan orang bisa masuk ke pertemuan saat transaksi bisnis berlangsung)

anyway... lanjutin dunk ceritanya... gmn nasib si tokoh aku.

April 1, 2010 at 12:03 AM  

x>Rahad 2 Six: hoho, thx sob. Masih amatiran kok, still in long way to learn...;)

x>KucingTengil: haha, yups, tul, that's what I mean here ;).
Jadi si orang tua kepengen buktiin, apakah dgn prbuatanny it org2 yg keras hatiny msh ttap mnympan empati? tryta ad.

kl tntang prkmpulan senator, kn d ats dah dtulis, s orag tua dtang mnyelusup, dan dia telah mngotak-atik sdmikian rupa shingga lstrik pdam ktika dia masuk. Tetapi tetap tertangkap oleh kamera pengawas yg bkerja dgn tenaga baterai. Atau mngkin, ad sran lain wat ganti redaksiny?

April 1, 2010 at 5:59 AM  
Yunna said...

keren kok cerpennya........

April 1, 2010 at 7:45 AM  

terus gmn lanjutanya??nasibmu gmn??orang tua itu siapa mar??

April 1, 2010 at 3:30 PM  

x>Yunna: haha, thanx :p

x>cenith_cenudh: well, tu fiksi loh buu.....cuman cerpen, jadi jgn dprcyain lho, haha :D

April 1, 2010 at 4:44 PM  

ohh fiksi!!!keren kaya di bawa ke ceritanya di bayanginya mudah terusss berkarya Mar:P

April 2, 2010 at 1:20 AM  
rid said...

boleh juga cerpennya :)

April 2, 2010 at 3:35 AM  
Miawruu said...

yaaah... kalo dalam fiksi, bisa diterima kok scenenya kayak gitu. Cuma kalo dalam kenyataan agak aneh aja sih, seolah2, penjagan para senator itu 'cemen' banget (kalo di ina sih mungkin aja hahahaahaha) ampe bisa ditembus oleh seorang kakek2 tua (kecuali kalo kakek2 tuanya mantan militer atau rambo, jadi udah berpengalaman menyusup). apalagi kan susah Rav, mencuri dalam gelap, kecuali si kakeknya punya kacamata infra red jadi ga salah ngambil antara cek dan kertas biasa :p

tapi kalo buat fiksi cerpen sih, bisa diterima kok, kecuali ni fiksi mang khusus buat novel action baru kerasa janggal, ada kakek2 biasa tapi hebat bgt nembus keamanan tmp transaksi bisnis ribuan dollar berlangsung dan bisa ngambil ceknya di tengah kegelapan tanpa adanya lampu (kan listriknya disabotase):D

tapi dalam ceritamu lebih menekankan makna di balik cerita, dan itulah yg penting. menyampaikan pesan yg pingin dikau sampaikan dibalik cerita ini (I like the way you send your message, pemilihan katanya keren^^)

April 5, 2010 at 10:34 AM  

x>cenith: hmm...? preet (lagi ngikut paham sarkatisme :D)

x>rid: masih butuh edit sana-sini ;)

x>KucingTengil: well, ni settingny d Port Jeremie (alinea 2), jd setting ngmbil d Haiti pasca gempa kmrin, nah restoran yg aku tlis datas tu kbtulan restran yg sring dpke transaksi snis dunia bawah dsna....n mmang securityny trknal lemah. Thx wat kritkanny key, kucing jg nlis cerpen lg dunk :D

April 5, 2010 at 5:00 PM  
Miawruu said...

Mia pernah seh,nulis cerpen renungan di slh satu postingan mia. Tp jgn ampe dkau baca. Pasti malah ngakak+muntah darah dkau nantinya. Walau bwt renungan tp romantis seh hahahaha bukan genre dikau :p

April 8, 2010 at 7:46 AM  

x>KucingTengil: yg d fanfics it bkn? kekeke....keren kok, asli g bkin mntah darah, tpi bkin mie ramen yg brusan ak mkan kluar smua, *hoeeks...*

April 12, 2010 at 10:47 PM  

Post a Comment

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Software