.avatar-image-container img { background: url(http://l.yimg.com/static.widgets.yahoo.com/153/images/icons/help.png) no-repeat; width: 35px; height: 35px; }

"Memento Mori"

What is the PRECIOUS thing you TREASURE most in your LIFE?

"Memento Mori" means:

Remember you are mortal...

Vita brevis breviter in brevi finietur,
Mors venit velociter quae neminem veretur,
Omnia mors perimit et nulli miseretur,

Ad mortem festinamus peccare desistamus.


Kabur



Lelaki itu kembali melempar tatap
dari mata yang semula batu

Diambilnya payung, diajaknya berlari
takut tergores rintik membeku

Dan terus ia mengayuh laju, sampai
yang ia kejar bermalu waktu



That was Awesome!

Fellas! So long since this humble moron (as me in myself, lol) share a little laughable things to enjoy. And do you know what a funniest moments in the world could ever be?

It's our life.

Well, heck with that. Permasalahan yang sering dipermasalahkan dalam dunia intrapersonal adalah berhadapan dengan seseorang bukan dengan bagaimana kita memandang diri, tapi lebih mengedepankan kira-kira apa yang terbaik. Kita gunakan topeng untuk menutupi jiwa.

Jika ingin mengkritik seseorang, alangkah lebih baik untuk bercermin terlebih dahulu kepada diri sendiri. Memang tidak ada manusia sempurna, semua pasti banyak silap, khilaf. Tapi kita ambil sisi positifnya. Semisal, jika kita mengkritik teman satu kost untuk melakukan suatu hal, di mana dia memandang bahwa kita yang memberi saran juga sama tidak melakukan hal tersebut, maka lumrahnya, reaksi apa yang bakal kita dapat kecuali pandangan sinis dan senyum mencibir?

Bukan menyindir. Tapi reaksi itulah yang paling sering kita dapatkan jika mengkritik (atau memberi saran) kepada teman, kawan, keluarga atau siapa lah yang sudah mengenal kita lumayan lama untuk telah mengetahui bagaimana keseharian kita. Mengingikan yang terbaik? Beri impresi yang baik! Ushii nafsii wa iyyakum. Saya menasehati diri sendiri dan kita semua.

Oke, puas sudah cuap-cuap di sini. Intinya memang pandanglah orang lain bagaikan cermin untuk hati. Kalau tidak bisa berlaku seperti itu, percuma. Mata pribadi dalam memandang hidup dan sosialita nantinya hanya terbatas pada apa yang tampak, tidak sanggup melongok sedikit untuk melihat faktor-faktor di balik itu semua.

Intinya, well, to @#$% with you. Saya sudah pernah mengatakan secara langsung kepada pada anda secara pribadi hanya untuk berteriak kepada gema, mungkin inilah saatnya untuk berbagi kepada dunia. Memang setiap orang selalu memiliki satu cara atau yang lain dalam berinteraksi dan kita tidak bisa menghendaki semuanya sesuai dengan keinginan diri. But everyone's critic anyway.

Well, sedikit penutup dari kekaguman yang sangat meluap-luap dari dasar hati ini, ada satu gambar dari salah satu karakter Marvel favorit, Deadpool, yang sengaja saya suguhkan kepada para objek di sana:














Yeah, you are awesome. I'm clapping my hand right now too.

Diam

Pucat kemilu yang dulu kau singkap
dibentang hunus, tantang gerhana
Lantas di batin kau diam gertak

Sudah!

Malam terpasung tanpa jala
Di pucuk hitam, guruh bergelayut
Menghujat kiri, sanubari
Membunuh rindu, kau takut

Coba ingat kembali periode awal SBY menjabat sebagai penguasa Indonesia, banyak hal-hal positif yang tertuai. Dia sudah dipercaya rakyat untuk menahkodai Nusantara dengan gemilang. Tapi selang beberapa bulan dari 20 Oktober tiga tahun silam, banyak kecam dan sindiran dari pelbagai pihak dan semua tertuju kepada pria kelahiran Pacitan ini. Memang benar ucapan salah seorang Kompasianer atas perlunya penyegeraan amandemen UU bahwa presiden cukup menjabat satu periode saja, tidak lebih. Karena realitanya, aksi dan tindakan presiden saat awal dilantik, benar bertujuan untuk menggubah negara agar apa yang pernah ia janjikan saat kampanye bukanlah sekedar obral kata. Memasuki periode kedua, posisinya aman, hidupnya sudah tentram. Fasilitas yang diperoleh selama empat tahun masih kurang. Walhasil, lupa, terlena, kritik rakyat diacuhkan, tambah maju pantat-perut, kena kecam.

Masisir juga punya republik. Bak negara mungil, ada sistem, ada trias politika. Mengaca pada Indonesia, masyarakat Masisir juga tidak buta. Mereka paham dinamika, paham sosialita dan bosan digombali. Jadi pemimpin yang terpilih adalah hasil kesadaran komunal yang terbangun atas kepercayaan kolektif, bukan rekayasa prajurit kampanye. Berangkat dari asas ini, bisa disimpulkan bahwa suara mayoritas menentukan. Lantas timbul pertanyaan, jika pemimpin mendzalimi rakyat, itu salah pemimpin atau yang dipimpin? Kan rakyat sendiri yang memilih pemimpin? Mereka yang terpilih untuk memimpin juga tidak mungkin menjadi pemimpin jika bukan karena suara rakyat, bukan?

Konteks yang perlu dicermati di sini, terutama tatanan kepemerintahan. Untuk melumpuhkan kawanan musuh misalkan, bidik sang jenderal, prajuritnya pasti berhamburan. Tata negara pun begitu, jika kepemerintahannya sudah benar, pastinya jejeran di bawahnya turut mengekor. Meski tidak menafikan ada pengecualian dalam beberapa kasus. Tatanan sebuah kepemerintahan dan pemerintah itu sendiri dikatakan baik dan sukses, jika melalui proses yang benar-benar matang. Dalam hal ini, ada dua hal yang perlu dibahas, disadur dari beberapa ulama klasik, dimana antara konsep satu dengan yang lain terdapat pola yang mirip dan saling melengkapi.

Pertama, terpilihnya seorang pemerintah (selanjutnya, kata pemimpin akan selalu merujuk ke pemerintah). Mawardi dalam buku al-Ahkam al-Sulthaniyyah-nya menyatakan bahwa terpilihnya seorang pemimpin merupakan hasil kesepakatan antara Ahl al-Hilli wa al-‘Aqdi atau Ahl al-Ikhtiar dengan calon pemimpin terpilih, berasaskan sebuah kontrak sukarela yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak. Tentunya kontrak ini juga berdasarkan asas timbal-balik. Jadi, pemimpin berhak untuk ditaati oleh rakyat dan menuntut loyalitas penuh dari mereka, tetapi pemimpin juga berkewajiban untuk melindungi dan mengelola kepentingan rakyat dengan baik dan bertanggung jawab. Sedikit berbeda dengan teori kontrak sosial milik Hobbes, Locke maupun Rosseau. Tapi satu hal yang perlu dicatat, Mawardi lebih dulu mengungkapkan teori ini pada abad XI, sedangkan yang berkembang di Eropa baru muncul pada abad XVI.

Di karya fenomenal Two Treaties of Government, Locke juga menyatakan hal senada. Ada konsekuensi yang tercipta dari kontrak rakyat dengan pemerintah, bahwa pemerintahan adalah suatu trust (amanah), sedangkan rakyat berfungsi sebagai pemberi amanah sekaligus beneficiary (yang diamanahkan) dan pemerintah di sini adalah trustee (penerima amanat). Jadi, pemerintahan adalah amanah yang diberikan oleh rakyat kepada pemimpin terpilih yang mengindikasikan bahwa rakyat ikhlas terpimpin dan mengakui kredibilitas ‘yang terpilih’ sebagai pemerintah mereka. Di sini, Locke lebih menekankan bahwa kewajiban yang ditampuk pemerintah lebih krusial dibandingkan hak yang diperoleh. Rakyat pun berhak untuk menarik amanah yang telah mereka berikan kepada pihak penerima amanah, jika dia mengabaikan kewajiban-kewajibannya. Maka, pemimpin tidak boleh semena-mena menjalankan tugas. Kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan secara penuh, karena apa yang ia pegang tidaklah kekal, sekedar semu dan bisa dilepas kapan saja.

Di sini ada benang merah yang bisa ditarik. Mandat, tanggung jawab, atau amanah (trust), begitu Ibnu Taimiyah menyebutnya dalam buku Siyasah Syar’iyyah fii Islahi al-Ro’i wa al-Ro’iyyah, meminjam istilah dari surat an-Nisa ayat 58. Amanah ini adalah hasil dari kontrak antara pemimpin dengan rakyat, dan amanah ini langsung diprakarsai dan dijaga oleh Empunya Segala. Jadi, menurut Ibnu Taimiyah, terpilihnya seorang pemimpin tidak lain karena kehendak Allah SWT dan pemimpin adalah wali-Nya. Dia juga mengatakan bahwa pemimpin negara wajib menyampaikan amanah kepada pihak yang berhak dan berlaku adil.

Oleh karena itu, hal kedua yang perlu diperhatikan untuk seorang pemimpin adalah penyampaian amanah dan berlaku adil. Ibnu Taimiyah menjelaskan konsep tersebut dengan realita yang ia alami, dimana dia hidup pada masa dunia Islam sedang dalam puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial, dan dekadensi moral. Bagi Ibnu Taimiyah, amanah yang terkandung dalam surat al-Nisaa: 58 mempunyai dua arti.

Satu, amanah merupakan segala kepentingan rakyat yang wajib dikelola oleh pemerintah. Pengelolaan tersebut hanya berjalan baik dan sempurna jika pemerintah terpilih benar-benar cakap dan mampu. Sedikit berbeda dengan pengertian Mawardi, dimana amanah adalah produk dari kontrak sosial antara kedua pihak. Arti kedua, yaitu amanah tersebut adalah kewenangan memerintah yang dimiliki oleh pemimpin dan jika dalam pelaksanakannya membutuhkan bantuan wakil seperti menteri, dll, maka dalam pengangkatannya tidak boleh ada unsur subjektifitas dan nepotisme. Tapi jika memang tidak ditemui seseorang yang bukan ahlinya, maka boleh mengangkat siapa saja yang dianggap pantas dengan memperhatikan dua faktor: kekuatan karakter yang sesuai dengan bidang tempat ia bekerja nanti, serta integritas yang dinilai dari ketakwaannya kepada Allah secara utuh dan kesetiaan kepada hukum Islam dengan mendalam.

Maka, terpilihnya pemimpin adalah tanggung jawab rakyat, karena secara tak langsung, rakyat-lah yang memilih pemimpin mereka. Dalam prosesnya, tercipta sebuah perjanjian kasat mata antara pemimpin dan rakyatnya. Rakyat rela dipimpin, siap dikomandoi, siap loyal, tapi pemimpin juga harus siap bertanggung jawab, siap berlaku adil dan siap mengelola urusan rakyat. Keterpahaman ini terbentuk secara otomatis. Jadi, ketika pemimpin sudah tidak lagi mengindahkan urusan kepemimpinannya, tidak ada salah bagi rakyat untuk memintanya mundur. Teorinya simpel, meski aplikasinya sulit. Kepatuhan mutlak pada pemimpin hanya terjadi ketika pemimpin dan rakyat sama-sama melaksanakan amanah masing-masing. Dan kasus yang acapkali terjadi, kesalahan terletak pada pemimpin yang terlena janji, terbuai fasilitas dan tidak mendengar keluhan rakyat. Jika sudah seperti ini, pemimpin-lah yang salah karena melanggar amanah yang sudah disepakati. Maka jika pemimpin lalim berkuasa dan sistem yang berlaku telah termonopoli, meski tidak harus, kudeta selalu bisa menjadi opsi.



Hollow

Just like a plain shell. Empty. With no regards. With no sorority. With no authority.

Your face is always be here. But my heart is hollow.

Could I break that chain of fate?!

Bulir Patah milik Langsa

Dambanya melati dibentuk baris, lekat-rapat
jadi permadani
dalam hangat tatap Murai kecil
terguyur hujan mutiara pagi

Terhampar kaki-kaki menjejak letih,
bersisa decak dibalik puji
yang menyela manis berkernyit dahi
berpura rindu, ah, alunan klasik

'Tuk berkata satu, pikirannya seribu
dihampirinya permadani kembali
ditemuinya wangi kesturi

*teruntuk Putri di Tanah

Pareidolia



 Dia tahu bahwa dalam profesinya, sabar adalah kunci segalanya. Maka ia menahan diri untuk memaksa. Bak seorang profesional, posisi duduknya kembali ia atur, lalu masih dengan pena di tangan kanan, ia kembali bertanya.


“Mari saya ulangi lagi ya, pak Malik. Dari tadi percakapan kita masih berputar-putar. Saya mohon partisipasi anda dengan teramat sangat,” kata demi kata ia atur dengan sehalus dan serapi mungkin agar tidak timbul perasaan melawan dari klien yang dihadapi. Sebenarnya dia ingin mengatakan, Yang bermasalah itu anda! Tapi buru-buru dia kubur dalam hati.

“Fokus ya pak. Tadi pak Malik sudah menjelaskan mimpi yang kerap menghantui bapak. Sekarang, saya ingin tahu apa yang bapak lihat dari gambar ini.” Nada tiap kata masih sopan. Masih halus dan tertata. Lantas dia mengeluarkan sepotong kertas bercorak hitam seperti gambar tinta tumpah dari balik meja.

Yang ditanya justru tidak langsung menjawab. Pikirannya kembali saat pertama kali dia memasuki ruangan ini, kesan minimalis benar-benar sangat terasa. Kecuali satu pelapis dinding bergambar sebuah  ular besar berwarna putih dengan latar belakang hitam gelap yang terpampang dengan jelas di hadapannya sekarang. Ular tersebut membentuk sebuah lingkaran dengan ujung kepala hampir bertemu dengan ujung ekornya, seakan-akan ingin menggigit ekornya sendiri. Aneh, gumam Malik.

~{x-Penasaran? Langsung klik judulnya untuk baca kelanjutannya. Psyche!-x}~

Saya sangat menikmati sekali. Malam, dimana yang lain khusyuk beribadah kepada-Nya dan kita termasuk di dalam kerumunan tersebut, kemudian pada penghujungnya, menyusul ikrar "Merdeka!" seperti yang dikumandangkan pada 67 tahun silam dari sekelompok manusia yang berdiri rapat bersama. Mereka terhormat. Mereka siap. Mereka kunci masa depan. Mereka penggoyang, ah maaf, penggoncang dunia!

Itu kemarin. Hanya beberapa saat sebelum jarum jam berdentang dua belas kali dan pekik takbir berdendang memekakkan seisi aula. Aula yang pada sejatinya mungkin sanggup membendung hingga dua ratus kepala manusia, tetapi pada idealisme dan semangat terbakar yang saya lihat mencuat hingga keluar dari jendela dan tumpah ke jalanan Su'q Sayyarot, saya skeptis. "Kok bisa pesimis gitu?" Atapnya bakal roboh, saya jawab. Bagaimana tidak? Jika sedari awal riuh segunung ide saling tumpang tindih, berputar-putar, meliuk-liuk, lalu bak angin topan yang kasat mata, mendobrak hati per orang dan menyadarkan mereka akan kehampaan. Mungkin bukan atap saja yang roboh. Tapi kebodohan yang mengakar di kelam hati muslim Indonesia, bisa tercabut, terbang, hilang! lantang hati saya berteriak waktu itu, disambut mulut-mulut yang menganga.

Ah, maafkan bahasa saya yang berapi-api. Tapi memang tidak bisa menafikan analogi, tatkala sebuah ide sudah bertengger di kepala, akan sulit terlepas kecuali oleh kehendak empunya sangkar. Pada malam itu, di Aula Griya KSW, Rumah Budaya AKAR menampilkan sebuah acara. Saya tidak mau bermulut manis hanya sekedar memuji kehebatan dan kesuksesan acara tersebut. Tapi dibalik sesuatu yang besar, pasti ada penyangga ide yang jauh lebih besar. Di sini, saya berusaha mengupas konsep tersebut satu persatu.

Tema yang diangkat adalah "Merdeka atau Kaya Raya." Ah, semoga pisau yang saya gunakan untuk mengupas ini benar tajam adanya. Jadi begini, acara dibuka dengan rentetan formalitas biasa. Kemudian sebuah lagu. Lantas seorang Tabrani Basya maju ke depan dan memaksa hadirin untuk berdiskusi dengan hati masing-masing. Apakah benar kita sudah merdeka? Nah, merdeka dari siapa? Merdeka dari apa? Mari melatih diri melawan hipokrit.

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa hak seseorang terbatasi oleh hak orang lain. Kewajiban seseorang juga pastinya tergeneralisirkan dengan paradigma sosial, dimana kewajiban dalam konteks ini merupakan kewajiban seorang manusia antar sesama. Pertanyaan menarik yang muncul adalah kewajiban sosial sebagai penghidupan. Dalam garis bawah, penghidupan yang menghidupi, bukan hanya menghidupi satu indivdu tapi juga lingkungan dan sekitarnya. Tapi semisal ada antitesis, "Ya suka-suka dong, maunya seseorang itu seperti apa. Mau kaya sendiri kek, mau senang sendiri kek, mau galau sendiri kek. Bukannya itu hak? Kalau anda menyalahkan saya, justru HAM yang sedang anda tentang."

Sebenarnya tidak sepicik itu, kawan. Hak seseorang memang tidak terbatasi kafan sekalipun, tapi terbentur dengan hak-hak lain yang masing-masing berteriak, "Sama penting." Tiap pribadi pasti punya kepentingan masing-masing. Masalahnya, jika setiap pribadi hanya terus mementingkan kepentingannya sendiri tanpa memperdulikan kepentingan-kepentingan lain di sekitarnya, akan lahir di masa mendatang, calon generasi apatis nan egois yang bakal mengejar kepuasan hedonisme semata. Mereka beranak-pinak, memiliki cucu, mati meninggalkan idealisme korup, dan terus begitu jika tidak terjadi pembenahan di tengah-tengah. Dan jika keadaan ini berlanjut, akan jadi siklus. Lantas Indonesia mati. Rakyat menjerit. Pribadi-pribadi korup bermental materialis bermulut manis semakin jelalatan kemana-mana. Umbar janji, cekik leher, batin puas, kemudian meludah.

Jikalau hal itu terjadi, tolong cepat bangunkan saya dari mimpi buruk paling horor yang pernah saya alami. Pasalnya, jika kasus tersebut terjadi hanya dalam skala kecil, maka boleh manusia bersombong, "Ah, paling cuma tetangga yang itu-itu aja nantinya bakal protes." Tapi jika sudah terjadi pada skala nasional, imbasnya juga pada infrastruktur tatanan negara tersebut. Dalam hal ini, Indonesia. Taruhlah orang-orang yang berpikir sekedar untuk mengisi rekening mereka dalam wadah rakyat jelata yang hanya sekedar mengiba. Rakyat cuma bisa mengharap dan meminta. Para materialis itu malah semakin mendongakkan kepala. Kan, egois.

Padahal dalam Islam sendiri sudah gamblang tersampaikan bahwa salah satu tujuan risalah Nabi SAW adalah sebagai rahmat bagi sekalian alam, baik umat pemeluk Islam maupun non-muslim, bahkan mencakup hewan dan benda-benda tak bernyawa. Dalam tataran sosial, Allah SWT mewajibkan kaum berada untuk turut membantu golongan papa. Bahkan Dia akan meminta pertanggungjawaban kepada orang kaya jika ada tetangganya yang mati karena tak mampu mengisi perutnya. Oleh karena itu, tataran individual dalam Islam sengaja saya kaitkan di sini,mengingat mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam dan ketersangkutpautan dengan 'kekayaan' sebagai momok bukan tujuan. Atau boleh sebagai tujuan, tapi hanya dalam garis bawah, mensejahterakan sesama, bukan cuma perutnya dan semata keluarga atau kolega. Sosial itu seluruh, bukan segolongan-segolongan. Masak Indonesia mau kita segiempatkan. Kita masih satu bangsa kan?

Saya teringat, Yusuf al-Qaradhawi, salah satu pemuka agama di Mesir, pernah menyatakan pada tahun 1415 H, “Salah satu keistimewaan sistem Islam adalah tidak terpisahnya politik, ekonomi dan akhlak, seperti halnya tidak rusaknya perpaduan sinergis antara ilmu dan akhlak.” Saya mohon maaf jika terlalu mengintegralkan masyarakat Indonesia hanya kepada penduduk Muslim saja, padahal harusnya majemuk dan tidak me-nyegiempat-kan seperti perkataan saya di atas. Tapi saya meminta izin untuk mengutip perkataan ulama tersohor ini, karena memang betul begitu. Tiga faktor penting yang menentukan tinggi rendahnya tingkat moralitas suatu bangsa ya bisa dilihat dari tatanan politik, sistem ekonomi yang dilakui, serta akhlak tiap individu. Jika politik sekedar menjadi ajang cari pamor, timbun harta, rebut kuasa, disambut gayung dengan sistem ekonomi yang konon 'campuran' tapi kental dengan nuansa kapitalis. Hancur bangsa. Yang lahir bukannya generasi cemerlang tapi malah generasi apatis. Generasi ular. Generasi egois. Ah, semoga saya tidak sedang menggunjing generasi tua sekarang ataupun yang muda.

Jujur, saya takut. Jika para 'kita' sekedar melaksanakan upacara bendera untuk ritualitas, itu juga yang mau saja. Lomba 17 Agustus-an juga ritualitas. Belum lagi pada tahun ini,  peringatan kemerdekaan yang begitu sakral jatuh di bulan yang lebih sakral lagi, Ramadhan. Puasa sekedar rutinitas, tuan puan semua? Atau mungkin ritualitas? Pada awal jatuh bulan, semua berbondong-bondong ke masjid. Saling berlomba mengisi shof terdepan. Seiring beralih waktu, yang ada semakin hilang. Yang semula giat, kemudian lenyap. Oh, ternyata maksud awal sering Tarawih cuma pengen tampil kece. Cari gebetan baru, tuan puan? Atau malah setelah sholat langsung hang out? Berduaan lagi? Berpegangan tangan lagi? Ini yang muda-mudi. Meski beberapa lain ada juga yang menghabiskan waktu sekedar nongkrong di tepi jalan sambil merokok dan banyak lagi yang tidak berjam'ah bukan karena ada udzur, tapi menyengajakan. Lebih parah. Di rumah, mata tertatap pada monitor, tidak bisa terlepas. Fenomena yang saya sendiri pernah menjalani dan mengakui, karenanya saya mencibir diri sendiri dan kita semua.

Pada intinya, semua kembali ke niat masing-masing. Makna kemerdekaan hanya berbuah semu jika tidak diiringi dengan perilaku dan perlakuan untuk bersama memajukan bangsa, bukan hanya perut dan pantat saja. Makna Ramadhan bukan sekedar menjadi suci hanya dalam satu bulan, kemudian lepas, lalu liar, kembali binar, banal. Bukan. Ramadhan dan revolusi, keduanya adalah wajan proses. Manusia dimasukkan ke sana, api jiwa dibakar, entah nanti jadinya setengah matang, enak, atau malah gosong, bukan tergantung lamanya memasak tapi kualitas hati dan kekentalan tekad yang jadi penentu. Cara menilainya juga bukan sehari atau dua hari setelah dimasak, alias hari H, melainkan seminggu, dua bulan, sampai dua belas bulan ke depan dimana kita kembali menjadi bahan yang akan dimasak di wajan yang sama.

Jadi pertanyaan terakhir, dan inilah kulit yang belum bisa saya kupas: "Sudahkah kita menjadi pribadi yang bermanfaat bagi diri sendiri, lingkungan, negara dan agama?" Kali ini saya menolak untuk membenturkan tanya ke dinding dan sengaja melepasnya ke angkasa luas.


Bersiar di Kali Labuh

Untuk Indonesia yang selalu di hati. Untuk Indonesia yang selalu bersemi. Untuk Indonesia yang tergopoh berdiri. Dan Islam sebagai pucuk ikrar Ibu-ku berlari!


Janji Selembar Kain
 
Dia telisik, tiap sudut, tiap ukir
bulir permata menggaris lekuk di pipi
Tiap pasang, saat senja menggerayang
Gesit jarum, gemulai tak terusik

Untuk dua warna titah kahyangan
Satu wujud prisma kehidupan

Bak genang tiram dibalik rindang cendana
pasti ada sejuta pinta
Seuntai geram dalam untaian benang 
dulunya sengsara
simbol aksara murka
Tapi masa depan, ah
Mahaparana
Kunci bangsa gapai nirwana



-Tanah Tanpa Sebuah Nama-

Latah, berpatah-payah,
musim kata
kutuk bajing antek laku damar
Langkah serdadu kurcaci mulai sayup
Hanya kepak merpati usap peluh

Angin membawa kesturi sayat hati
Geranggangmu menggarang, tuan?
Kembali hina, nista

Hadang, tikam
Mati tanpa diam
Pekat merah jerat bumi
Putih lelakon tampil Persada

Kasmaran bangun nisan, tuan?
Angguknya, tanpa tiran


-Rengasdengklok-

Dalam gelap bebayang nanti rapat meringkuk
tanya pada dinding, cuma batu
Tidak ada waktu, raga satu-satu dibalut dungu
wayang wajah tutup hati buruk beruk
"Belenggu lepas?" nanti katanya
Baris bibir rapi-rapi terbelit bungkam

"Kita semut, tapi gundukan. Lawannya gajah,"
lupa di kaki, semut terinjak-injak sudah
Tidak bisa! Songsong matahari biar lebih sigap
biar terbakar bui mimpi para tua
"Bisa saja, kemari, ambilkan tinta"
Kalah! Ronta raga tanpa kata banyak silap
Terkucilkan kisah dimana dua orang
dianak tirikan saudara sepangkuan

Cendrawasih terpancung, kabar dari Timur
"Kabar baru?" Gerit letih yang menjawab
Bebayang kembali memeluk lesu
Yang harapnya pendar, samar pudar
Segenap dinding ramai berpantul bising
"Sakura tumbang! Sakura tumbang!"
Bebayang hilang, diganti bakar
"Apakah benar? Dimana kabar?"
"Sakura tumbang! Sakura tumbang!
Ramai, ribut, hura, pikuk

"Indonesia!"
Yang retak dalam jiwa, sudah satu
Lampiran selembar cita
tinta baru tumpah-tumpah
Diiring sajak, parade lagu
"Tanah tumpah darahku!"


Lidah Lipan

Hina, dina, dusta
Kerap kutemu di mukamu batu
Sedia payung berhujan mawar
Sumpal mulutku

Tak ayal berkelok lari
Tak ayal berbasa-basi
Tak ayal disangka mati
Tapi mati masih mencaci

Buang busuk bopeng senyum itu
manis muka tusuknya ganas
Yang ingin kujejalkan di sempal ketam-mu
Hina, dina, musnah!

Paranoia


~sebuah cerpen~

Seperti malam-malam yang lain, jalanan itu sepi. Pucat si bulan seperti mau muntah, kuning galaunya tertutup awan kelabu yang cemburu pada banyaknya bintang. Lampu-lampu di pinggir jalan rusak separuh. Beberapa malah kedap-kedip seperti lampu disko. Genangan air dan kumpulan sampah berserak yang tak jelas dari apa, membuat Anna sedikit bergidik. Ia sebenarnya tidak takut gelap. Ia benci kotor. Tidak bersih. Tidak higienis. Sampah-sampah itu jelas membawa banyak penyakit. Beberapa anjing buduk saling berebut sisa makanan. Wanita bertubuh semampai itu segera menyingkir ke sisi lain jalan. Meski sinar lampu tidak terlalu terang, tapi dia masih bisa melihat ke sekitar, hanya dalam radius beberapa meter. Asal jangan dekat-dekat dengan hewan najis itu, batin Anna.

Anna mempercepat langkah. Awalnya dia tidak ingin melewati gang ini. Tapi apa boleh buat, dia sudah terlambat. Baginya pulang diatas jam 12 malam adalah hal yang tabu. Karena dia harus tidur cepat, dengan porsi yang cukup tentunya. Lalu bangun dengan sinar pagi yang membelai lembut, ditemani dengan secangkir teh dan sepotong roti beralaskan selai nanas, dan melanjutkan aktifitasnya yang padat sebagai mahasiswi di Universitas ‘Ainu Syams  dengan rutinitas yang terpogram.

Huh! Ia mengutuk dalam hati. Rencananya harus disusun lagi dari awal.

Beberapa puing terserak sisa pembangunan di gang yang sempit itu. Anna memerhatikan dengan seksama. Di depan tumpukan batu itu, sebuah rumah kecil yang seharusnya akan dijadikan sebuah losmen dengan harga murah, sudah ditelantarkan menjadi rumah hantu. Tidak ada orang yang mau menginap di tempat kumuh dalam gang menjijikkan seperti ini, pikir Anna. Hanya beberapa bulan setelah losmen itu diresmikan dan pemiliknya melarikan diri entah kemana. Losmen itu ditelantarkan begitu saja, karena itu penduduk lokal menyebutnya rumah hantu. Kosong, sepi, tanpa penghuni. Plakat kayu bertuliskan Cairo Inn yang bertengger di atas pintu losmen sudah lapuk digerogoti rayap, samar-samar menyisakan huruf ‘Ir’ dan ‘In’. Hampir beberapa minggu yang lalu polisi lokal sempat menciduk beberapa pengedar narkotika yang menjadikan losmen itu sebaga markas mereka. Kini rumah hantu itu hanya menjadi kandang bagi anjing-anjing dan hewan-hewan lain yang terlantarkan. Anna sedikit mengernyit dan mempercepat langkahnya. Bahkan dari jarak beberapa meter saja sudah tercium bau tidak sedap. Kotoran dari binatang-binatang itukah?Atau bangkai?

~{x-Penasaran? Langsung klik judulnya untuk baca kelanjutannya. Psyche!-x}~

Pasang langkahmu getarkan debu jahanam
Ketemu satu jalan semu
Kemana topan menghadang?
Mukamu muka Raja, muka Ratu
kujadikan alas sepatu

Biar diiring kecapi, sama saja
Kunang menari tersulut api
Api padam puntung hanyut
Lalu isak
Yang mana?

Gadis tatap rembulan
di bibirnya, mantan cenduai
"Kusimpan, hingga kujelang malam"
Tanpa mengerti maksud arti

Dia bingung, asanya rabut
Hingga ujung waktu menyisir 'luruh pahara pun
tak kuasa hapus lekat memori
Di hatinya, hanya satu damar kesturi
Gusah puji, suci
Tanpa cela

Wanggara, wara-wara,waranggana
Satu-persatu minum warangan

Waranggi, wira-wiri,warakawuri
Mari diam

Worawari bertaburan

Buta


Merah - ia melihat, kusam terkikis dibalik amarah
rabun terbugkam melhat ranting mendua
dilihat, ujung cemara pucuknya ikat
barisan dusta, disentuh luka
Dikagum fana, akhirnya berppasrah ada angin

Dan dilihatnya pagar itu rendah, rapuh
dibawah - rerimbunan lembut yang dulu dirindu
Serahnya bersatu, demi masa, ia menjadi burung!
Angin terbahak



Alumni pondok yang kuliah di universitas umum itu kebanyakan moralnya bobrok. Beberapa kawan saya pernah cerita, dengan santainya mereka menenggak minuman beralkohol seakan-akan minuman itu sekedar teh fermentasi. Di lain kesempatan, mereka juga cerita bahwa karena semalaman begadang nongkrong di warung kopi, paginya mereka melalaikan sholat Idul Fitri karena bangun kesiangan. Alasannya? “Kan sholat ‘id termasuk sunnah mar, bukan sunnah mua’akkad lagi.” Yap, alasan yang sangat masuk akal. Tapi pahala sholat ‘id yang hanya dapat diperoleh dua kali dalam setahun itu apa bisa diperoleh kembali pada tahun berikutnya? Mungkin, jika masih hidup. Tapi apakah kita berani menegaskan kata kita masih hidup pada hari esok? Ah, sesumbar menantang takdir. Hanya orang kuasa yang bebal imannya berani berlagak di hadapan Sang Pencipta.
Ah sebelumnya, mari intermezzo sejenak. Saat berjalan-jalan di taman, saya selalu kagum dengan sebuah tanaman  dari genus Taraxacum, atau yang lebih terkenal dengan sebutan dandelion, adalah kemampuannya untuk bereproduksi tanpa adanya penyerbukan dengan hasil keturunannya pasti identik dengan tumbuhan induk. Bayangkan saja, satu bunga saja mempunyai ratusan kuntum yang lebih kecil dengan hanya satu batang kepala benih. Pada musim gugur atau musim semi, terkadang sering kita melihat kuntum-kuntum itu terbawa angin, menuju jendela, menuju lapangan, menempel di baju, lewat selintas di depan muka. Bisa saja, dandelion yang kita jumpai di Bawwabah merupakan cabang kuntum dari induk yang tumbuh di Gami’, atau bahkan madrasah. Maka hal kedua yang saya kagumi dari dandelion ini, adalah penyebarannya yang sangat majemuk dan tidak terbatas jarak.
Hanya saja, identik tidak berarti mempunyai sifat yang sama seperti induknya. Rupa dan bentuk boleh serupa, tetapi faktor geologis dimana kuntum-kuntum kecil itu tumbuh sangat berpengaruh. Dari sekian banyak kuntum yang tersebar, berapa banyak probabilitas dari masing-masing kuntum tersebut yang mampu benar-benar tumbuh hingga sama elegannya seperti sang induk? Kurang lebih 35 persen. Berapa banyak kita dapati kuntum-kjuntum tersebut tergeletak begitu saja di jalan, menempel di tiang listrik, masuk ke ruangan, dan berbagai macam kemungkinan lain yang menyebabkan kuntum tersebut tidak menempel di tanah. Mungkin begitu pula dengan para alumni PM Darussalam Gontor.
    Setelah graduasi, masing-masing pribadi mulai menonjolkan watak asli. Seorang santri yang malu mengaku santri. Seorang santri yang lagaknya bukan seperti santri. Seorang santri yang salah bergaul sehingga lupa status dirinya sebagai santri. Seorang santri yang biasa-biasa saja ke-santri-annya.  Atau seorang santri yang sengaja menjual ke-santri-annya agar mendapatkan prestise. Alumni PM Darussalam Gontor sangat beragam. Tapi terlepas dari contoh-contoh negatif diatas, ada satu yang bisa disimpulkan. Mereka semua adalah pemuda-pemudi yang sudah terdidik. Masing-masing dari mereka sudah menggenggam sebuah kunci yang tersimpan di loker hati.
Mari kita lihat sekarang. Tidak usah jauh-jauh kembali ke Nusantara, disini sudah cukup. Dengan agenda raksasa Silaturahim Internasional yang diadakan di Mesir pada tahun 2011, sudah terlihat bagaimana karakteristik pentolan-pentolan para alumni yang tersebar di berbagai negara. Mayoritas mereka yang kuliah di Timur Tengah sanggup menempatkan diri pada posisi sebagaimana mestinya seorang santri bersikap, lengkap dengan seluruh aspek plus-minus yang melekat. Jadi tak heran, disaat bertegur sapa dengan alumni yang kuliah di Madinah atau Syria, ideologi dan corak pikir yang sudah terbentuk saat nyantri tetap tidak berubah. Itu karena mereka hidup di miliu pembelajaran yang dekat dengan kultur Islam nan kental. Tapi tetap dalam tanda kutip, tidak semuanya.
Kalau begini, SI itu sendiri tidak penting. Yang mutlak adalah subtansinya. Fungsi dan kandungan apa yang bisa diperoleh dari SI untuk kemudian diaplikasikan dalam keseharian bersosialisasi saat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Mereka yang di Indonesia kini serba terjepit.  Hidup dengan tuntutan serba praktis dalam lingkup kosmopolitan dan metropolis, ditambah berbagai masalah pelik krisis para humanis, menjadikan para alumni harus berani menyandingkan idealism mereka dengan wabah pemikiran disekitarnya. Tapi saya salut, wabah tersebut tidak terlalu mendominasi. Sehingga testimony saya di paragraph paling atas tadi bisa terbantahkan.
Apapun itu, tidak mungkin sebuah program berjalan tanpa hikmah. Melepas rindu dengan mendengar petuah kyai-kyai sebagai pengasuh kita saat di pondok itu saja sudah cukup. Belum lagi melihat wajah yang dulu dekat, kini terlepas jarak. Tapi tidak lagi dengan adanya SI ini. Mungkin ke depannya nanti, semoga saja tidak hanya beberapa orang saja sebagai utusan dari masing-masing negeri, akan tetapi seluruhnya. Meski dengan biaya operasional pribadi pun tak mengapa. Siapa sih yang tidak ingin bertukar ilmu dan pengalaman dari negeri seberang?

Pada mulanya anggota grup musik ini hanya terdiri dari Nasution bersaudara. Baru pada tahun 1969, Chrisye dan beberapa personil lain mulai mewarnai sejarahnya. Beberapa tahun setelahnya, mereka diundang ke New York untuk bermain di Restauran Ramayana milik Pertamina, dimana nama grup musik ini pun semakin mengharum. Apalagi setelah Guruh Soekarnoputra mengontak mereka , mencoba menggabungkan nuansa warna musik etnis Bali dengan gaya musik Barat dan lahirlah lagu-lagu fenomenal seperti Chopin Larung dan Bali Agung.

Guruh Gipsy, begitu nama grup musik tersebut. Meski hanya melahirkan satu album, tapi album itulah batu pijakan Chrisye dan Guruh dalam melangkah ke dunia pop Indonesia. Setelah itu, mereka berdua keluar dari cangkang dan berhasil menyabet segudang award dan prestise dari mana-mana. Album Badai Pasti Berlalu rilisan 1977 menyabet peringkat pertama dalam daftar “150 Album Indonesia Terbaik” menurut majalah Rolling Stone Indonesia tahun 2007 dan telah beberapa kali mengalami gubahan aransemen, yang pertama oleh Erwin Gutawa dan kedua oleh Andi Rianto. Sedangkan Guruh berhasil mempopulerkan kreatifitas dan bakatnya dengan melahirkan Swaramaharddhika dan Gank Pengangsaan. Meski sayang, konsistensinya dalam seni diputus dengan masuknya Guruh ke dalam dunia politik.

Sebagai pengagum Chrisye, saya ingin bercerita lebih tentangnya. Namun, ada hal lain yang lebih krusial untuk dibahas, yakni revolusi dalam budaya musik tersebut dan nantinya dalam budaya pada umumnya.

~{x-Penasaran? Langsung aja klik judulnya untuk artikel lebih lengkap...-x}~

Perjuangan Hidup


Sebuah istilah meskipun diyakini oleh banyak orang bahwa makna yang dikandung adalah sama, tetapi dalam implementasinya mempunyai kenyataan yang berbeda. Dalam hidup, misalkan, apa yang kita perjuangkan didalamnya? Sebagai umat Islam kita sudah mengetahui jika Dia tidaklah menciptakan manusia dan jin kecuali untuk beribadah kepadaNya. Dan kita juga sangat mengerti jika seorang muslim yang kuat dan berwawasan luas lebih tinggi derajatnya daripada golongan muslim lain yang bertolakbelakang sifatnya. Lantas apakah semua muslim sudah melakukan tiga hal sepele yang tertera diatas? Belum tentu. Bahkan yang menyadari secara kaffah pun relatif lebih sedikit daripada tidak. Kemudian, mengulang sebuah pertanyaan filosofis diatas yang terlihat simpel tapi dalam, sebenarnya apa yang kita perjuangkan dalam hidup ini?

Jawaban pun beragam. Pikiran seseorang yang skeptis mungkin hanya terbentur pada subjektivitas sempit seperti mencapai ketenaran, menjadi kaya, memiliki istri cantik dan mencapai posisi yang memaksa orang-orang untuk memandangnya dengan hormat ataupun menjalani hidup apa adanya tanpa berfokus pada suatu apa tanpa memiliki suatu idealisme. Ada juga beberapa yang menggantungkan citanya sedikit terlalu tinggi sehingga angan yang diharap merupakan kenyataan utopis. Ada juga yang berpegang teguh dengan tali agama, menelaah kitab-kitab dan lain sebagainya, tanpa membuahkan sesuatu yang berguna bagi orang disekitarnya. Ya, golongan terakhir ini sangat ‘produktif’. Keuntungan yang dihasilkan pun hanya berputar kepada diri sendiri, tidak ada hasil karya, tidak sanggup tercicipi orang lain. Egois.

Ibnu Khaldun dalam buku 'Muqaddimah'nya yang fenomenal menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial dengan konteks yang lebih kompleks daripada sekedar bergotong royong. Sayangnya, egosentris masih sering terdapat dalam setiap individu muslim. Mengapa? Karena masih ada satu titik vital dalam beberapa individu yang belum menemukan atau malah 'enggan'  untuk mencari, yaitu apa idealisme perjuangan hidupnya. Mereka aktif dimana-mana, tapi hanya sekedar aktif, tidak kompetitif atau malah produktif. Mereka enggan bermandi letih hanya sekedar idealis tapi bukan manusia realis. 

Padahal, tahukah mereka jika keletihan bagi seorang pejuang adlaah kenikmatan? Dan yakinlah tidak ada balasan untuk kebaikan melainkan kebaikan pula. Ini merupakan janji langsung dariNya sebagai sugesti agar kita berjuang kepada idealism yang kita tuju. Membentuk Islam yang progresif? Meraih cita dengan pasti? Tawazun antara akhirat dengan kehidupan di bumi? Yang manapun itu, perjuangkan dengan giat, karena Dia lebih mencintai muslim yang rajin daripada sering bermalasan. Bangkitlah!

Saat bercengkrama dengan sebuah ideologi, manusia membutuhkan sesuatu untuk dicengkram. Sesuatu yang represif, lugas, simple, praktis, ekspresif, ekslusif dan otomatis dimaklumi oleh orang lain. Namun, alangkah dahsyat bagaimana tanda tangan antara satu sama lain, sering terdapat perbedaan. Dalam setiap garis lengkung, kurva, lurus, setengah lingkaran, menikuk tajam, masing-masing terdapat sebuah idealisme simbolis yang diungkapkan dengan tanda tangan.

Tapi tidak cukup dengan itu saja. Saat sebuah ideologi tersebut hadir agar dikenal orang banyak, tanda tangan sebagai ikon pribadi tidaklah cukup. Harus ada sebuah ikon pengganti, ikon khusus yang berkarakter, mudah diingat, umum dan praktis. Sama halnya dengan benda kecil mungil yang sering digandrungi para wanita. Seorang kawan pernah bertanya, “Mengapa selama ini intan, permata, mutiara, atau emas adalah sesuatu yang sangat berharga dan digila-gilai oleh banyak orang? Bukankah masih banyak benda-benda lain yang tak kalah indah, susah didapat, dan progresi pembuatannya pun sulit?”

"Am I sweet enough?"
Benda-benda itu, kawan, merupakan simbol aristokratik yang unik, elegan dan memberi pengertian berbeda dari sudut mana orang memandangnya. Logam mulia tersebut dianggap luapan perasaan yang dihibahkan oleh seseorang kepada orang yang terkasih, sebagai kado dan tanda bukti atas rasa sayangnya. Seorang kolektor, sanggup meniti perjalanan mengitari 5 benua hanya untuk mencari Heart of Eternity, The Allnatt  atau Wittelbasch dan sanggup menggadaikan 50% dari propertinya untuk itu. Mengapa wanita menyukai intan atau berlian? Karena di mata mereka, logam-logam mulia tersebut adalah ‘Pemanis’ bagi tubuh mereka.

~{x-Penasaran? Langsung aja klik judulnya untuk artikel lebih lengkap...-x}~

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Software