.avatar-image-container img { background: url(http://l.yimg.com/static.widgets.yahoo.com/153/images/icons/help.png) no-repeat; width: 35px; height: 35px; }

"Memento Mori"

What is the PRECIOUS thing you TREASURE most in your LIFE?

"Memento Mori" means:

Remember you are mortal...

Vita brevis breviter in brevi finietur,
Mors venit velociter quae neminem veretur,
Omnia mors perimit et nulli miseretur,

Ad mortem festinamus peccare desistamus.


Permainan Jiwa

Di antara sekian banyak buku psikologi yang berjejer di etalase utama Gramedia untuk buku-buku terbaru, cuma yang putih, tebalnya tidak seberapa, tapi dihiasi dengan warna-warna dasar mencolok mata, serta beberapa aksara kanji Jepang yang waktu itu satu-satunya buku yang meningkatkan rasa penasaran saya. Judulnya Kokology. Tujuh tahun silam, umur peristiwa itu. Kejadian yang memaksa saya untuk selalu memandang seseorang bukan dari sekedar kulit.

Selang beberapa bulan setelahnya, di tempat yang sama, edisi kedua muncul. Kali ini warnanya kuning. Sedikit lebih tebal dari edisi sebelumnya, tanpa ragu saya langsung merogoh dompet. Beruntung masih ada sisa beberapa lembar rupiah bergambar pemetik teh. Sampai di rumah, buku tersebut saya cerna dan menikmatinya perlahan.

Kokology, percampuran dari bahasa Jepang dan Latin. Kokoro, yang berarti jiwa atau semangat, dengan logos alias penelitian atau ilmu. Kedua pengarangnya, Tadahiko Nagao dan Isamu Saito, masing-masing adalah professor dan ahli jiwa tersohor di Universitas Rissho dan Waseda, Jepang, banyak mengambil analisa serta teori dari para bapak psikologi modern, Freud dan Jung. Terutama karena teori alam bawah sadar mereka.

Kasus-kasus yang diangkat dalam kedua buku itu masih sama. Bagaimana mengetahui pola dasar pemikiran atau reaksi manusia terhadap segala sesuatu, yang sekiranya remeh sekalipun. Hubungan lawan jenis, masalah relasi, pekerjaan, corak kecerdasan, kecenderungan justifikasi, dan banyak lainnya. Buku tersebut tidak bercerita, tetapi kumpulan dari pertanyaan-pertanyaan yang ditulis halus untuk mengajak alam bawah sadar para pembaca mencuat ke permukaan. Dari awal pembukaannya saja, editor sudah mengingatkan, “Lebih seru kalo buku ini dibaca berbarengan. Dua orang, bahkan lebih!”. Tetapi yang lebih berkesan adalah pesan dari si pengarang sendiri, “Jawablah dengan jujur dan apa yang pertama kali muncul di benak anda.” 

Soalnya mudah saja. Semisal, bayangkan anda mengendarai bus atau kereta bawah tanah, lantas mendapati sebuah kursi kosong. Anda pun bergegas untuk duduk di sana. Pada saat itu juga, seorang pemuda/pemudi lain (sesuai dengan gender anda) juga berjalan ke sana dengan niat yang sama. Mana yang akan anda lakukan di antara tiga opsi ini: dengan tidak segan segera duduk di kursi tersebut, segera mempersilahkannya, atau melihat-lihat dulu ke sekitar sebelum mengambil keputusan? Silahkan jawab dalam hati.

Sekilas, soal tersebut hanya memperlihatkan sejauh mana tingkat toleransi kita. Padahal, Isamu Saito sengaja tidak menghadirkan pengendara lain sebagai manula misalkan, atau seorang ibu hamil, karena dalam hal ini, penulis dan saya sendiri juga lebih setuju pada pendapat Rousseau bahwa aslinya manusia itu welas asih. Dengan menyajikan manula atau bumil, jawaban pertama pembaca pasti: langsung mempersilahkan duduk. Tapi dengan kata ‘pemuda/pemudi’ yang bermakna sebaya, perlahan tapi pasti, pembaca digiring untuk bagaimana dia bereaksi dalam relasi antar sekitarnya dan konsekuensi yang diambil.

Langsung duduk tanpa segan, misalkan. Orang yang menjawab ini, mengerti apa yang dia mau dan apa yang bukan. Pengalaman bejibun telah mengajarkan, sangatlah tidak masuk akal untuk menderita demi orang lain, jika akibatnya ditanggung sendiri. Dengan kata lain, dalam meniti hidup, tidaklah salah untuk menyakiti hati beberapa orang. Pertimbangannya ambisi dan ego.

Langsung mempersilahkan yang lain untuk duduk. Tidak lain karena dia terlalu cemas akan pendapat orang lain terhadapnya. Dia selalu menginginkan orang lain menganggap dirinya baik, indah, bagus, sehingga dia pun berlaku demikian. Orang-orang di sekitar pun menyebutnya easy going. Padahal aslinya, dia kurang memiliki pendirian. Hampir tiap kali dalam sebuah kesempatan kompetitif, dia rela menjadi tumbal agar yang lain semakin maju.

Yang terakhir, melihat-lihat dulu ke sekitar sebelum mengambil keputusan. Pada titik ini, anda pasti sudah bisa menebak, apa maksud jawaban ketiga ini dalam perspektif Kokologi. Ya, mereka yang menjawab ini, selalu melihat sesuatu dengan garis besar. Yang memilih jawaban ketiga selalu mempertimbangkan perasaan atau pemikiran orang lain sebelum mengambil konklusi. Tentu, karena dunia tidak berputar di dirinya saja. Meskipun, kerugian yang ditanggung adalah keputusannya sendiri.

Banyak juga soal-soal lain yang ditujukan untuk mengenal diri sendiri lebih dalam. Ketika anda mendapat kesempatan untuk mendesain mug biru polos dengan empat pilihan motif, misalkan, maka mana yang anda sukai? Antara garis-garis lurus (horisontal atau vertikal, terserah), polkadot, garis-garis lengkung serupa ombak, atau motif kotak-kotak? Jawaban yang dipilih menegaskan bagaimana metode kita dalam mendekati masalah atau memberi solusi. 

Dalam menjalani hidup, manusia selalu penuh dengan pertimbangan. Atas konsekuensi yang akan dihadapi. Perhitungan untung-rugi. Keseimbangan. Dan pertimbangan tersebut tidak melulu terbatas pada objek materiil, tapi begitu juga dalam humanisme (sudut psikologi). Aksi dan reaksi, dan sikap yang kita berikan kepada lawan bicara, sejenis atau lawan jenis. Semuanya berdasarkan alam bawah sadar. Di mana alam bawah sadar merupakan proyeksi pengalaman seseorang yang sangat berkesan dalam, dan selanjutnya mempengaruhi pola dan tindak pikir.

Seseorang yang berkemampuan untuk menganalisa gaya berpikir dan sifat seseorang, lantas mendeduksi respon terbaik dalam berbicara atau bersikap kepada mereka, rentan memiliki daya manipulatif terhadap sesama. Dengan mudahnya dia dapat mengendalikan tendensi yang paling cocok dalam segala sesuatu. Jung menyebutnya sebagai Persona. Meski hampir semua orang memiliki Persona majemuk, bukan sekedar tunggal. Entah dia cakap menilai orang atau tidak. Tentu karena manusia cenderung memilih jalan pendekatan yang mereka nilai ‘baik’ dalam mengambil atau menyatakan sesuatu. Cuma ‘mereka yang dilabeli maksum olehNya’ dan orang-orang bijak saja memiliki kapabilitas untuk mampu mengukuhkan ideologi selaras dengan idealisme dan realisasi, tidak goyah dalam tindakan, dan benar-benar pantas menanggung amanah sebagai sosok pemimpin yang ideal.

Ah, andaikata banyak orang seperti itu, dan mereka benar-benar berani untuk mengenal dan dikenal, pastinya masyarakat di sekitarnya bakal berubah. Masisir, contoh kecilnya. Saya acapkali mengajukan pertanyaan-pertanyaan Kokologi kepada beberapa orang, untuk mengenal kepribadiannya lebih dalam. Seperti soal di mana pada suatu pesta atau perkumpulan, anda diwajibkan untuk duduk di antara tiga kursi: kiri, tengah, atau kanan. Mana di antara kursi tersebut yang anda rasa paling nyaman untuk diduduki, dan kira-kira apa warna tersebut? Mereka yang memilih tengah, didominasi dengan tipikal sosialis yang enggan bekerja sendiri. Sedangkan warna yang dipilih adalah bakal penentu hasrat bawah sadarnya untuk menjadi apa dalam perkumpulan tersebut. Merah bermakna pecinta kerjasama, harmonisasi dan konsolidasi. Pink memiliki rasa solider dan kesetiaan yang kuat, dan banyak makna dari warna lainnya. Dalam dunia yang penuh permainan jiwa ini, kita memilih mau jadi apa, bagaimana dan untuk apa? Pemain, atau yang dipermainkan? Jangan biarkan pertanyaan konyol ini terbuang bersama gugur dedaunan.

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Software