Dua orang santri
Krapyak babak belur. Pelaku pengeroyokan terdiri dari tujuh orang dengan
rentang umur yang beragam, mulai dari remaja tua sampai penggangguran berkepala
empat. Mereka sedang minum-minum di kafe. Setelah minum-minum, mereka lanjut
menganiaya dua orang santri yang kebetulan makan sate ayam dekat sana. Naas,
bukan kenyang yang didapat, malah penganiayaan. Salah satu santri sampai kena
tusuk di perut. Rupanya para pelaku juga bukan warga lokal. Mereka berasal dari
luar pulau.
Gara-gara
peristiwa itu, ribuan santri yang terdiri dari gabungan berbagai ponpes
menggeruduk Mapolda DIY. Mereka menuntut toko-toko penjual minuman ilegal
segera ditutup. Ada juga tuntutan lain, revisi Perda tantang minuman beralkohol,
terutama peredaran minuman beralkohol yang dijual ilegal di pasaran.
Peredaran minuman beralkohol (minol) di Indonesia tidak dilarang total. Perpres No. 74 Tahun 2013 yang mengangkat Keppres No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol sudah menjelaskan dampak negatif minuman beralkohol kepada masyarakat seperti apa.
Tapi di Perpres yang sama juga,
ketersediaan dan peredaran minuman beralkohol terjamin secara hukum.
Di Pasal 8
dijelaskan, penjualan terbatas di beberapa tempat khusus seperti hotel
berbintang tiga ke atas, restoran atau gerai khusus yang memiliki Surat Izin
Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB). Pasal setelahnya menjelaskan,
penjualan minol di sekitar sekolah, tempat ibadah, fasilitas umum yang tidak
memiliki SIUP-MB dan di pinggir jalan, bisa terkena sanksi hukum. Peraturan
yang sama tertulis di dalam Pasal 14 Permendag No. 20/M-Dag/Per/4/2014.
Tujuh orang
pelaku yang menyerang dua santri Krapyak tadi mendapatkan miras dengan sistem
Delivery Order (DO) yang diantar ke sebuah kafe. Mereka beli minol secara
daring kemudian minum sampai mabuk. Apa boleh mabuk-mabukan di kafe? Boleh,
jika mau dibui. Kecuali jika kafe tersebut merupakan bagian dari hotel
berbintang atau restoran yang punya SIUP-MB seperti tertulis di Perda Kabupaten
Selman No 8 Tahun 2019, sesuai dengan tempat terjadinya kasus di atas.
Sedangkan di Malang, peraturan serupa tertulis di Perda No 5 Tahun 2016.
Kasus ini sampai
memaksa Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) turun tangan. Sultan
menekankan adanya regulasi yang lebih jelas terkait penjualan dan peredaran
minol, terlebih secara daring. Kapolres Bantul juga koar-koar. Bekerjasama
dengan Satpol PP, mereka menyatakan untuk bakal lebih aktif patrol dan
melakukan razia.
Sayang sekali
aksi tersebut baru dilakukan setelah berita penyerangan kepada santri ini
viral. Saya tidak bisa membayangkan seandainya santri atau kyai juga tidak ikut
bergerak. Seharusnya jika aksi petugas hukum ini dilakukan secara masif dan
berkala, tidak bakal ada kasus seperti di atas. Mengapa tidak dari dulu saja
pemerintah atau aparat penegak hukum sudah awas dengan hal-hal seperti ini? Bisa
saja beragumen, tidak ada salahnya terlambat, jika saja setelah itu timbul
sebuah sikap kritis nan preventif untuk mencegah terulangnya hal yang sama
kedua kali. Nyatanya, kasus pelanggaran hukum yang dilakukan seseorang di bawah
pengaruh minol tidak hanya terjadi dalam hitungan jari.
Investasi
minuman beralkohol sudah dilarang dalam Perpres No 49 Tahun 2021 tentang
perubahan atas Perpres No 10 Tahun 2021 terkait Bidang Usaha Penanaman Modal.
Di dalam Pasal 2, investasi miras yang mengandung alkohol, alkohol anggur dan
minuman yang mengadung malt sudah dihapus. Ini merupakan permulaan yang bagus
untuk menuju Indonesia Bebas Miras. Sayangnya, sepertinya peraturan tersebut
sebatas tinta di atas kertas.
Dulu beberapa
anggota fraksi PPP, PKS dan Gerindra sempat mengusulkan RUU Minuman Beralkohol
yang mengatur sanksi pidana bagi peminum alkohol. Tidak main-main, isi Pasal 7
dari RUU Minol tersebut menyatakan larangan minum minol jenis apapun, seperti
yang tertuang di Pasal 4. Kemudian di Pasal 20 disebutkan, sanksinya berupa pidana
penjara maksimal dua tahun atau denda maksimal 50 Juta. Tapi RUU tersebut
ditentang Asosiasi Pengusaha Minuman Beralkohol Indonesia (APMBI). Menurut
ketuanya, jika RUU itu disahkan, sama saja seperti membunuh pariwisata
Indonesia.
Penolakan senada
datang dari Felippa Amanta, salah satu peneliti dari lembaga Center for
Indonesian Policy Studies (CIPS). Menurutnya, merujuk data WHO, Indonesia
adalah salah satu negara pengonsumsi alkohol terendah di dunia. Tetapi
menurutnya juga, kebanyakan konsumsi alkohol di Indonesia itu memang tidak
tercatat.
Jika saja
Indonesia yang didominasi penduduk Muslim ini mau belajar dari negeri tetangga
yang juga mayoritas masyarakatnya Muslim, sepantasnya negeri ini memiliki
lembaga atau badan khusus yang dengan tegas melarang peredaran dan konsumsi
minol. Alih-alih seperti itu, kiblat Indonesia dalam regulasi minol adalah
Amerika, Inggris atau Jerman. Semuanya adalah negara maju, kita belum. Tiga
negara tadi membolehkan minum minol bagi orang dewasa dan puluhan pasal lainnya
yang lebih konsen dalam mengatur perizinan, distribusi dan yang semacam tetapi
tidak ada larangan total untuk minum minol.
Berbeda dengan kebanyakan
negara di Timur Tengah. Mayoritas negara tersebut memiliki Lembaga Fatwa
Nasional yang secara resmi menegaskan larangan mengonsumsi minimal beralkohol
yang kemudian diadopsi oleh pemerintah negara sebagai hukum yang mengikat.
Sebut saja UAE, Iran, Kuwait, Qatar dan Yordania. Begitu juga Bangladesh,
Pakistan dan Maldives.
Negeri tetangga,
Brunei Darussalam, juga memilik badan khusus negara yang melarang produksi,
impor, penjualan serta konsumsi minol. Badan Pengawas Minuman Beralkohol ini
disebut Alcohol Beverages Control Authority (ABCA) dan dibentuk berdasarkan
Undang Undang Minuman Beralkohol Bab 70 yang disahkan pada Tahun 1961.
Semua regulasi
terkait minuman beralkohol baik diatur oleh ABCA. Bahkan ABCA memiliki wewenang
khusus seperti penggeledahan dan penindakan pelanggaran bagi pelaku peminum
minol.
Apakah lantas
ABCA membunuh pariwisata asing yang berkunjung ke Brunei? Tidak, karena ABCA
membolehkan warga non-Muslim, termasuk wisatawan asing, untuk minum minuman
beralkohol di tempat yang berlisensi. Tempat yang dimaksud adalah hotel bintang
empat ke atas dan beberapa restoran tertentu, tentunya dengan pembatasan jam
dan beberapa persyaratan lain yang mengikat.
Mungkin sudah
saatnya DPR untuk meninjau ulang RUU Minuman Beralkohol yang sudah tertumpuk
debu tebal dari sekian tahun lalu. Jika saja keluhan yang disampaikan dari
larangan meminum minol adalah berkurangnya turis, kebijakan ABCA di atas bisa
diadopsi. Jika dibilang penerimaan cukai negara terbesar salah satunya dari
minuman beralkohol seperti yang disampaikan Kemenkeu, bandingkan dengan jumlah
korban akibat miras oplosan atau korban dari pelaku yang berada di bawah
pengaruh minuman beralkohol.
Direktori
putusan MA mencatat ada 953 kasus pidana terkait miras, apalagi yang tidak
tercatat. Norma agama mengajarkan, minuman beralkohol hanya mendatangkan mudarat.
Studi atau riset yang mengatakan minuman beralkohol baik bagi kesehatan
kebanyakan tidak melalui uji klinis atau terbatas pada minuman tertentu, bukan
semuanya, itupun jika dikonsumsi sewajarnya. Yang ada, malah kecanduan. Kita
semua tahu akibat dari miras yang bisa memunculkan sisi jahat manusia. Kita
tidak perlu meminjam teori Thomas Aquinas atau Dante Alighieri dalam Purgatory
miliknya, yang percaya kalau kejahatan itulah sifat dasar manusia. Pemerintah
tinggal mengambil langkah tegas untuk melindungi akal SDM-nya. SDM yang sehat
akan menciptakan pemerintahan yang sehat. Pemerintahan yang sehat tidak bisa
dilakukan kecuali salah satunya dengan Indonesia Bebas Miras.
*tulisan ini pernah diterbitkan di Linggau Pos dengan beberapa gubahan.