Habib Ali al-Jifri pernah memuji ketegaran Syeikh Ramadhan
al-Bouthy dalam majlis di Sahah Raudlatun Na’im tiga tahun silam: dulu saat
pergolakan konflik Timur Tengah belum terlalu banyak menumpahkan darah, para
penguasa, ulama dan tokoh kondang lain sering berkumpul di sebuah even
internasional seperti muktamar, dan yang semacam.
Habib Ali al-Jifri
menyampaikan, pada saat itu hanya Syeikh al-Bouthy yang tidak merendahkan diri
dan ilmunya di hadapan penguasa, sedangkan pada saat itu banyak sekali yang
menundukkan diri terlampau rendah, seolah menjilat. Lagi-lagi Habib Ali memuji,
Syeikh al-Bouthy sama tidak pernah takut untuk kehilangan muka dan menyampaikan
kebenaran, bahkan tidak pernah merasa harus mencari muka.
Belum satu dekade usai meninggalnya alim kabir ini, dunia Islam
kembali berkabung. Syeikh Muhammad Adnan al-Afyouni, seorang alim yang tidak
kalah kabir dan namanya tidak lagi asing di dunia cendekiawan muslim, meninggal
dunia dengan modus yang sama. Dibom. Padahal beliau yang mengajukan Habib
Muhammad Luthfi bin Aly bin Yahya sebagai pemimpin Forum Ulama Sufi Sedunia
atau Al Muntada' Sufi Al 'Alami tempo hari.
Sebagai mufti Damaskus yang
akrab dengan para habaib Ibu Pertiwi, tidak usah ditanya berapa jumlah
pengikutnya. Saya pribadi lebih nyaman menggunakan istilah santri, maka tidak
terhitung lagi berapa banyak jumlah santrinya. Setelah mengetahui jika almarhum
meninggal karena dibunuh, apakah kita dan santrinya yang lain sanggup
mengikhlaskan atau malah turut melaknat si pelaku, secara pribadi saya berdoa
jika pelakunya tertangkap, bisa mendapat hidayah dan bertaubat.
Memang dari dulu, bahkan di
Indonesia sendiri, para ulama sering sekali menjadi sasaran. Banyak bukti
lapangan yang menunjuk, bisa saja pelakunya pemerintah atau suruhan, tapi tentu
bukti konkrit tidak bakal terungkap sampai pemerintah yang berkuasa, terguling
atau turun sendiri dari kursi. Naasnya, jika ternyata pelaku ini bukanlah orang
suruhan pemerintah, melainkan korban dari paham ideologi yang salah. Jika benar
begitu, apakah istilah kriminal pantas disematkan kepada pelaku? Benarkah
seorang kriminal selalu berdarah dingin, tertawa culas dan menyeringai,
tatapannya dingin dan selalu menyendiri seperti yang banyak kita lihat di
film-film misteri, komik dan yang lainnya?
Motif kriminal seseorang berasal
dari pelbagai macam faktor, baik genetik, lingkungan atau tradisi, yang
kemudian membentuk pemikiran seseorang untuk melegalkan segala tingkah laku
untuk mengakui eksistensinya. Bahkan tidak jarang beralih jadi psikopat tanpa
disadari dan membunuh empatinya.
Jika empati seseorang sudah
hilang, dia akan susah mengekspresikan emosinya. Dia bisa menjalin relasi
dengan orang-orang di sekitarnya hanya dengan mengenakan topeng. Senyum, sedih,
senang, dia sesuaikan dengan logika, bukan berasal dari hati. Osamu Dazai
menjelaskan sifat ini dengan apik, detil dan sangat piawai di karakter utama
dalam magnum opusnya, No Longer Human, yang menyabet nobel di tahun
1948. Relasi yang dibangun oleh
seseorang yang kehilangan empati dan mengenakan topeng terus-menerus pasti
cepat runtuh, karena dibangun di atas kepalsuan. Jadinya bukan relasi baik yang
tercipta tapi relasi yang bagaikan waduk bocor, tinggal tunggu waktu sampai
ambrol.
Robert Waldinger menjelaskan salah
satu penelitian dari Universitas Harvard di sebuah riset bertajuk The Longest
Study on Happiness, jika seseorang tidak lagi mampu menjalin relasi yang baik
dengan orang-orang di sekitarnya, dia tidak akan merasa bahagia. Seseorang yang
kehilangan empati tidak mudah beremosi, entah marah, sedih, apalagi bahagia.
Maka dia akan melakukan berbagai cara agar bahagia, terlebih cara yang ekstrim
seperti membunuh dan lain sebagainya. Orang yang sering membaca atau
menyaksikan berita kriminal, pasti mengerti, mereka menemukan kepuasan dalam
membunuh.
Pernah ada riset, saat mereka diwawancarai, ada gurat samar yang
tersirat di bibir setiap pelaku terutama di pertanyaan, “Bagaimana perasaan
Anda setelah membunuh korban?” Mereka
tidak langsung menjawab, tapi ekspresi mikro yang muncul di bibir mereka
mengisyaratkan satu emosi yang sangat diakui dalam psikologi praktis: mereka
merasa bersalah.
Saya yakin, pelaku pengeboman
almarhum Syeikh Ramadlan al-Bouthy dan Syeikh Adnan al-Afyouni, jika tertangkap
dan diinterogasi, tentunya dia akan merasa bersalah. Kita tidak tahu apakah itu
ulah pemerintah, penduduk sipil atau malah sesama saudara muslim, tapi jika
terbukti opsi ketiga sebagai dalang, sungguh sangat kasihan sekali. Motif yang
berangkat dari kesalahpemahaman doktrin, meracuni otak dan akhlak sehingga bisa
mencelakai bahkan membunuh sesama Muslim yang lain, akar dari penyakit jiwa ini
semua berasal dari hati.
Imam
al-Ghazali menjelaskan dalam Ihya ‘Ulumiddin, kesalahan berlogika yang
berpengaruh kepada akhlaq dan tingkah laku, semua berasal dari dlomir
(nurani). Nurani seseorang berbeda-beda, karenanya tingkatan ihsan dan takwa
seorang Muslim juga berbeda antara satu dengan yang lain, bahkan kadar
pemahaman al-amr bin la’ruf wa an-nahyu ‘an al-munkar juga bisa berbeda
tergantung ilmu, kemampuan nalar, kemampuan berempati dan lingkungannya.
Seseorang yang salah paham akan suatu bacaan atau wacana tidak akan gegabah
bertindak sembrono atau berlaku ekstrim, tetapi jika ternyata didukung oleh kerabatnya,
gurunya, keluarganya, nurani yang semula menyangkal untuk berbuat keji lambat
laun akan pasrah dan takluk. Dia akan kehilangan empati sehingga susah
bertoleransi. Dia juga bakal kebingungan membedakan mana yang baik dan buruk,
bahkan perkara qath’i seperti membunuh tetap dilakukan.
Seseorang yang dlomirnya terkikis
atau bahkan mati, jiwanya bakal sakit. Jiwa yang sakit akan berpengaruh ke akal
dan tingkah laku. Seperti yang dijelaskan di atas, saat nurani sudah mati,
seseorang pasti akan berkilah saat melakukan sesuatu, enggan mengakui kesalahan
dan berusaha menjustifikasi segala perbuatannya sebagai kebenaran.
Muhammad
Utsman Najati, seorang dosen psikologi di Universitas Kairo dan Universitas
Kuwait dalam bukunya al-Qur’an wa ‘Ilm an-Nafs menjelaskan, karena
nurani yang rusak menyebabkan jiwa yang sakit, alih-alih berbuat baik dengan
menjauhi maksiat, seorang Muslim bisa bertendensi untuk menyerang sana-sini
baik verbal atau fisik, kemudian berteriak lantang jika apa yang dia lakukan
tujuannya mulia. Padahal detik pertama ketika dia bersikap A, dan itu salah,
kemudian menjustifikasi jika itu benar, padahal sudah diingatkan dan tetap
ngeyel bukan main, itulah hipokrit.
Syeikh Imam al-Ghazali r.a.
sendiri tidak menyebut mereka sebagai munafik, karena jika munafik berasal dari
penyakit hati, bagaimana bisa jiwa seseorang sakit padahal dia tidak tahu
dirinya sakit?
Beliau menjelaskan panjang lebar dalam kitabnya Ma’arij
al-Quds fi Madariji Ma’rifati an-Nas, di bab Relevansi Ilmu dengan Hati, hati yang baik menuntut akal untuk selalu
bersibuk diri dengan ilmu. Dengan unik, dia menjelaskan, cermin tidak mampu
merefleksikan bayangan suatu benda jika pantulan cahaya dari benda ke cermin
tidak terang atau bahkan gelap. Jika cermin adalah jasad, maka benda yang akan
direfleksikan adalah hati nurani dan cahaya agar hati bisa terefleksikan dalam
cermin, itulah ilmu. Maka orang-orang yang masih salah kaprah dalam memahami
Islam, mereka bukan munafik, tapi lebih pantas digolongkan sebagai المعتوه alias
idiot.
Lantas
bagaimana cara menjaga dlomir alias nurani agar senantiasa bersih? Jika tubuh
perlu berolahraga untuk menjaga kebugaran, hati nurani juga perlu berolahraga
dengan riyadloh-nya. Riyadloh ini macam-macam bentuknya, makanya tidak
heran jika ulama-ulama terdahulu atau kyai-kyai kita sering melakukan amalan
tertentu, semua itu dilakukan sebagai upaya untuk olahraga hati. Tentunya
dengan tidak melupakan ibadah wajib dan menjauhkan diri dari maksiat.
Ciri
seorang alim adalah bukan selalu memperbanyak ibadah, percuma gali lubang tutup
lubang jika ibadah yang ada malah tertutup dengan dosa. Ciri seorang alim yang
juga bersih nuraninya, yaitu tidak mewajibkan sesuatu yang tidak wajib, dan
selalu berkata benar meski itu pahit. Seorang alim juga tidak boleh cari muka,
tetapi seperti harus berani saat dibutuhkan. Sifat-sifat tersebut mampu kita
temukan dalam sosok almarhum Syeikh Ramadlan al-Bouthy dan Syeikh Adnan
al-Afyouni. Jangan ditanya bagaimana tirakat mereka, para ulama lain dan para
santri yang sering ngaji atau membaca beragam kitab karya kedua almarhum pasti turut
bersaksi.
Untuk membersihkan hati dengan banyak mengkaji ilmuNya dengan benar
dan tidak sesumbar, serta senantiasa menjaga kesuciannya dari berdosa. Dua cara
efektif yang mampu mencegah seorang Muslim agar tidak terjerumus ke lubang
kriminal dan mencegah terciptanya teroris-teroris lain, wal ‘iyadz billah.
* - Tulisan berjudul sama pernah tayang di situs SanadMedia dengan gubahan seperlunya.