Sebuah negara hanya dapat tersusun dari tiga unsur utama: rakyat, wilayah dan kekuasaan. Masalah wilayah jelas krusial. Meskipun Selandia hanya memiliki luas sebesar 550 m2, dunia tetap mengakuinya sebagai negara. Begitu pula jika tidak terdapat faktor kekuasaan di dalamnya, tidak mungkin Jerman dan Inggris mengakui Selandia sebagai negara, meskipun baik secara de jure, belum ada keputusan valid hingga detik ini. Dengan unsur kekuasaan pula rakyat bisa terintimidasi untuk turut tunduk dalam peraturan negara tersebut. Berapa banyak kasus dimana rakyat dipaksa tunduk pada awalnya, hanya berujung dengan kepatuhan mutlak rakyat dengan perubahan progresif kepemerintahan menuju tata puncak stabilitas yang semakin membaik, atau sebaliknya.
Faktor kekuasaan itu sendiri tidak akan berhasil tanpa adanya hukum dan legitimasi. Prosedural penyaduran hukum yang pada awalnya dapat terbentuk oleh keputusan individual atau bersama, tetap tidak terabsahkan tanpa hadirnya legitimasi. Dan jelas pula, legalitas tidaklah sama dengan legitimasi. Kualitas hukum yang berbasis pada penerimaan keputusan publik atas sejauh mana keputusan, wewenang atau kebijakan pemerintah tersebut sesuai dengan apa yang masyarakat inginkan, itulah yang disebut legitimasi.
Hampir senada dengan prinsip utilitas yang, menurut Carl Joachim Friedrich, sesuai dengan teori kontrak sosial Hobbes. Bagi Hobbes, meskipun setiap orang itu hidup dengan kelicikan, penuh intrik, dan tidak bisa berkonsistensi dalam tenggang rasa sosial yang berlandaskan asas kepercayaan, ada satu hal yang tidak bisa diganggu gugat. Hobbes hanya mempercayai bahwa hanya kerajaan-lah sistem ketata negaraan yang sempurna dan tidak banyak cacat. Tetapi, mengacu kepada prinsip utilitas tadi, meskipun seluruh kekuasaan, peraturan dan undang-undang berada mutlak di tangan raja, rakyat boleh mengadakan coup de etat jika apa yang diajukan raja tidak memenuhi ketentuan perdamaian dan ketentraman yang diharapkan oleh rakyat. Maka unsur legitimasi sangat diperlukan dalam sebuah kepemerintahan, tanpa dibuat-buat.
Kini coba kita lihat aktualitanya dalam tubuh Masisir. PPMI sebagai puncak kepemimpinan organisasi dan badan mahasiswa mengadopsi Study Government System (SGS) yang berkaca pada sistem kepemerintahan di Indonesia. Pada mulanya, tidak ada yang salah dengan sistem tersebut. Sayang, seperti yang terjadi dalam tubuh parlemen di kepemerintahan negeri kita, seiring bergantinya personil di dalam tubuh tersebut, semakin tdak jelas peraturan yang tertulis disana. Terutama dalam penulisan undang-undang, layaknya kacang garing yang laris-manis, kebijakan dan wewenang yang tertulis disana terus berubah sesuai kemauan badan legislatif. Terkadang pada suatu periode, undang-undang tersebut sudah dikembalikan ke susunan awal. Tapi dalam periode berikutnya, undang-undang tersebut berubah lagi karena tidak ada personil lama yang menetap dalam tubuh PPMI.
Padahal jika kita berasumsi mengikuti sistem demokrasi parlemen di Amerika Serikat misalkan, sangat jarang kita mendapatkan kasus dimana undang-undang dalam periode sekian berubah pasal dalam periode berikutnya. Hal yang sama juga bisa berlaku jika Indonesia, atau PPMI dalam ranah lokal antar Masisir, mengadopsi sistem yang serupa. Tidak perlu muluk-muluk. Cukup mengadakan sistem kaderisasi. Sebenarnya di Indonesia sistem serupa sudah ada, tapi tidak dalam praktik. TIdak seluruhnya para personil DPR atau MPR berganti nama bukan? Tetapi yang masih menjabat dan terpilih lagi untuk periode selanjutnya tidak banyak memberi kontribusi berarti seperti penjagaan undang-undang yang berlaku dan tidak semena-mena mengadakan amandemen yang terkesan instan tanpa mempertimbangkan utilitas dan konsekuensinya pada masyarakat. Lain sekali dengan apa yang terjadi pada masa Khulafaur-Rasyidin dahulu.
Contoh kebobrokan kepengaturan undang-undang di Indonesia sebagai dampak dari kebijakan badan legislatif yang sering bergonta-ganti itu, bisa kita rujuk pada beberapa kasus. Seperti kasus pencidukan barang ilegal oleh kepolisian dalam transaksi dari forum terkenal, Kaskus. Setelah ditelurusi, pasal yang diajukan oleh pihak polisi ternyata masih berupa pasal yang masih ‘segar’ dan tidak jelas pertimbangan dari terbentuknya hukum tersebut.
Begitu juga dengan UU Anti Pornografi serta UU Pemberian Grasi, yang semenjak kasus Syaukani, entah bagaimana kelanjutan proses perolehan grasi dan remisi tersebut. Masih banyak celah-celah janggal yang bisa kita dapati dari UU RI 22 tahun 2002 tentang Grasi tapi tidak ada konsekuensi dari pelanggarannya. Sebagaimana contoh, bagian penjelasan umum UU Grasi menerangkan bahwa pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Apapun pertimbangan yang diterima oleh Presiden, tidak harus selalu dituruti. Oleh karena itu pertanggungjawaban atas pemberian Grasi, mutlak berada di pundak Presiden. Sedangkan dalam kasus Aulia cs, SBY sndiri mengakui bahwa pemberian grasi tersebut merupakan rekomendasi dari MA.
Ini baru beberapa contoh dari sekian banyak kasus yang terjadi di Nusantara agar jangan sampai merebah dalam tubuh Masisir. Jelas saja, segala macam kebobrokan amandemen dan penambahan undang-undang yang bersifat spontanitas semuanya kembali lagi ke proses legitimasi di atas. Segala macam peraturan dan wewenang tidak akan berganti semudah membalik tangan jika para personil terpilih mampu memahami seluruh peraturan yang tertulis maupun ‘urfiyyah dan tidak asal merubah.
Tapi masalah yang ada sekarang tidak semudah itu. Hukum tidak akan terbentuk tanpa melibatkan unsur politik disana. Bahkan hukum alam, menurut Hobbes, dapat berubah menjadi hukum konvensional positif jika dicampuri unsur politik. Meskipun ini hanya analogi, karena hukum alam tidak lagi diakui. Yang perlu digarisbawahi disini adalah tidak akan berdiri sebuah kepemerintahan tanpa keterlibatan unsur politik. Karena definisi politik itu sendiri bermacam-macam.
Sebelum memandangnya dengan konotasi negatif, saya mengutip perkataan Satjipto Rahardjo yang menjelaskan politik sebagai aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat. Dalam teori klasik Aristoteles, disebutkan bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd pun mengatakan bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Sedangkan kekuasaan itu sendiri wujudnya terbentuk melalui proses politik.
Bagaimana pun, proses pemilu baik dalam kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional seperti PPMI ini pasti berpolitik. Terlepas dari bagaimana proses dibalik layar berkembang sedemikian rupa, teruntuk masing-masing pihak sebagai calon nantinya, saya mengajukan satu pertanyaan. Terpilihnya presiden PPMI nanti apakah benar-benar hasil keputusan bersama Masisir yang berlandaskan kepada kepercayaan atas sosok kepemimpinan yang terdapat pada para calon-calon itu, atau hanya berpijakan pada prinsip setia kawan dan ta’assubiyah? Teruntuk semua calon saya rasa sudah memahami hal ini. Sebenarnya tidak perlu mengadakan proses penggalangan massa, karena para calon adalah pribadi berkarakter yang maju atas dedikasi, kepercayaan dan amanat yang muncul dari masyarakat. Toh, proses kampanye itu sendiri adalah bagian dari politik. Asal politik tersebut tidak demi kepentingan golongan ataupun sekian persen dari total majemuk Masisir saja, karena kalaupun begitu, jadinya politik suka-suka.
Notes:
PPMI = Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia
*Artikel ini pernah diterbitkan di buletin Informatika Orsat ICMI Kairo edisi 1-15 Agustus 2011
Faktor kekuasaan itu sendiri tidak akan berhasil tanpa adanya hukum dan legitimasi. Prosedural penyaduran hukum yang pada awalnya dapat terbentuk oleh keputusan individual atau bersama, tetap tidak terabsahkan tanpa hadirnya legitimasi. Dan jelas pula, legalitas tidaklah sama dengan legitimasi. Kualitas hukum yang berbasis pada penerimaan keputusan publik atas sejauh mana keputusan, wewenang atau kebijakan pemerintah tersebut sesuai dengan apa yang masyarakat inginkan, itulah yang disebut legitimasi.
Hampir senada dengan prinsip utilitas yang, menurut Carl Joachim Friedrich, sesuai dengan teori kontrak sosial Hobbes. Bagi Hobbes, meskipun setiap orang itu hidup dengan kelicikan, penuh intrik, dan tidak bisa berkonsistensi dalam tenggang rasa sosial yang berlandaskan asas kepercayaan, ada satu hal yang tidak bisa diganggu gugat. Hobbes hanya mempercayai bahwa hanya kerajaan-lah sistem ketata negaraan yang sempurna dan tidak banyak cacat. Tetapi, mengacu kepada prinsip utilitas tadi, meskipun seluruh kekuasaan, peraturan dan undang-undang berada mutlak di tangan raja, rakyat boleh mengadakan coup de etat jika apa yang diajukan raja tidak memenuhi ketentuan perdamaian dan ketentraman yang diharapkan oleh rakyat. Maka unsur legitimasi sangat diperlukan dalam sebuah kepemerintahan, tanpa dibuat-buat.
Kini coba kita lihat aktualitanya dalam tubuh Masisir. PPMI sebagai puncak kepemimpinan organisasi dan badan mahasiswa mengadopsi Study Government System (SGS) yang berkaca pada sistem kepemerintahan di Indonesia. Pada mulanya, tidak ada yang salah dengan sistem tersebut. Sayang, seperti yang terjadi dalam tubuh parlemen di kepemerintahan negeri kita, seiring bergantinya personil di dalam tubuh tersebut, semakin tdak jelas peraturan yang tertulis disana. Terutama dalam penulisan undang-undang, layaknya kacang garing yang laris-manis, kebijakan dan wewenang yang tertulis disana terus berubah sesuai kemauan badan legislatif. Terkadang pada suatu periode, undang-undang tersebut sudah dikembalikan ke susunan awal. Tapi dalam periode berikutnya, undang-undang tersebut berubah lagi karena tidak ada personil lama yang menetap dalam tubuh PPMI.
Padahal jika kita berasumsi mengikuti sistem demokrasi parlemen di Amerika Serikat misalkan, sangat jarang kita mendapatkan kasus dimana undang-undang dalam periode sekian berubah pasal dalam periode berikutnya. Hal yang sama juga bisa berlaku jika Indonesia, atau PPMI dalam ranah lokal antar Masisir, mengadopsi sistem yang serupa. Tidak perlu muluk-muluk. Cukup mengadakan sistem kaderisasi. Sebenarnya di Indonesia sistem serupa sudah ada, tapi tidak dalam praktik. TIdak seluruhnya para personil DPR atau MPR berganti nama bukan? Tetapi yang masih menjabat dan terpilih lagi untuk periode selanjutnya tidak banyak memberi kontribusi berarti seperti penjagaan undang-undang yang berlaku dan tidak semena-mena mengadakan amandemen yang terkesan instan tanpa mempertimbangkan utilitas dan konsekuensinya pada masyarakat. Lain sekali dengan apa yang terjadi pada masa Khulafaur-Rasyidin dahulu.
Contoh kebobrokan kepengaturan undang-undang di Indonesia sebagai dampak dari kebijakan badan legislatif yang sering bergonta-ganti itu, bisa kita rujuk pada beberapa kasus. Seperti kasus pencidukan barang ilegal oleh kepolisian dalam transaksi dari forum terkenal, Kaskus. Setelah ditelurusi, pasal yang diajukan oleh pihak polisi ternyata masih berupa pasal yang masih ‘segar’ dan tidak jelas pertimbangan dari terbentuknya hukum tersebut.
Begitu juga dengan UU Anti Pornografi serta UU Pemberian Grasi, yang semenjak kasus Syaukani, entah bagaimana kelanjutan proses perolehan grasi dan remisi tersebut. Masih banyak celah-celah janggal yang bisa kita dapati dari UU RI 22 tahun 2002 tentang Grasi tapi tidak ada konsekuensi dari pelanggarannya. Sebagaimana contoh, bagian penjelasan umum UU Grasi menerangkan bahwa pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Apapun pertimbangan yang diterima oleh Presiden, tidak harus selalu dituruti. Oleh karena itu pertanggungjawaban atas pemberian Grasi, mutlak berada di pundak Presiden. Sedangkan dalam kasus Aulia cs, SBY sndiri mengakui bahwa pemberian grasi tersebut merupakan rekomendasi dari MA.
Ini baru beberapa contoh dari sekian banyak kasus yang terjadi di Nusantara agar jangan sampai merebah dalam tubuh Masisir. Jelas saja, segala macam kebobrokan amandemen dan penambahan undang-undang yang bersifat spontanitas semuanya kembali lagi ke proses legitimasi di atas. Segala macam peraturan dan wewenang tidak akan berganti semudah membalik tangan jika para personil terpilih mampu memahami seluruh peraturan yang tertulis maupun ‘urfiyyah dan tidak asal merubah.
Tapi masalah yang ada sekarang tidak semudah itu. Hukum tidak akan terbentuk tanpa melibatkan unsur politik disana. Bahkan hukum alam, menurut Hobbes, dapat berubah menjadi hukum konvensional positif jika dicampuri unsur politik. Meskipun ini hanya analogi, karena hukum alam tidak lagi diakui. Yang perlu digarisbawahi disini adalah tidak akan berdiri sebuah kepemerintahan tanpa keterlibatan unsur politik. Karena definisi politik itu sendiri bermacam-macam.
Sebelum memandangnya dengan konotasi negatif, saya mengutip perkataan Satjipto Rahardjo yang menjelaskan politik sebagai aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat. Dalam teori klasik Aristoteles, disebutkan bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd pun mengatakan bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Sedangkan kekuasaan itu sendiri wujudnya terbentuk melalui proses politik.
Bagaimana pun, proses pemilu baik dalam kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional seperti PPMI ini pasti berpolitik. Terlepas dari bagaimana proses dibalik layar berkembang sedemikian rupa, teruntuk masing-masing pihak sebagai calon nantinya, saya mengajukan satu pertanyaan. Terpilihnya presiden PPMI nanti apakah benar-benar hasil keputusan bersama Masisir yang berlandaskan kepada kepercayaan atas sosok kepemimpinan yang terdapat pada para calon-calon itu, atau hanya berpijakan pada prinsip setia kawan dan ta’assubiyah? Teruntuk semua calon saya rasa sudah memahami hal ini. Sebenarnya tidak perlu mengadakan proses penggalangan massa, karena para calon adalah pribadi berkarakter yang maju atas dedikasi, kepercayaan dan amanat yang muncul dari masyarakat. Toh, proses kampanye itu sendiri adalah bagian dari politik. Asal politik tersebut tidak demi kepentingan golongan ataupun sekian persen dari total majemuk Masisir saja, karena kalaupun begitu, jadinya politik suka-suka.
Notes:
PPMI = Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia
*Artikel ini pernah diterbitkan di buletin Informatika Orsat ICMI Kairo edisi 1-15 Agustus 2011
3 comments:
aduh,, ni bhsnnya lbh berat dr sekedar obrolan ringan kita ttg hal yg sama. beratlah bhs nya, full of law. yg anak hukum, ehem ehem hahahaha
August 8, 2011 at 8:17 PMwell,, pada intinya mnrt dr sisi pandang diriku mengenai hal ini, secara teori, UUD dan UU di ngr kita bs diblg bagus dan iedalis. akan tetapi (sgt disayangkan)prakteknya justru amburadul, kaku dan mudah dimanfaatkan oleh beberapa pihak yg mencari celah dr peraturan hukum kita demi kepentingan pribadi atau golongannya.
well,, inilah hukum yg sudah dipolitisasi kan utk kepentingan pihak ttu. bknnya bermksd mengkambinghitamkan politik (yg skrg dipandang byk pihak sbg hal yg 'kotor'). bagaimanapun, manusia sbnrnya tdk akan bs terlepas dr yg namanya politik. hanya, tergntg dr individu/kelompok itu, ingin menggunakan politik mereka ke arah mana dan dg tujuan apa
selama keadaan hukum ini dipolitisasi ke arah yg tdk baik atau menguntungkan kelompok ttu aja, lama2 tdk hanya politik saja yg dipandang rendah dan kotor oleh masy byk. tapi jg dr hukum itu sendiri yg lama2 akan kehilangan wibawa dan powernya di mata masy. dan jadilah pelanggaran hukum dimana2 krn menganggap remeh dr hukum yang ada. bs jadi krn kekecewaan atau justru mnganggap hukum itu bs dibeli atau dimanfaatkan oleh beberapa phk.
hukum kita tu ibarat seolah2 suatu hal yg disakralkan pada bungkusan luarnya tapi didalmnya justru diremehkan dan diinjak2. spt yg dirimu blg, hukum dan politk suka2.
kalo dah kyk gt, welcome to abroad aja deh buat chaos,,,
ak sndiri tdk mmandang politik sbgai hal yg kotor. kl org mngkaji Islam lbih dalam, jelas ia tahu para sahabat pun dlm kekhilafahanny tdk mngkin melepas diri dri dri politik (faslu sultoh mi ad-diin) tp entah akhir2 ni ad kalangan yg menafikan bnar2 fungsi politik itu n ingin mlepaskanny dri agama. tu slh, krn prnsipil yg trdpat dlm konstitusi sj gmpangny, byk trpengaruh dri nilai2 etika dlm agama. Bkn cm Islam aj, bhkan agama2 lain k kterpengaruhanny dlm tiap2 negara.
August 9, 2011 at 4:49 AMkl scr teori, g tau y. trbuti dlm hal grasi ni apabila dirimu mrujuk k UU-ny, psti nemu byk hal janggal yg bs dieksploitasi oleh ahli hukum utk dlanggar. amandemn d indo jg sekilas kesanny sprti mmbalik tngan aj.
"hukum kita tu ibarat seolah2 suatu hal yg disakralkan pada bungkusan luarnya tapi didalmnya justru diremehkan dan diinjak2. spt yg dirimu blg, hukum dan politk suka2."
tepat skali. krn itulah yg trjadi. 'mreka' mnggunakan dalih hukum hnya sbgai hal essential utk mmproteksi mreka agr tdk trkena jerat hukum it sndiri. tp dri dlm, mnggerogoti. ah, entahlah
kalo saya sebagai warga awam
September 1, 2011 at 4:01 AMsi melihatnya
negara ini hukum hanya sebagai formalitas saja,,
terlebihnya sih,,bisa dibuat gmana2,wajakajajj
Post a Comment