Alumni pondok yang kuliah di universitas umum itu kebanyakan
moralnya bobrok. Beberapa kawan saya pernah cerita, dengan santainya mereka
menenggak minuman beralkohol seakan-akan minuman itu sekedar teh fermentasi. Di
lain kesempatan, mereka juga cerita bahwa karena semalaman begadang nongkrong
di warung kopi, paginya mereka melalaikan sholat Idul Fitri karena bangun
kesiangan. Alasannya? “Kan sholat ‘id termasuk sunnah mar, bukan sunnah
mua’akkad lagi.” Yap, alasan yang sangat masuk akal. Tapi pahala sholat ‘id
yang hanya dapat diperoleh dua kali dalam setahun itu apa bisa diperoleh
kembali pada tahun berikutnya? Mungkin, jika masih hidup. Tapi apakah kita
berani menegaskan kata kita masih hidup pada hari esok? Ah, sesumbar menantang
takdir. Hanya orang kuasa yang bebal imannya berani berlagak di hadapan Sang
Pencipta.
Ah sebelumnya, mari intermezzo sejenak. Saat
berjalan-jalan di taman, saya selalu kagum dengan sebuah tanaman dari genus Taraxacum, atau yang lebih
terkenal dengan sebutan dandelion, adalah kemampuannya untuk bereproduksi tanpa
adanya penyerbukan dengan hasil keturunannya pasti identik dengan tumbuhan
induk. Bayangkan saja, satu bunga saja mempunyai ratusan kuntum yang lebih
kecil dengan hanya satu batang kepala benih. Pada musim gugur atau musim semi,
terkadang sering kita melihat kuntum-kuntum itu terbawa angin, menuju jendela,
menuju lapangan, menempel di baju, lewat selintas di depan muka. Bisa saja,
dandelion yang kita jumpai di Bawwabah merupakan cabang kuntum dari induk yang
tumbuh di Gami’, atau bahkan madrasah. Maka hal kedua yang saya kagumi dari
dandelion ini, adalah penyebarannya yang sangat majemuk dan tidak terbatas
jarak.
Hanya saja, identik tidak berarti mempunyai sifat yang sama
seperti induknya. Rupa dan bentuk boleh serupa, tetapi faktor geologis dimana kuntum-kuntum
kecil itu tumbuh sangat berpengaruh. Dari sekian banyak kuntum yang tersebar,
berapa banyak probabilitas dari masing-masing kuntum tersebut yang mampu
benar-benar tumbuh hingga sama elegannya seperti sang induk? Kurang lebih 35
persen. Berapa banyak kita dapati kuntum-kjuntum tersebut tergeletak begitu
saja di jalan, menempel di tiang listrik, masuk ke ruangan, dan berbagai macam
kemungkinan lain yang menyebabkan kuntum tersebut tidak menempel di tanah.
Mungkin begitu pula dengan para alumni PM Darussalam Gontor.
Setelah
graduasi, masing-masing pribadi mulai menonjolkan watak asli. Seorang santri
yang malu mengaku santri. Seorang santri yang lagaknya bukan seperti santri.
Seorang santri yang salah bergaul sehingga lupa status dirinya sebagai santri.
Seorang santri yang biasa-biasa saja ke-santri-annya. Atau seorang santri yang sengaja menjual
ke-santri-annya agar mendapatkan prestise. Alumni PM Darussalam Gontor sangat
beragam. Tapi terlepas dari contoh-contoh negatif diatas, ada satu yang bisa
disimpulkan. Mereka semua adalah pemuda-pemudi yang sudah terdidik.
Masing-masing dari mereka sudah menggenggam sebuah kunci yang tersimpan di
loker hati.
Mari kita lihat sekarang. Tidak usah jauh-jauh kembali ke
Nusantara, disini sudah cukup. Dengan agenda raksasa Silaturahim Internasional
yang diadakan di Mesir pada tahun 2011, sudah terlihat bagaimana karakteristik pentolan-pentolan para
alumni yang tersebar di berbagai negara. Mayoritas mereka yang kuliah di Timur
Tengah sanggup menempatkan diri pada posisi sebagaimana mestinya seorang santri
bersikap, lengkap dengan seluruh aspek plus-minus yang melekat. Jadi tak heran,
disaat bertegur sapa dengan alumni yang kuliah di Madinah atau Syria, ideologi
dan corak pikir yang sudah terbentuk saat nyantri tetap tidak berubah.
Itu karena mereka hidup di miliu pembelajaran yang dekat dengan kultur Islam
nan kental. Tapi tetap dalam tanda kutip, tidak semuanya.
Kalau begini, SI itu sendiri tidak penting. Yang mutlak
adalah subtansinya. Fungsi dan kandungan apa yang bisa diperoleh dari SI untuk
kemudian diaplikasikan dalam keseharian bersosialisasi saat kembali ke pangkuan
Ibu Pertiwi. Mereka yang di Indonesia kini serba terjepit. Hidup dengan tuntutan serba praktis dalam
lingkup kosmopolitan dan metropolis, ditambah berbagai masalah pelik krisis
para humanis, menjadikan para alumni harus berani menyandingkan idealism mereka
dengan wabah pemikiran disekitarnya. Tapi saya salut, wabah tersebut tidak
terlalu mendominasi. Sehingga testimony saya di paragraph paling atas tadi bisa
terbantahkan.
Apapun itu, tidak mungkin sebuah program berjalan tanpa
hikmah. Melepas rindu dengan mendengar petuah kyai-kyai sebagai pengasuh kita
saat di pondok itu saja sudah cukup. Belum lagi melihat wajah yang dulu dekat,
kini terlepas jarak. Tapi tidak lagi dengan adanya SI ini. Mungkin ke depannya
nanti, semoga saja tidak hanya beberapa orang saja sebagai utusan dari
masing-masing negeri, akan tetapi seluruhnya. Meski dengan biaya operasional
pribadi pun tak mengapa. Siapa sih yang tidak ingin bertukar ilmu dan
pengalaman dari negeri seberang?