Dia tahu bahwa dalam profesinya, sabar adalah kunci segalanya. Maka ia menahan diri untuk memaksa. Bak seorang profesional, posisi duduknya kembali ia atur, lalu masih dengan pena di tangan kanan, ia kembali bertanya.
“Mari saya ulangi lagi ya, pak Malik. Dari tadi percakapan kita masih berputar-putar. Saya mohon partisipasi anda dengan teramat sangat,” kata demi kata ia atur dengan sehalus dan serapi mungkin agar tidak timbul perasaan melawan dari klien yang dihadapi. Sebenarnya dia ingin mengatakan, Yang bermasalah itu anda! Tapi buru-buru dia kubur dalam hati.
“Fokus ya pak. Tadi pak Malik sudah menjelaskan mimpi yang kerap menghantui bapak. Sekarang, saya ingin tahu apa yang bapak lihat dari gambar ini.” Nada tiap kata masih sopan. Masih halus dan tertata. Lantas dia mengeluarkan sepotong kertas bercorak hitam seperti gambar tinta tumpah dari balik meja.
Yang ditanya justru tidak langsung menjawab. Pikirannya kembali saat pertama kali dia memasuki ruangan ini, kesan minimalis benar-benar sangat terasa. Kecuali satu pelapis dinding bergambar sebuah ular besar berwarna putih dengan latar belakang hitam gelap yang terpampang dengan jelas di hadapannya sekarang. Ular tersebut membentuk sebuah lingkaran dengan ujung kepala hampir bertemu dengan ujung ekornya, seakan-akan ingin menggigit ekornya sendiri. Aneh, gumam Malik.