oleh: Umar Vrathdar
A. Pendahuluan
Melihat kebijakan presiden
menyangkut pemberian grasi kepada mantan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani HR
berkenaan penyataan bersalah karena menyalahgunakan dana perangsang pungutan
sumber daya alam (migas), dana studi kelayakan Bandara Kutai, dana pembangunan
Bandara Kutai, dan penyalahgunaan dana pos anggaran kesejahteraan masyarakat,
dinilai banyak menimbulkan isu kontroversial. Beberapa pihak menganggap bahwa
tindakan ini mengurangi etos kerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
penanggulangan korupsi yang merebak di kawasan Nusantara kita ini. Sedangkan
beberapa pihak lain, mendukung keputusan yang diambil oleh presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), menyayangkan sikap mereka yang mengecam kebijakan
presiden dan melihat bahwa pemberian grasi ini tidak lepas dari undang-undang
dan masih dalam koridor hukum.
Sepintas jika melihat RUU Grasi,
maka kita dapat menyimpulkan bahwasanya pemberian grasi ini tidak lepas dari
hukum. Tapi terlepas dari hukum, sempat terslentingkan isu bahwa dalam hal ini,
ada isu politik yang melatarbelakangi itu semua. Apalagi menyangkut pemberian
remisi kepada Aulia Pohan, mantan besan SBY dulu, Bunbunan Hutapea, dan Aslim
Tadjuddin. Apa kaitan grasi dan remisi ini serta bagaimana kaitannya dengan
keabsahan tindakan pemerintah dengan undang-undang?
Di makalah ini, penulis akan
sedikit menjabarkan mengenai definisi grasi, kronologi pemberian grasi kepada
Syaukani serta kelayakannya, beberapa tanggapan dan kritik pada pemerintah atas
pemberian Grasi kepada Syaukani dan beberapa koruptor yang diberi grasi tetapi
tidak tertangkap hangat media serta kesimpulan apakah grasi maupun remisi
tersebut sebenarnya masuk koridor hokum atau tidak.
B. Definisi Grasi dan Remisi
Grasi, dalam Wikipedia mempunyai
artian sebagaimana berikut: salah satu dari empat hak Presiden Indonesia di
bidang yudikatif. Grasi adalah Hak untuk memberikan pengurangan hukuman,
pengampunan, atau bahkan pembebasan hukuman sama sekali. Sebagai contoh, yaitu
mereka yang pernah mendapat hukuman mati dikurangi menjadi hukuman penjara
seumur hidup. Sedangkan grasi dalam KBBI adalah ampunan yg diberikan oleh
kepala negara kepada orang yang telah dijatuhi hukuman. Remisi sendiri dalam
Wikipedia adalah pengurangan masa hukuman yang didasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dan definisi lain dalam KBBI,
yaitu pengurangan hukuman yang diberikan kepada orang yang terhukum.
Disini penulis mengambil
kesimpulan, bahwasanya grasi dan remisi adalah hak presiden dalam meringankan
hukuman seorang terpidana, baik keputusan tersebut berlandaskana alasan kuat
maupun tidak. Apalagi tertulis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2002 Bab 1 Pasal 1. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan,
peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana
yang diberikan oleh Presiden. Dalam pengaturan pasal-pasal selanjutnya, tidak
tertuliskan disana untuk menyertakan alasan dari pemerintah mengenai pemberian
grasi atau remisi. Inilah yang menyebabkan kerancuan dalam undang-undang dan menimbulkan
banyak spekulasi dari berbagai pihak.
Pantaskah Syaukani Diberi
Grasi?
Mari kita ambil contoh Syaukani.
Koruptor yang satu ini sudah Pada 18 Desember 2006,
ia ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus korupsi pembebasan lahan Bandara
Loa Kulu yang diduga merugikan negara sebesar Rp 15,36 milyar, namun
segera setelah itu Syaukani langsung menjalani perawatan rumah sakit selama
sekitar 3 bulan dan tidak kembali ditahan setelah selesai menjalani perawatan.
Pada 16 Maret 2007,
Syaukani akhirnya dijemput paksa dari Wisma Bupati Kutai Kertanegara di Jakarta
untuk menjalani pemeriksaan di KPK. Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 14 Desember 2007,
memvonis Syaukani dengan hukuman penjara dua tahun enam bulan karena terbukti
melakukan tindak pidana korupsi selama 2001 hingga 2005 dan merugikan negara
Rp113 miliar. Tindak pidana korupsi yang dilakukan Syaukani adalah
menyalahgunakan dana perangsang pungutan sumber daya alam (migas), dana studi
kelayakan Bandara Kutai, dana pembangunan Bandara Kutai, dan penyalahgunaan
dana pos anggaran kesejahteraan masyarakat. Sampai hari ini, Syaukani tercatat
sebagai pasien dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Dan kemarin,
melalui surat Grasi No. 7/G Tahun 2010 tertanggal 15 Agustus 2010 yang
ditandatangani Presiden SBY, hukuman mantan Ketua DPD Partai Golkar Kaltim
tersebut, dikurangi dari tadinya enam tahun menjadi tiga tahun penjara.
Masalah sebeanrnya bukan disini,
tapi Syaukani sebelumnya telah menjalankan hukuman bui dalam kurun waktu tiga
tahun dari sisa hukuman 6 tahun, maka setelah SBY menurunkan keputusan grasi
tersebut, otomatis dia dinyatakan warga bebas. Pada 18 Agustus lalu, surat
pembebasan diantar staf Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang kepada Syaukani
yang sedang dirawat di RS Cipto Mangunkusumo. Dari sinilah masyarakat menuai
protes.
Menurut Patrialis Akbar, Menteri Hukum dan HAM kondisi kesehatan Syaukani
yang memprihatinkan membuatnya pantas mendapat grasi dari Presiden.
Faktanya, berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1995 dan PP tahun 1996, semua mengatur
remisi pada siapapun dan harus ada klarifikasi. Saat ini ada empat koruptor
yang dapat remisi di antaranya Aulia Pohan dan Syaukani. Semuanya sudah bebas
bersyarat dan sudah ada waktunya. Sedangkan Syaukani harus membayar Rp45 miliar
dan suratnya sudah ada di KPK. Penulis mengutip perkataan Patrialis, “Kalau
tidak membayar, kita tidak mau. Itu cash n carry dan dia harus dapat
jaminan dari keluarga,” Artinya, walau Syaukani sudah terlepas dari hukuman
bui, dia tetap diwajibkan oleh Negara untuk mengganti kas keuangan yang telah
ia raup, meski hanya 1/3 dari total 113 M. Bukan berarti dia bebas lalu tidak
membayar, tidak begitu.
Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin
A Tumpa mengakui jika institusinya memberikan pertimbangan pada Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono untuk memberikan grasi terhadap mantan terpidana kasus
korupsi Syaukani. Menurut keterangan dokter Cipto Mangunkusumo,
Syaukani akan alami cacat permanen dan stroke berat. Jika diteruskan dirawat di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo justru akan merugikan keuangan negara. Mengapa?
Karena kas negara yang semula lebih. "Itu pertimbangan MA, dan kami nggak
bicara pertimbangan hukum, tapi pertimbangan sosiologis kemasyarakatan dan
keadilan," jelas Harifin. Harifin menjelaskan, awalnya kuasa hukum
Syaukani mengusulkan grasi pada 2009. Saat pengajuan grasi, kuasa hukum
Syaukani menyertakan surat keterangan dokter tentang kondisi Syaukani yang
sudah tidak dapat bergerak. Kemudian, Ketua MA menyerahkan data tersebut pada
salah satu hakim agung untuk menelaah usulan grasi tersebut. Akhirnya, MA
memutuskan merekomendasikan pada Presiden untuk memberi grasi pada Syaukani.
Tidak semua referensi penulis
langsung tulis di atas, langsung saja penulis ambil poin-poin penting yang
perlu digarisbawahi: