(revisi dari: Empati)
Jalannya tertatih, ringkih, hembusan nafasnya yang terputus-putus seperti berpacu detik dengan malaikat maut. Mata tua yang mudah meredup dan celana coklat butut yang ia kenakan, mungkin pasangan sejati yang pertama kali ditangkap semua orang yang melewatinya. Tentu dengan tidak melewatkan sebuah kaos putih yang selalu ia pakai.
Dan inilah kami. Lagi-lagi bertemu
begitu saja, di Port Said, tanpa sengaja, tanpa janji. Berjalan, berpapasan,
tanpa tegur sapa, hanya berbalas senyum. Tubuh tuanya berjalan lambat – walau
sedikit tertahan, tapi pasti. Seakan-akan emosi alam sudah bercampur dengan
jiwa raganya. Sedangkan aku? Aku hanya berjalan lurus, tidak lebih. Percuma aku
memberinya uang, kuduga dia pasti menolaknya. Materi bagi orang tua sepertinya,
fana dan tidak kekal. Sedikit saja aku bersimpati, dia juga pasti menolak diri.
Kami berdua seperti pemain catur yang sedang saling menerka gerakan lawan.
Salah langkah sedikit, label taruhannya. Iblis, atau malaikat?
Tapi singkat saja. Kemudian sang
kakek menjulurkan tangan, kami berjabat erat, saling tersenyum. Orang tua itu
melanjutkan jalannya, aku berdiri mematung.
Rahmat mengernyitkan dahi. Mungkin
kawanku ini kebingungan, antara aku dengan si orang tua, di sini sama
berpapasan. Tetapi sama tidak bergeming, saling terdiam. Bukan, ujarku
dalam hati. Tolong jangan tatapkan pandangan skeptis itu ke arahku. Kau
hanya belum merasakan. Coba saja kau berdiri di atas sepatuku, menatap
sosok rentanya dari tempatku sini. Apa yang kau lihat?
Di mataku, dia bagaikan matahari. Dulu
pernah aku bercerita ke Rahmat tentang seorang kakek tua berkulit hitam, yang
mengenakan baju kumal bergambar lingkaran dengan sebuah segitiga menyembul di
tengah. Mungkin gambar itu melambangkan sesuatu. Entah kenapa, imajinasiku
memaksa, ini simbol bintang berpijar. "Bukannya itu cuma gambar
lingkaran?" kawanku menimpali.
“Tidak, sobat. Keras semangatnya yang
telah ia banting habis untuk sisa hidup koleganya. Juga beratus tapak sudah dia
injak hanya untuk membuktikan, di dunia tiran ini masih ada simpati. Dan meski
ia tidak berharap puja, cintanya kepada mereka yang terus saja mencacinya,
begitu luas. Bagaikan luapan sinar surya di atas alam raya,” jawabku. Dan
tidak sekali pun sosok renta itu pernah berhendak pamrih. Tidak, tidak sama
sekali.
"Sok pujangga kau. Seolah-olah
sudah kenal dia bertahun-tahun saja," waktu itu Rahmat membalas, tawanya
meledak sembari tangannya menepuk-nepuk punggungku. Bibirku tersenyum simpul.
Ah, kejadian itu. Masa lalu. Kini mataku
masih melekat kepada sosoknya yang kini mulai menjauh.