.avatar-image-container img { background: url(http://l.yimg.com/static.widgets.yahoo.com/153/images/icons/help.png) no-repeat; width: 35px; height: 35px; }

"Memento Mori"

What is the PRECIOUS thing you TREASURE most in your LIFE?

"Memento Mori" means:

Remember you are mortal...

Vita brevis breviter in brevi finietur,
Mors venit velociter quae neminem veretur,
Omnia mors perimit et nulli miseretur,

Ad mortem festinamus peccare desistamus.


Ketika kita memiliki perasaan atau sebuah memori yang teramat menyakitkan, kesadaran akan menekan memori tersebut ke dalam alam bawah sadar sebagai bentuk pertahanan diri. Kenangan tersebut lambat laun akan terlupakan meski tidak hilang seutuhnya. Begitu juga kenangan indah, ia mampu memaksa otak untuk memimpikannya berulang-ulang. Menariknya, jika memori mampu tenggelam ke alam bawah sadar, apakah mungkin alam bawah sadar memunculkan sebuah ide atau gagasan yang tidak berasal dari kesadaran?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, mari kembali pada tahun 1961. Pada penghujung hidupnya, Carl Gustav Jung menulis artikel pada bunga rampai bertajuk, Man and His Symbols. Ia mengukuhkan krusialnya fungsi mimpi seorang manusia dalam menentukan jati diri. Selama ini mimpi selalu memproyeksikan beberapa simbol, lantas apakah simbol tersebut bisa dianalisis hanya dengan mengacu kepada sebuah buku dan mencari kemiripan simbol yang muncul dalam mimpi di buku tersebut? Tentu tidak bisa, dan tidak akan bisa.
Dalam dunia simbol, kita mengenal simbol kolektif dan simbol individual (sudah saya bahas dalam Bagaimana Ikon Menelanjangi Jati Diri). Simbol kolektif tentunya representasi dari kesadaran majemuk dan menyatakan bahwa simbol tersebut memiliki makna umum yang bisa diketahui bersama, seperti: tengkorak sebagai simbol kematian, matahari sebagai simbol kehidupan, dan pelbagai simbol lainnya terutama dari pelbagai mitologi kuno. Sedangkan simbol individual ditampilkan sebagai corak khusus manifestasi diri untuk menunjukkan ego. Contoh paling lugas dan simple: sebuah perusahaan membutuhkan logo yang unik untuk merepresentasikan ‘wajah’ mereka kepada masyarakat, tiap orang memiliki tanda tangan yang berbeda antara si A dengan B dan seterusnya (grafologi) ataupun pelbagai atribut yang melekat pada tubuh yang menandakan bahwa inilah trademark mereka.
Maka mimpi, sekali lagi, adalah proyeksi simbolik yang ingin ditunjukkan alam bawah sadar kepada kesadaran. Dalam dua mimpi atau lebih biasanya terdapat kesamaan simbol dan untuk menginterpretasikannya musti merujuk ke personalia masing-masing. Setiap individu memiliki pengalaman, kenangan, pembelajaran, idealisme dan religiuitas berbeda, maka tidak mungkin kita menafsirkan semua simbol kunci dan lubang kunci dengan hasrat seksual seperti yang dikemukakan Freud. Jung mengembalikan mimpi kepada si empunya. Ada titik tolak yang berbeda untuk setiap personalia. Bisa jadi lambang lubang kunci menunjukkan satu hasrat seksual untuk mereka yang berlibido tinggi, lalu bermakna harapan, kesejahteraan dan kesahajaan untuk lainnya, seperti yang dituangkan Campin dalam lukisannya pada sebuah altar di abad ke-15.
Terkadang mimpi juga beralih menjadi sebuah pengingat. Lihat kasus pasien yang mengalami gangguan neurotik, disosiatif amnesia, misalnya. Mereka mengalami gangguan ingatan jangka panjang karena trauma atau musibah yang pernah dialaminya, sehingga otak akan melakukan mekanisme defensif diri untuk menutup akses ke memori tersebut dengan sangat kuat: menguburnya dengan beragam memori yang indah atau semacamnya. Tetapi ketika dia berada dalam sikon yang sama sesuai dengan pemicu awal amnesianya (kejadian buruk tersebut), kesadaran akan tetap memblokir utuh akses ke memori buruk tersebut, tetapi alam bawah sadar akan menuntun si pasien untuk menyelamatkan diri agar tidak terjerembap di situasi yang sama. Bisa dengan mimpi, ataupun secara sadar, ketika dia tidak tahu harus melakukan apa tapi secara intuitif tergerak secara spontan.
Dalam keadaan sadar, peristiwa ketika seseorang mampu merepresi memori secara alamiah, disebut dengan ‘lupa yang disengaja’. Freud mendeskripsikannya sebagai kumpulan memori yang benar-benar siap untuk ditanggalkan. Nietzsche menggambarkan dengan lugas, “Where pride is insistent enough, memory prefers to give away.” Para psikolog modern menyebutnya sebagai a repressed contents; terkuburnya sebuah ide yang dinilai buruk oleh diri ke dalam alam bawah sadar sebagai mekanisme pertahanan diri.
Contoh paling mudahnya seperti seorang sekretaris yang sedikit iri kepada koleganya. Dalam setiap pesta atau rapat, sekretaris ini seringkali lupa untuk mengundang ‘si kolega’. Bahkan ketika ditegur atau dilabrak, sekretaris ini dengan simpelnya berkata lupa atau “maaf, saya banyak pikiran.” Dia hanya enggan atau memang secara tidak sadar tidak ingin mengakui faktor dasar kelupaannya adalah karena iri hati karena si kolega tersebut adalah anak emas bos.
Begitu pula dalam mimpi. Simbol kolektif mengenal pelbagai simbol dari mitologi kuno, memiliki kemiripan peristiwa-peristiwa umum. Mimpi seperti: jatuh dari tempat tinggi, lari dari sesuatu atau seseorang, lari dengan kencang, dalam keadaan lemah tak berdaya terjebak di tengah-tengah konflik atau sebuah pertempuran, bertempur melawan sesuatu dengan sangat spektakuler, dan sebagainya. Ada kemiripan dari faktor penyebab psikologis di sana, mengapa dan bagaimana seseorang bermimpi demikian.
Sebut saja mimpi terjatuh dari suatu tempat yang sangat tinggi. Ada beberapa kemungkinan faktor penyebab munculnya mimpi ini. Pertama, bisa jadi orang tersebut sedang mengerjakan sebuah perkara dengan ekspektasi melebihi kapasitas yang ia mampu. Kemungkinan kedua, hampir sama dengan kemungkinan pertama, hanya saja hasil yang ditargetkan lebih mendekati mustahil. Kemungkinan ketiga, orang tersebut terlalu jumawa menganggap diri sendiri lebih tinggi daripada orang di sekitarnya, entah mungkin dalam pekerjaan yang digeluti atau lingkungan sekitarnya, dan dia menganggap bahwa tidak ada yang bisa melebihinya.
Tentunya, dalam menganalisis sebuah mimpi, satu dari sekian kemungkinan yang ada memiliki probabilitas yang sama dalam skala prioritas faktor pemicu. Bisa jadi, seseorang yang bermimpi jatuh dari sebuah tempat tinggi, memiliki salah satu dari tiga kemungkinan di atas sebagai pemicu psikologis, atau bisa jadi tidak sama sekali karena penyebab tersebut sangat berkaitan dengan kehidupan pribadi si pemimpi. Karenanya, Jung selalu mengulang-ulang nasehat berikut kepada para muridnya, “Pelajarilah simbolisme secara totalitas, tetapi dalam menganalisis mimpi pasienmu, sejauh mungkin tinggalkan apa yang telah kamu pelajari dari simbolisme.” Dibutuhkan sesi terapi, dialog, rangkaian tes, komunikasi akrab, rasa keterpercayaan, untuk menimbulkan suatu pemahaman global terhadap personalia pasien secara menyeluruh.
Sayangnya, perkembangan manusia menuju dunia yang modern, ketika penolakan terhadap agama semakin kentara, atau lebih jauh ke dalam era post-modern dengan pelbagai interpretasi skeptisnya, malah seringkali memisahkan antara kesadaran dengan insting paling dasar pada kejiwaan manusia, baik dari ketakutan (terkadang dibutuhkan agar seseorang tidak berlaku ceroboh), dan beberapa insting lain terutama kehausan spiritual. Tradisi urban menuntut —hingga taraf memaksa— manusia untuk lebih mengedepankan rasionya, berpikir serba realistis dan pragmatis. Walhasil, krisis yang dipaparkan oleh Jung sebagai ‘terciptanya manusia-manusia plastik’ yang bahkan karena terlalu lelah bekerja dan pemikiran yang serba sempit dalam memandang sesuatu, memaksa pikiran untuk tidak lagi memproduksi mimpi sebagai pengingat alamiah dari alam bawah sadar yang berfungsi mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan oleh kesadaran. Mereka pasti mengabaikan kata hati yang mereka rasakan pertama kali yang terkadang muncul sebagai mimpi yang  meninggalkan jejak di kepala meski sudah terbangun, dan malah mengikuti alur logika yang mereka anggap benar.
Seorang pemikir kondang pun masih bisa menyangkal makna mimpi. Dalam buku Thus Spoke Zarathustra milik Nietzche, terdapat bagian kisah yang bercerita tentang insiden yang terjadi dalam perjalanan sebuah kapal pada tahun 1686. Secara tidak disengaja, Jung pernah membaca kisah tersebut pada sebuah buku yang terbit pada tahun 1835, hampir separuh abad sebelum Nietzche melahirkan magnum opus-nya. Psikolog Jerman ini mulai menyadari kejanggalan tersebut saat ia menemukan gaya tulisan yang sangat berbeda pada Thus Spoke Zarathustra, hanya pada bagian tertentu yang mengisahkan tentang insiden dalam sebuah data perjalanan kapal.
Saat ia mencocokkannya dengan buku miliknya, tulisan yang ada sangatlah mirip, kata demi kata, bak plagiasi. Meskipun Nietzche sama sekali tidak pernah menulis referensi yang merujuk ke buku tersebut, saat Jung mengklarifikasikan hal itu kepada adik dari pencetus ungkapan terkenal “Gott ist tot!” ini, sang adik mengaku bahwa mereka berdua pernah membaca buku tersebut saat Nietzche berumur 11 tahun. Bisa jadi, 50 tahun setelahnya, memori tersebut mencuat dari alam bawah sadar Nietzche saat gelombang sadarnya berada dalam keadaan sangat tenang, antara mimpi dan sadar, dan dia pun menuangkannya pada bukunya.
Maka sebuah mimpi tidak akan hadir tanpa sebuah faedah, baik proyeksi simbolik sebagai pengingat alam bawah sadar, maupun mimpi sebagai pencetus ide dari rekaman memori yang pernah ditangkap otak. Mimpi pun bisa hadir sebagai isyarat Tuhan, ilham yang ditangkap oleh para nabi, ulama dan orang-orang saleh pilihan. Islam sama sekali tidak memungkiri hal ini, karena ada tiga epistemologi menurut para ulama Mantiq: rasio, empirik dan wahyu atau ilham. Banyak kisah terabadikan dalam al-Quran, seperti mimpi nabi Ibrahim, mimpi nabi Yusuf, mimpi raja Mesir, mimpi Fir’aun, dan banyak lagi.
Dalam penafsiran mimpi yang membawa isyarat ilahi, sepenuhnya kembali ke kepribadian dan sisi religius si pemimpi. Tidaklah mungkin seorang begal, bermimpikan menjadi nabi kecuali mimpi tersebut dibawakan oleh syetan. Bahkan Tafsir al-Ahlam milik Ibn Sirin juga tidak bisa semata-mata menjadi pedoman dalam menginterpretasikan mimpi, karenanya jangan heran jika ada seseorang bermimpi A, lalu mengira akan terjadi sesuatu seperti yang terbaca atas deskripsi dari mimpi A, yang terjadi malah sebaliknya atau di luar interpretasi tersebut.
Di dalam mimpi, seringkali kita berada dalam sebuah peristiwa, tanpa pernah mengingat bagaimana mulanya kita bisa sampai di sana.
Di dalam mimpi, bisa jadi kita menjelma seorang manusia superior bak superhero di kisah-kisah fiktif. 
Di dalam mimpi, kita bisa menemui seseorang yang seharusnya tidak mungkin bisa kita temui di dunia nyata. Perasaan selanjutnya yang menyusul, entah haru biru atau bahkan ketakutan yang mencekam.
Mimpi adalah sahabat yang acap kali dibenci atau diacuhkan, meski menyikapinya secara berlebihan tanpa ilmu yang cukup juga sangat tidak baik. Mimpi itu unik, selalu membawa aura enigmatis yang sangat khas.
Siapa tahu saat semua orang serentak memimpikan kejadian yang sama, suatu kejadian yang mengguncangkan semesta akan terjadi.

* - tulisan ini pernah tayang di website berbeda.

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Software