Membaca Qunut dalam shalat Subuh sudah disepakati oleh banyak ulama salaf salih baik dari golongan Sahabat, Tabi’in bahkan ulama-ulama kontemporer. Tersebut dalam sebuah hadits masyhur yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra,
"أن النبي صلى الله عليه
وسلم قنت شهرا يدعو عليهم ثم تركه، وأما في الصبح فلم يزل يقنت حتي فارق
الدنيا"
“Sesungguhnya nabi SAW telah membaca Qunut selama sebulan penuh
kemudian meninggalkannya, sedangkan dalam qunut Subuh, beliau tetap membacanya
sampai akhir hayatnya.”
Hadits di atas telah disepakati oleh para ahli hadits dan dibenarkan,
termasuk salah satunya oleh Imam Nawawi ra. dan banyak lagi. Madzhab Syafi’i dan
Maliki juga secara tegas mengamini dan mengamalkan bahkan menganggap membaca
Qunut dalam setiap shalat Subuh sebagai sunnah muakkadah. Mereka juga
menganggap bahwa hukum nasakh atas membaca Qunut hanya berlaku untuk beberapa
keadaan tertentu, tetapi tidak berlaku dalam pembacaan Qunut ketika shalat
Subuh.
Imam al-Hafidz Abu Bakr al-Hazimi dalam kitabnya, Al-I’tibar fii
Bayani an-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar (cetakan III, hal. 90-91)
menyatakan, “Generasi salafus salih dan para ulama kontemporer berselisih
pendapat dalam membaca Qunut ketika shalat Subuh. Tetapi hampir mayoritas dari
seluruh kalangan sahabat, tabi’in dan generasi-generasi setelahnya menyatakan
kebolehan membaca Qunut."
Lebih lanjut, beliau merinci setiap sahabat yang membaca Qunut dalam
shalat Subuh seperti: para khulafa ar-rasyidin, ‘Ammar bin Yasir ra, Ubay bin
Ka’b ra, Abdurrahman bin Abu Bakr Ash-Shidiq ra, Abu Musa al-Asy’ari ra,
Abdullah bin Abbas ra, Abu Hurairah ra, al-Barra’ bin ‘Azib ra, Anas bin Malik
ra,Abu Halimah Mu’adz bin al-Harits al-Ansori ra, Ahban bin Saifi ra, Sahl bin
Sa’d as-Sa’idi ra, Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra dan Aisyah ra.
Sedangkan dari para tabi’in yang sekaligus mengamini, terdapat: Sa’id
bin Musib ra, al-Hasan bin Abi al-Hasan ra, Muhammad bin Sirin ra, Abban bin
Utsman ra, Qatadah ra, Thawus ra, ‘Ubaid bin Amir ra, ar-Rabi’ bin Hutsaim ra,
‘Ubaidah as-Salmani ra, ‘Urwah bin Zubair ra, Ziyad bin Utsman ra, Abdurrahman
bin Abi Layla ra dan tak kalah lupa khalifah Umar bin Abdul Aziz ra.
Begitu juga dari para ahli Fiqh, seperti: Abu Ishaq, Abu Bakr bin
Muhammad, Ibn ‘Utaibah, Malik bin Anas, Imam Auza’i, mayoritas dari Ahl Syam,
Imam Syafi’I dan para pengikutnya, Imam ats-Tsauri, dan banyak lagi.
Terlepas dari itu, masih banyak segelintir orang yang
menyalah-nyalahkan, bahkan melarang untuk membaca Qunut dalam shalat Subuh.
Bahkan ada juga yang mengira, pada awalnya memang disyariatkan, tetapi kemudian
ternasakh, dan mereka memercayai pendapat tersebut. Padahal pendapat tersebut
sangat tidak tepat.
Beberapa ulama berkeyakinan bahwa membaca Qunut dalam shalat Subuh hanya
berlaku pada masa pandemi atau saat berlangsungnya bencana alam. Jika tidak
ada, maka tidak perlu membaca Qunut. Pendapat di atas diamini oleh mazhab
Hanafi dan Hanbali.
Dalam kondisi pandemi, terjadinya suatu wabah atau adanya bencana alam,
hampir semua mazhab sepakat menyarankan membaca Qunut ketika shalat Subuh.
Terkait di luar shalat Subuh, ada perbedaan pendapat. Mazhab Maliki menyatakan
cukup membacanya ketika shalat Subuh, mazhab Hanafi menyunahkan untuk boleh
membaca Qunut dalam setiap shalat Subuh, Maghrib atau Isya. Sedangkan mazhab
Syafi’i menyatakan untuk boleh membaca Qunut dalam setiap sholat lima waktu,
dan pendapat ini yang diamini oleh mufti Republik Mesir, Syeikh Syauqi Alam.
Maka bisa disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat alam membaca
Qunut dalam shalat Subuh di luar masa wabah atau era pandemi, tetapi hampir
semua ulama sepakat membolehkan membaca Qunut saat sebuah wabah berlangsung.
Syeikh Syauqi Alam di majalah al-Azhar edisi Oktober/November
tahun 2013 M, pernah menulis juga tentang hal ini. Bagi umat Islam yang
meyakini bahwa membaca Qunut hanya dibolehkan hanya di era pandemi atau pada
saat sebuah wabah berlangsung, seyogyanya untuk tidak membid’ah-bid’ahkan sesama
saudaranya yang membaca Qunut meski tidak dalam era pandemi.
Salah seorang ulama dari mazhab Hanbali, seperti yang dikutip dalam buku
Zadu al-Mu’ad fi Hadyi Khairi al-‘Ibad,
Ibn al-Qayyim al-Jauzi juga menyatakan bahwa dia tidak pernah mengingkari atau
mencela sesama saudara semuslim yang membaca Qunut dalam setiap shalat Subuh
baik saat sebuah wabah atau pandemi berlangsung atau di hari-hari biasa.
Pendapat dua syeikh besar di atas sekaligus mengingatkan kita untuk
tidak berkoar-koar berkomentar dan selalu mendahulukan bertanya kepada pakar,
dalam hal apapun. Semisal dalam membaca Qunut dalah shalat lima waktu, karena
objek tersebut termasuk dalam pembahasan Fikih, maka wajib bagi kita untuk
bertanya kepada para ahli Fikih dan mencari tahu segala muasal munculnya suatu
pendapat atau fatwa, baik perseorangan atau dari mazhab.
Allah SWT berfirman,
"فَسْئَلُوْا
أَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ"
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika
kamu tiada mengetahui.”(QS. An-Nahl: 43)
Makna dari ayat tersebut adalah dengan menggunakan pengertian umum, karena dalam hal ini para ulama sepakat menggunakan kaedah
العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Ibarat dari firman Allah SWT di atas ditujukan untuk konteks umum karena tidak ada mukhassis (pengkhusus) yang menjelaskan tentang ahlu adz-dzikri di atas, maka sepantasnya untuk tidak elok seorang Muslim berkata, menjawab atau menjelaskan sesuatu yang tidak dia kuasai. Pun tidak elok untuk bertanya kepada yang bukan pakar.
Begitu juga untuk para pengikut seorang ulama atau suatu mazhab untuk
tidak menyalahkan madzhab lain dalam suatu permasalahan, karena seharusnya laa yanqudlu
al-ijtihad bi al-ijtihad, tidaklah suatu ijtihad membatalkan suatu ijtihad
lain dalam permasalahan. Wallahu jalla wa 'alaa a'lam bis shawab.