Credit: artconnect |
“Kalau kamu mati, aku akan mengenakan kostum Cheshire di pemakamanmu.”
Rani menyengir. “Jangan bercanda dengan hal-hal seperti itu. Kamu mau aku mati duluan?” Pria di sampingnya garuk-garuk kepala.
“Tentu aku hanya bercanda, Ran.”
Mereka berdua berhenti di sebuah toko kecil dengan tulisan Pet Stop besar terpasang di papan.
“Pet Stop?”
Lelaki di sampingnya tertawa kecil. “Mungkin yang nulis lagi tidak pakai kacamata,” selorohnya. Dari dulu kamu sering sekali bercanda, Rani membatin. Tapi itu salah satu yang dia suka dari diri lelaki itu.
Suara berbagai macam hewan peliharaan langsung menyapa telinga mereka berdua setelah memasuki toko.
“Kamu mau membelikan aku kucing?”
Lelaki di sampingnya tidak segera menjawab, dia sedang berbincang-bincang dengan pemilik toko. Baru setelah dia memberikan secarik kertas kepada pemilik toko, lelaki itu menoleh ke Rani.
“Kali ini ada dua kejutan untukmu. Tapi tahu sendiri, setelah ini aku harus pergi meliput Pak Karmo. Jadi aku harap meski minggu depan aku tidak di rumah, masih ada yang menemanimu. Anggaplah dia sebagai penggantiku untuk sementara waktu.” Pemilik toko sudah kembali sambil membawakan sebuah kandang kecil di tangan dan menyerahkannya ke Rani. Di dalamnya, seekor kucing anggora berwarna biru gelap berkalungkan nama Cheshire, menatap Rani dengan mata bulat yang sangat menggemaskan.
“Warna bulu dan matanya benar-benar persis seperti di novel. Ya sudah, aku beri dia nama yang sama.”
Mata si wanita berkaca-kaca. Rani sebenarnya sudah bisa menebak apa hadiah yang akan diberikan untuknya sejak pertama kali mereka berhenti di depan toko. Tapi untuk seekor kucing yang persis seperti tokoh kucing dari buku favorit mereka, tentu suaminya sudah mencari ke mana-mana. Kucing seperti ini tidak bisa sembarang ditemukan di jalanan, atau di toko-toko hewan biasa. Sambil memeluk erat kandang kucing di tangannya, Rani mencium pipi suaminya.
Pipi Ardy bersemu merah. “Jangan di depan umum dong. Malu dilihatin orang. Eh, aku masih punya satu kado lagi untukmu.”
“Apa itu?”
Ardy cengar-cengir. “Aku bawakan minggu depan, janji. Tapi sekarang, aku harus segera pergi. Pak Karmo, orang kedua di negara kita terduga korupsi. Padahal kota ini semakin bagus saat dia memimpin.”
Itu satu-satunya janji Ardy yang tidak pernah ia tepati.
Dua hari menjelang peringatan hari pernikahan mereka, Rani sedang sibuk menyiapkan bahan sebagai pembaca acara dalam talk show miliknya. Cheshire sudah terdengkur pulas di pangkuan, saat tiba-tiba hapenya berbunyi dan Mamat, rekan setim Ardy yang sama-sama bertugas meliput berita tentang Karmo, mengabarkan peristiwa atas kecelakaan sebuah sedan Toyota berwarna hitam. Mulut Rani tercekat. Dia berjingkat berdiri dan Cheshire yang terjatuh dari pangkuannya mengeong kesal. Rani tahu, tanpa Mamat menjelaskan, dari sekian juta mobil yang sama, hanya satu mobil di dunia ini yang dia maksud. Mobil Ardy. Wajah Rani basah oleh air mata.
Beberapa hari berselang. Malam demi malam wanita malang itu lalui dengan memandangi foto-foto mesra saat mereka berdua dan membuka-buka buku catatan suaminya. Setiap kali ia melakukannya, air matanya selalu menetes. Dia merasa ada sesuatu yang janggal dalam kematian suaminya, tapi otaknya tidak bisa mengajak hati untuk bekerjasama. Cheshire, bukannya prihatin, malah semakin sering mengeong-ngeong minta makan. Tapi seakan paham majikannya sedang bersedih, si kucing mendengkur pelan sambil mengelus-eluskan kepalanya ke tubuh Rani.
Pihak televisi masih terus meminta kembali Rani untuk mengisi talk show. Ratusan surat masuk memenuhi email dan hampir di setiap akun sosmed miliknya berisikan ucapan bela sungkawa dari para penggemar dan penonton setia yang selalu menanti hadirnya kembali sosok Rani di televisi. Puluhan ikatan bunga di ruang tamu tergeletak tak beraturan seperti rerimbun daun yang terserak di taman kota pada musim gugur.
Sesekali Mamat mengunjunginya untuk sekedar membawakan makanan, ataupun mengajaknya jalan-jalan semata-mata hanya untuk menghiburnya. Berulang kali juga dia menawarkan untuk membantu membereskan rumah Rani, tapi selalu ditolak. Dari kunjungan yang semula hanya seminggu sekali, beralih hampir setiap hari. Cheshire selalu mendesis dan mengeong keras setiap Mamat berkunjung, tapi Rani memilih untuk tidak mengacuhkannya. Dia tahu Mamat adalah teman baik suaminya, jadi setiap kali Mamat datang, Rani menerima apa saja yang dia bawakan dan meletakkannya di atas meja. Sebenarnya dia tidak suka cara tiap kali Mamat mencuri pandang ke arahnya ketika suaminya mengajaknya ke rumah, atau saat berpapasan dengannya di kantor suaminya. Caranya memandang Rani seperti seekor serigala yang siap menerkam mangsa. Tapi kali ini, Rani tidak mau ambil pusing. Mamat teman suami yang satu-satunya pernah ia bawa ke rumah, tentu Ardy mempercayainya dengan tulus. Mau tidak mau, Rani juga harus berlaku sama untuk menghormati mendiang suaminya.
Cheshire mendesis dan mengambil jarak dengan Mamat setiap kali dia datang. Kelakuannya baru berhenti saat Rani menggendong dan meletakkan kucing biru itu di pangkuannya. Hanya sesekali Rani menimpali percakapan basa-basi dari Mamat, lantas Mamat pamit pulang. Begitu seterusnya. Makanan yang dibawakan oleh Mamat tidak pernah ia santap, semuanya ia taruh di mangkok makanan si kucing. Cheshire juga seoertinya tidak mau menyentuh makanan yang dibawa Mamat, walhasil makanan-makanan itu pun dibuang.
Sampai pada suatu pagi, bel rumah berbunyi. Cheshire mengeong-ngeong dengan keras sambil mencakar-cakar pintu. Tidak pernah Cheshire bertingkah seperti ini sebelumnya. Rani yang keheranan mencoba membawa masuk Cheshire ke kandang. Kucing itu berhasil kabur dan dengan gesitnya berlari ke dalam kamar. Sambil bergumam kesal, Rani membuka pintu.
“Selamat pagi, dik Rani. Adik tentu tahu siapa saya. Boleh saya masuk?”
Tentu saja Rani sangat mengenali wajah lelaki separuh baya berkacamata dengan rambut separuh botak itu. Wajahnya yang sering sekali muncul di berbagai media akhir-akhir ini dan namanya berulangkali ia temukan di buku catatan suaminya. Rani langsung menutup pintu, tapi sebuah tangan kekar menahan pintu itu untuk tetap terbuka. Tangan dari seorang lelaki berbadan besar dengan jas hitam yang kini menatapnya tajam. Lelaki tua separuh botak itu memberi isyarat kepada pria berbadan besar untuk mundur.
“Maafkan dia ya, dik Rani. Dia Dodon, pengawal saya. Orangnya cepat sekali naik darah.” Rani merasa jijik dengan senyuman lelaki tua itu. “Saya sangat, sangat berduka atas kepergian suami adik dan ingin sekali berbicara dengan dik Rani. Makanya saya langsung menyempatkan diri ke sini begitu ada waktu kosong. Saya hanya ingin mengobrol sebentar saja. Boleh?”
Rani ragu sejenak, dan akhirnya mempersilakan masuk. Lelaki tua itu langsung masuk, diikuti dengan si pengawal. Tanpa menunggu dipersilahkan duduk, dia segera merebahkan dirinya di atas sofa, sedangkan pengawalnya lebih memilih untuk tetap berdiri di dekat pintu. Rani duduk sambil menatap hati-hati dua lelaki di hadapannya.
“Ada angin apa, orang besar seperti Pak Karmo tiba-tiba datang kemari?”
Lelaki tua itu melipat tangannya dan tersenyum lagi. Rani jijik melihatnya. Senyum palsu yang selalu melekat di wajah lelaki ketika sedang berbohong. Rani tahu, karena sudah puluhan kali dia mengundang bintang tamu di acara talk show miliknya. Mereka semua memiliki senyum yang sama.
“Saya melihat banyak sekali karangan bunga di lantai. Para penggemar dik Rani pasti sangat sayang dengan kalian. Kematian dik Ardy benar-benar sungguh tiba-tiba dan tak terduga. Oh iya,” Pak Karmo mengedarkan kepalanya ke sekeliling. “Adik tidak menyuguhkan minuman ke tamu ya?”
Rani sungguh sangat tidak suka dengan gaya bicara lelaki itu.
“Silahkan bapak sampaikan apa maksud Bapak dengan cepat. Kalau tidak, saya panggil polisi.”
Tawa teramat keras meledak dari mulut Karmo, tapi buru-buru dia tahan dengan tangan. “Aduh, maaf, maaf. Maafkan kelancangan saya, tiba-tiba saja tertawa. Beda ya, saat tampil di tivi dik Rani itu cantik, tapi bisa bersikap sopan dan tegas. Sayang sekali kenyataan di depan saya sekarang ini sungguh bertolak belakang.” Pengawal di belakangnya terkekeh pelan.
Rani meremas lututnya kuat-kuat, berusaha untuk tidak terpancing emosi. “Kalau Bapak hanya ingin berbasa-basi, lebih baik Bapak cepat keluar. Bapak sudah tahu kondisi saya seperti apa, justru kelakuan Anda saat ini tidak lebih baik dari saya!”
“Wah, tenang dik, sabar, sabar. Jangan marah-marah, saya sangat tidak suka melihat seorang wanita cantik seperti dik Rani ini marah-marah.” Karmo mengeluarkan secarik kertas dari kantong bajunya. “Saya tidak punya apa-apa untuk menghibur dik Rani, jadi saya cuma bisa membantu dengan ini. Dik Ardy itu wartawan hebat. Saya sering membaca tulisannya tentang saya. Analisanya bagus, meski ya, kesimpulannya salah. Saya tidak terlibat apa-apa dengan kasus semen itu. Tempo hari dik Ardy mewawancarai saya, dik Rani pasti tahu. Dia semangat sekali waktu itu. Makanya saya sangat menyesalkan kecelakaan itu. Saya selalu menyesali orang-orang yang mati muda seperti dik Ardy ini.”
Rani sudah tidak mendengar separuh dari apa yang lelaki tua itu katakan. Dia sedang mencermati kertas di hadapannya. Sebuah cek, dengan nominal angka yang bakal membuat mulut setiap orang yang membacanya ternganga. Untuk apa Pak Karmo menyumbangkan uang sedemikian besar untuknya? Orang itu sama sekali tidak memiliki hubungan apapun dengan baik dengan suaminya, ataupun dirinya sendiri. Dan sungguh dia benar-benar tidak bisa menampikkan perasaan aneh yang dari tadi terus mengusik hatinya.
“Anggap saja itu hadiah untuk dik Rani, untuk merenovasi rumah, untuk biaya hidup, apa saja! Rumah ini terasa sepi sekali. Saya mengerti betul kondisi dik Rani saat ini. Andai saja ada seorang anak, tentu rumah ini bakal lebih ramai.”
Tiba-tiba entah dari mana, Cheshire melompat dan mencakar wajah Karmo. Lelaki tua itu berusaha keras menjauhkan cakar si kucing yang hampir melukai matanya. “Kucing kurang ajar!” Karmo menarik paksa Cheshire dari mukanya dan mengambil ancang-ancang untuk membantingnya ke lantai. Cheshire terlalu lihai untuknya. Kucing biru itu mencakar dan menggigit tangan lelaki tua hingga cengkeramannya mengendor. Karmo mengaduh. Cheshire yang sudah bebas, langsung kabur ke dapur. Si pengawal hampir menangkapnya, tetapi Cheshire sudah keluar dari jendela dapur yang sedang terbuka.
“Dasar binatang tidak tahu diuntung!” Karmo mengambil saputangan dari balik kemeja dan mengusap lukanya. Rani hanya terdiam menyaksikan kejadian tadi. Dalam hati dia malah bersyukur. Dia juga tidak menawarkan apa-apa untuk membantu Karmo. Si pengawal yang bergegas ingin keluar pintu untuk menangkap Cheshire, ditahan oleh majikannya. Karmo memberi isyarat seraya menggelengkan kepala. Si pengawal mengangguk. Rani menyerahkan kembali cek ke Karmo.
“Silahkan Bapak ambil kembali cek ini. Saya tidak butuh.”
Karmo mengambil paksa cek itu dan menghempaskannya ke lantai. “Terserah mau kamu apakan uang ini! Saya sudah baik-baik datang ke sini, tapi seperti tadi cara kamu memperlakukan saya. Itu tadi kucing kamu? Jangan sampai saya menemukannya di jalan, atau kamu hanya bisa mengelus ekornya. Dodon!” Si pengawal dengan sigap membukakan pintu. Karmo mendengus dan keluar tanpa menoleh sedikitpun ke arah Rani, disusul oleh pengawalnya.
Rani menutup pintu. Lutut kakinya lemas. Dia segera menjatuhkan diri ke atas sofa sambil menghela nafas panjang. Rani hanya ingin membakar cek dari Karmo secepatnya.
Saat hampir beranjak menuju dapur, sesuatu yang halus menyentuh kakinya. Rani terlonjak kaget. Cheshire mengeong pelan, Rani heran, dia tidak mendengar suara kucing itu masuk ke rumah. Tangannya bergerak ingin memungut Cheshire dan mengelusnya, hanya dengan cara itu suasana hatinya bisa kembali normal. Cheshire berkelit, malah berjalan perlahan menuju sebelah kiri pintu, seolah-olah menuntun Rani untuk mengikutinya. Rani segera beranjak dari duduknya, matanya tetap melekat ke Cheshire. Cheshire duduk di atas sebuah benda kotak kecil pipih berwarna hitam. Sebuah hape.
Rani mengambil hape itu dan mencoba membukanya. Tidak terkunci.
Wallpaper di hape menunjukkan gambar Karmo dengan beberapa orang yang tidak ia kenal. Rani kembali duduk di sofa dan mengotak-atik hape di tangannya. Setelah beberapa jam, matanya terbelalak. Dia tidak percaya dengan apa yang ditemukannya. Apalagi dia sudah sangat merasa nyaman dengan salah satu nama di sana yang belakangan ini sering sekali bertandang ke rumah.
Air matanya mengalir deras. Bergegas ia mengambil hapenya dan mengontak Ratih, manajernya di studio. Masih dengan terisak, dia memberitahu Ratih untuk segera mengaktifkan talk show kembali dan meminta maaf karena lama tidak mengabari. Rani menyebutkan nama Karmo sebagai bintang tamu selanjutnya, dan menceritakan alasannya. Rani tidak ingin menyerahkan apa yang sudah ia temukan ke polisi, dia yakin pasti Karmo sudah menjalin hubungan dengan beberapa petinggi di sana. Malahan dia akan membeberkan semua barang bukti yang ada, dibantu dengan catatan-catatan dari mendiang suaminya, untuk menampilkannya langsung di depan seluruh penonton, biar mereka yang menjadi saksi. Usulan Rani terdengar seperti gemerincing uang di telinga Ratih. Ratih berjanji akan mengontaknya kembali sesegera mungkin setelah menyelesaikan beberapa keperluan. Rani menutup hapenya.
Rani memungut Cheshire, memangku dan mengelusnya perlahan, mencoba merasakan setiap jarinya menyusuri helai demi helai bulu biru hewan kesayangannya itu. Dia mengelusnya lagi, memori nostalgik atas suaminya pun berputar di kepala dan dia menangis. Air mata masih berlinang di pipi, Rani memandang dalam-dalam mata Cheshire, menciuminya, dan berkata pelan,
“Aku tidak pernah menanti apa hadiah kedua yang dia janjikan padaku, selama masih ada kamu.” Cheshire mengeong pelan.
Tiba-tiba Cheshire meloncat dari pangkuan Rani, mendesis. Ada orang menggedor pintu.