.avatar-image-container img { background: url(http://l.yimg.com/static.widgets.yahoo.com/153/images/icons/help.png) no-repeat; width: 35px; height: 35px; }

"Memento Mori"

What is the PRECIOUS thing you TREASURE most in your LIFE?

"Memento Mori" means:

Remember you are mortal...

Vita brevis breviter in brevi finietur,
Mors venit velociter quae neminem veretur,
Omnia mors perimit et nulli miseretur,

Ad mortem festinamus peccare desistamus.



Sepi mengantar kamboja turun ke kawan
hingga berhantu dikoyak malam-malam purnama
Mendengar sebentuk senyap dilantun gitar
mampir dan tersesat, dari sebongkah hati lenyap 

Kalong-kalong dungu bilang itu orang -
gila, baik nasibnya
Tak khawatir separuh wajah dibentuk
atau sepasang mata yang sama lain tak melihat

Bukan sayap ia kepak
tapi sepasang bara yang sempat ia tahan

Ditangkapnya seorang gadis berkejaran dengan bayang
Takut serupa karma menjadi langkah beban 
Ramai di belakangnya puluhan setan menjelma merah
dan kelelawar yang begitu saja tertawa


Mau mati rasanya pekak membingar
Ditutup tawa dan kabut tebal
dikiranya kelimut, membentuk selimut
musuh dibalik itu tak tampak

Mati saja dihadang pasukan hujan
melati melentik putihnya menghitam
Dikira angin membuat lega
Ah, perih menusuk di bawah sana!

Mau mati melihat cahaya itu kembali
Yang datang, mereka sumringah
Siapa teriak?
Surti menangis di bawah pohon Jati

Puisi bukan semena-mena untaian kata-kata yang indah yang diracik sedemikian rupa, dengan maksud tertentu, lantas disuguhkan begitu saja seperti melepas burung dari kurungan menuju alam bebas. Kemudian pujian demi pujian bertubi-tubi datang. Ada yang memuji diksi, ada yang memuji metafora, ada yang mengkritik sudut pandang.

Puisi bukan sekedar karya yang tertuang untuk menuai sanjung. Juga jangan disempitmaknakan sebagai ‘puisi kamar’. Sekedar sebuah karya hasil curhatan yang meletup sesat, tidak ada simbiosis dari fenomena sekitar atau tidak mampu menenggelamkan pembaca dalam melankoli penyair. Walhasil, cuma kata-kata serapah yang dibalut madu jadinya. Atau katakan, ungkapan-ungkapan rindu dibalut kemelut yang menebar simpati. Bakal hangus oleh waktu jika ‘perenungannya’ kurang.

Jika diibaratkan puisi sebagai fondasi, maka pantun sebagai bagian kesusasteraan Indonesia adalah tonggak sejarah peradaban Indonesia. Braginsky dalam bukunya Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam abad 7-19, terjemahan Hersri Setiawan, menyatakan bahwa dasar tradisi kebudayaan Melayu adalah sastra. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa kebudaan Melayu tidak menghasilkan pencapaian di bidang-bidang lainnya. Dasar tradisi Melayu ini (sastra, pen.), baru ada semenjak abad ke-16, tertera pada sebuah manuskrip dengan aksara Jawi dan menggunakan bahasa Melayu.

Ketika orang Melayu mulai mengenal agama Hindu dan Buddha yang berasal dari India, mereka turut mengadopsi bahasa dan aksara yang digunakan di dalam dua agama tersebut. Lantas mereka mengintegrasikannya dengan bahasa asli, dan mulai menciptakan karya-karya tertulis berdasarkan kaidah-kaidah yang terserap. Tujuan mulanya, tentu agar perasaan dan pikiran mereka yang tercurahkan dalam karya bahasa, memiliki kemungkinan lebih besar untuk kekal.
Maka, sebenarnya apa itu puisi?

~{x-Klik judul untuk baca kelanjutannya.-x}~

Kami Pemuda Utopia...

Ideal pemuda menjadi kunci masa depan bukanlah utopia. Menyorot kasus anarkis yang dilakukan para senior sampai menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa ITN Malang, sebenarnya bukan berita baru. Tetapi peristiwa lama yang sering berulang, jika dibiarkan, akan menjadi hal yang lumrah. Bahkan bisa berakar menjadi kebiasaan jika tidak ada langkah preventif yang diterapkan sebagai solusi. Belum lagi berkembangnya tradisi pop yang menyeleweng, maraknya generasi konsumtif serba instan dan condong hedonis  yang semakin menjangkiti generasi muda sekarang dan banyak hal lain yang semakin mengaburkan harapan akan menjadi generasi pemuda sekarang.

Permasalahannya, dalam kasus ini, siapakah yang bersalah? Apakah patut kita menyalahkan generasi muda saja? Ataukah lembaga dan institusi pendidikan? Bisa jadi orang tua dan lingkungan sekitar-lah tempat kita menuding sebagai pucuk penyebab degenerasi moral para pemuda?
Beragam faktor dan variabel yang muncul ketika membahas kemerosotan moralitas suatu generasi menjadikan kasus ini tergolong unik. Maka dalam memecahkan persoalan tersebut, tidak bisa sekedar melalui satu perspektif, harus diurai satu-persatu pelbagai fakotr yang terkait, baru bisa dipreteli satu persatu.

Dalam Psikologi Pendidikan, sebenarnya sudah diperkenalkan tiga faktor utama pembentuk dan pemengaruh karakter seseorang, yaitu: rumah, sekolah dan lingkungan. Keluarga, kerabat dan segala media edutainment yang terdapat di rumah, baik visual, cetak maupun audio, semuanya merupakan sarana pembentukan karakter dan paradigma. Jelas faktor utama adalah yang pertama. Interaksi yang lahir antara sang anak dengan pelbagai perkakas kehidupan di sekitar ia berdiam, kemudian segala informasi yang ia tangkap dan ia proses tatkala berumur 1 – 6 tahun, akan menjadi patokan akan menjadi seperti apa dia akan berkembang. C.G. Jung menyatakan bahwa memori seorang anak pada umur belia masih belum sanggup memilah informasi yang ia terima. Apapun akan ia lahap. Hal ini sepertinya diikuti oleh Dorothy Law Nolte, seorang penulis asal Amerika yang terkenal akan puisinya, “Children Learn What They Live:

If children live with criticism, they learn to condemn.

If children live with hostility, they learn to fight.
If children live with fear, they learn to be apprehensive.
If children live with pity, they learn to feel sorry for themselves.
If children live with ridicule, they learn to feel shy.
If children live with jealousy, they learn to feel envy.
If children live with shame, they learn to feel guilty.
If children live with encouragement, they learn confidence.
If children live with tolerance, they learn patience.
If children live with praise, they learn appreciation.
If children live with acceptance, they learn to love.
If children live with approval, they learn to like themselves.
If children live with recognition, they learn it is good to have a goal.
If children live with sharing, they learn generosity.
If children live with honesty, they learn truthfulness.
If children live with fairness, they learn justice.
If children live with kindness and consideration, they learn respect.
If children live with security, they learn to have faith in themselves and in those about them.
If children live with friendliness, they learn the world is a nice place in which to live.


Dorothy Law Norte
Sedikit terjemahan bebas dari puisi tercipta pada tahun 1972 tersebut, Dorothy mengatakan bahwa seorang anak akan belajar memaki jika ia dibesarkan dengan celaan, ia akan selalu menyesali diri jika selalu dihina, ia akan belajar percaya diri jika selalu dimotivasi, dan seorang anak akan belajar menemukan cinta jika ia dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan. Tetapi tentu saja, pernyataan tersebut tidaklah akurat. Dalam faktualnya, akan banyak faktor yang mempengaruhi diri seorang anak dalam perkembangannya dan membentuk suatu pola teratur dalam setiap orang. Jung menyebutnya sebagai arketipe.

Peristiwa yang  menimbulkan jejak kuat pada memori seorang anak, boleh jadi akan menjadi pemicu baginya dalam pelbagai tindakan yang akan ia lakukan saat besarnya nanti. Kasih sayang yang diterima seorang anak sejak dini, tetapi terputus total karena perlakuan dari si orang tua pada umur 10 – 15 tahun misalkan, akan menyebabkan sang anak lari mencari rasa nyaman dan apresiasi dari teman sebayanya. Akibatnya, rumah baginya tidak lagi sebagai tempat anak berpulang, melainkan hanya sebuah media ‘kosong’ yang malah semakin menambah beban mental. Rumah yang seharusnya menjadi tempat pelepasan segala penat yang ia dapatkan di luar rumah, berubah menjadi alat lain penambah masalah. Kasus ini selalu terjadi jika rumah kehilangan fungsinya, yang bisa disimpulkan jika hal ini terjadi: orang tua yang acuh.

Seringkali kasus bermula ketika orang tua tidak lagi peduli pada perkembangan jiwa anak melainkan hanya melihat elevasi unsur ekstrinsik saja, seperti prestasi, akademik, uang jajan dan sebagainya. Lantas orang tua terlalu memaksakan ideal mereka kepada sang anak, hingga akhirnya ideologi anak pun terkurung atas nama ‘penghormatan.’ Hal ini berlaku jika tidak adanya keterlibatan untuk saling memahami, antara si anak dengan orang tuanya. Jika kasus ini terjadi, akan lahir pola ‘pemberontakan’ pada diri sang anak yang menyebabkan dia selalu menentang sistem dan peraturan. Lagi, akibatnya akan muncul sebuah tendensi untuk selalu bersikap keras kepala, condong adu otot dan selalu ingin menang, dihormati dan dihargai.

Seharusnya, orang tua perlu menyadari akan perubahan sikap yang terjadi pada anaknya. Sayang, acapkali para wali lebih menyalahkan sekolah dan menuduh para guru bahwa mereka ‘tidak berhasil mendidik anak.’ Begitu juga dengan pemaksaan harapan yang berlawanan dengan apa yang diharapkan oleh sang anak. Memang, orang tua lebih banyak memakan asam garam kehidupan dan lebih mengerti beribu palang yang bakal merintangi kehidupan anaknya, sesuai dengan apa yang mereka pernah alami dulu. Tetapi zaman juga terus berubah, itu kenyataan. Kita tidak bisa hidup di masa lalu, karena itu seyogyanya orang tua dan anak saling bekerjasama, saling berkomunikasi aktif dan sama-sama mencapai satu kesepakatan dan kepemahaman untuk saling menghidupi. Andaikata hal ini tercapai, maka generasi muda mampu mengeluarkan potensi-potensi paling cemerlang yang mereka miliki.


Saat mengajar kuliah, Jung sempat menekankan pentingnya keterlibatan emosional dalam membentuk dan mendidik seseorang, karena signifikansi pendidikan dan pembentukan karakter anak akan sangat menentukan manusia seperti apa ia menjadi. Sejalan dengan konsep ta'dib Naguib al-Attas, pendidikan dan pengajaran moral itu berjalan sebaris, satu tujuan. Berhubung pelbagai inovasi dan kontribusi lebih sering muncul dan lebih dapat tersalurkan ketika muda. maka seyogyanya yang tua membantu yang muda dalam pembenahan dan penanaman kembali bibit-bibit luar biasa kepada yang muda. Tapi perlu dicatat, mereka juga harus melihat faktual dan bekerjasama dengan yang muda untuk saling bersinergi menghasilkan yang terbaik bagi kesemuanya. Jika hal ini tercapai dan diterapkan dalam ranah nasionalisme dan atas nama agama, misalkan. Maka tidak ada istilah pemuda yang bereuforia dengan kegalauan dan hedonisme mereka. Pemuda utopia jadi paradoks.

-------------------------------------
Pernah diterbitkan dalam majalah La Tansa dengan versi yang lebih singkat pada edisi Oktober.

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Software