Ideal pemuda menjadi kunci masa depan bukanlah utopia.
Menyorot kasus anarkis yang dilakukan para senior sampai menyebabkan tewasnya
seorang mahasiswa ITN Malang, sebenarnya bukan berita baru. Tetapi peristiwa lama yang
sering berulang, jika dibiarkan, akan menjadi hal yang lumrah. Bahkan bisa
berakar menjadi kebiasaan jika tidak ada langkah preventif yang diterapkan
sebagai solusi. Belum lagi berkembangnya tradisi pop yang menyeleweng, maraknya
generasi konsumtif serba instan dan condong hedonis yang semakin menjangkiti generasi muda
sekarang dan banyak hal lain yang semakin mengaburkan harapan akan menjadi
generasi pemuda sekarang.
Permasalahannya, dalam kasus ini, siapakah yang bersalah?
Apakah patut kita menyalahkan generasi muda saja? Ataukah lembaga dan institusi
pendidikan? Bisa jadi orang tua dan lingkungan sekitar-lah tempat kita menuding
sebagai pucuk penyebab degenerasi moral para pemuda?
Beragam faktor dan variabel yang muncul ketika membahas
kemerosotan moralitas suatu generasi menjadikan kasus ini tergolong unik. Maka
dalam memecahkan persoalan tersebut, tidak bisa sekedar melalui satu
perspektif, harus diurai satu-persatu pelbagai fakotr yang terkait, baru bisa
dipreteli satu persatu.
Dalam Psikologi Pendidikan, sebenarnya sudah diperkenalkan
tiga faktor utama pembentuk dan pemengaruh karakter seseorang, yaitu: rumah,
sekolah dan lingkungan. Keluarga, kerabat dan segala media edutainment
yang terdapat di rumah, baik visual, cetak maupun audio, semuanya merupakan
sarana pembentukan karakter dan paradigma. Jelas faktor utama adalah yang
pertama. Interaksi yang lahir antara sang anak dengan pelbagai perkakas
kehidupan di sekitar ia berdiam, kemudian segala informasi yang ia tangkap dan
ia proses tatkala berumur 1 – 6 tahun, akan menjadi patokan akan menjadi seperti
apa dia akan berkembang. C.G. Jung menyatakan bahwa memori seorang anak pada
umur belia masih belum sanggup memilah informasi yang ia terima. Apapun akan ia
lahap. Hal ini sepertinya diikuti oleh Dorothy Law Nolte, seorang penulis asal
Amerika yang terkenal akan puisinya, “Children Learn What They Live:”
If children live with criticism, they learn to condemn.
If children live with hostility, they learn to fight.
If children live with fear, they learn to be apprehensive.
If children live with pity, they learn to feel sorry for themselves.
If children live with ridicule, they learn to feel shy.
If children live with jealousy, they learn to feel envy.
If children live with shame, they learn to feel guilty.
If children live with encouragement, they learn confidence.
If children live with tolerance, they learn patience.
If children live with praise, they learn appreciation.
If children live with acceptance, they learn to love.
If children live with approval, they learn to like themselves.
If children live with recognition, they learn it is good to have a goal.
If children live with sharing, they learn generosity.
If children live with honesty, they learn truthfulness.
If children live with fairness, they learn justice.
If children live with kindness and consideration, they learn respect.
If children live with security, they learn to have faith in themselves and in those about them.
If children live with friendliness, they learn the world is a nice place in which to live.
|
Dorothy Law Norte |
Sedikit terjemahan bebas dari puisi tercipta pada tahun 1972 tersebut, Dorothy mengatakan
bahwa seorang anak akan belajar memaki jika ia dibesarkan dengan celaan, ia
akan selalu menyesali diri jika selalu dihina, ia akan belajar percaya diri
jika selalu dimotivasi, dan seorang anak akan belajar menemukan cinta jika ia
dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan. Tetapi tentu saja, pernyataan
tersebut tidaklah akurat. Dalam faktualnya, akan banyak faktor yang
mempengaruhi diri seorang anak dalam perkembangannya dan membentuk suatu pola
teratur dalam setiap orang. Jung menyebutnya sebagai arketipe.
Peristiwa yang
menimbulkan jejak kuat pada memori seorang anak, boleh jadi akan menjadi
pemicu baginya dalam pelbagai tindakan yang akan ia lakukan saat besarnya
nanti. Kasih sayang yang diterima seorang anak sejak dini, tetapi terputus total
karena perlakuan dari si orang tua pada umur 10 – 15 tahun misalkan, akan
menyebabkan sang anak lari mencari rasa nyaman dan apresiasi dari teman sebayanya.
Akibatnya, rumah baginya tidak lagi sebagai tempat anak berpulang, melainkan
hanya sebuah media ‘kosong’ yang malah semakin menambah beban mental. Rumah
yang seharusnya menjadi tempat pelepasan segala penat yang ia dapatkan di luar
rumah, berubah menjadi alat lain penambah masalah. Kasus ini selalu terjadi
jika rumah kehilangan fungsinya, yang bisa disimpulkan jika hal ini terjadi:
orang tua yang acuh.
Seringkali kasus bermula ketika orang tua tidak lagi peduli
pada perkembangan jiwa anak melainkan hanya melihat elevasi unsur ekstrinsik
saja, seperti prestasi, akademik, uang jajan dan sebagainya. Lantas orang tua
terlalu memaksakan ideal mereka kepada sang anak, hingga akhirnya ideologi anak
pun terkurung atas nama ‘penghormatan.’ Hal ini berlaku jika tidak adanya
keterlibatan untuk saling memahami, antara si anak dengan orang tuanya. Jika
kasus ini terjadi, akan lahir pola ‘pemberontakan’ pada diri sang anak yang
menyebabkan dia selalu menentang sistem dan peraturan. Lagi, akibatnya akan
muncul sebuah tendensi untuk selalu bersikap keras kepala, condong adu otot dan
selalu ingin menang, dihormati dan dihargai.
Seharusnya, orang tua perlu menyadari akan perubahan sikap
yang terjadi pada anaknya. Sayang, acapkali para wali lebih menyalahkan sekolah
dan menuduh para guru bahwa mereka ‘tidak berhasil mendidik anak.’ Begitu juga
dengan pemaksaan harapan yang berlawanan dengan apa yang diharapkan oleh sang
anak. Memang, orang tua lebih banyak memakan asam garam kehidupan dan lebih
mengerti beribu palang yang bakal merintangi kehidupan anaknya, sesuai dengan
apa yang mereka pernah alami dulu. Tetapi zaman juga terus berubah, itu
kenyataan. Kita tidak bisa hidup di masa lalu, karena itu seyogyanya orang tua
dan anak saling bekerjasama, saling berkomunikasi aktif dan sama-sama mencapai
satu kesepakatan dan kepemahaman untuk saling menghidupi. Andaikata hal ini
tercapai, maka generasi muda mampu mengeluarkan potensi-potensi paling
cemerlang yang mereka miliki.
Saat mengajar kuliah, Jung sempat menekankan pentingnya
keterlibatan emosional dalam membentuk dan mendidik seseorang, karena
signifikansi pendidikan dan pembentukan karakter anak akan sangat menentukan
manusia seperti apa ia menjadi. Sejalan dengan konsep ta'dib Naguib al-Attas, pendidikan dan pengajaran moral itu berjalan sebaris, satu tujuan. Berhubung pelbagai inovasi dan kontribusi lebih
sering muncul dan lebih dapat tersalurkan ketika muda. maka seyogyanya yang tua
membantu yang muda dalam pembenahan dan penanaman kembali bibit-bibit luar
biasa kepada yang muda. Tapi perlu dicatat, mereka juga harus melihat faktual
dan bekerjasama dengan yang muda untuk saling bersinergi menghasilkan yang
terbaik bagi kesemuanya. Jika hal ini tercapai dan diterapkan dalam ranah
nasionalisme dan atas nama agama, misalkan. Maka tidak ada istilah pemuda yang
bereuforia dengan kegalauan dan hedonisme mereka. Pemuda utopia jadi paradoks.
-------------------------------------
Pernah diterbitkan dalam majalah La Tansa dengan versi yang lebih singkat pada edisi Oktober.