.avatar-image-container img { background: url(http://l.yimg.com/static.widgets.yahoo.com/153/images/icons/help.png) no-repeat; width: 35px; height: 35px; }

"Memento Mori"

What is the PRECIOUS thing you TREASURE most in your LIFE?

"Memento Mori" means:

Remember you are mortal...

Vita brevis breviter in brevi finietur,
Mors venit velociter quae neminem veretur,
Omnia mors perimit et nulli miseretur,

Ad mortem festinamus peccare desistamus.


Sebelumnya saya mengucapkan terima kasssssih banyak kepada saudara Muhib, karena andalah oase ditengah gersangnya padang pasir, hujan ketika paceklik, buah tiin saat musim dingin dan syakhonah (pemanas air, red) ketika gas kompor sudah habis. Ya, pokoknya begitulah, metafora kebaikannya gak akan habis kalo disebutkan satu-satu.

Bayangkan saja, saudara-saudari semuanya, disaat saya (mengeluh) kelaparan, dia mengajak saya makan dengan lauk yang lumayan “Wow!”. Setelah itu, kami mampir ke tempat pembelian aneka juz, dan sekali lagi, dia membayar jus saya! Terakhir, ketika saatnya berpisah jalan, padahal saya sudah menolak-nolak dari awal (“Aduh hib, syukron banget! Tapi bener, masih ada duit kok. Kalo masih recehan mah masih ada, ada yang lebih gede ngga?”) tetap aja. Sambil berjabat tangan hangat, dengan liciknya dia berhasil menyelipkan beberapa puluh pon di tangan saya, lantas berbalik cepat dan berjalan tergesa sampai hamper ditabrak mobil, tanpa menoleh sedikitpun ke saya. Wah, saya yang punya automatic-response terhadap segala hal yang menyegarkan ‘kantong’, ngerti banget kalo gak boleh ngelepas salah seorang sahabat seperti ini dengan keadaan tanpa hirau seperti itu (Bayangkan saja, hampir saja dia tertabrak gara-gara tidak menoleh sama sekali. Sekali lagi dia nyebrang, gak bisa bayangin kalo tertabrak beneran!).

“Hib! Thanx ya!”

Kukuh. Seperti baja, tetap menatap lurus. Nah kan, sekarang nabrak orang.

“Hib! Thanx ya! KAPAN—KAPAN AKU GANTI!”

Ah, akhirnya dia menoleh. Sambil melambaikan tangannya, dia tersenyum. Oh, alangkah baiknya dia Ya Rabb. Semoga bisa bertemu lagi ntar, amin.

Gak banyak yang bisa diceritakan hari ini, kecuali satu hal yang terkadang membuat saya merenung. Dari pagi, entah kenapa, mungkin gara-gara begadang semalam suntuk dan paginya banyak suara-suara halus yang memekakkan telinga, ada satu hal rutin yang tidak bisa dilakukan. Sama sekali. Sesuatu yang membuat keadaan tubuh serba gelisah, pikiran tak terarah, ragu yang serba bergeliat kesana-kemari, juga rasa depresi yang naik-turun tak dapat dimengerti. Sesuatu indah yang berasal dari kematangan diri dan mental yang tertata apik, disambung dengan makanan 3mpat sehat lima sempurna. Sesuatu yang terasa enggan saat dilepas pertama kalinya, tetapi hati bagaikan tumbuh mawar jika sudah terbuang. Sesuatu yang sangat dinanti-nanti, diharap-harapkan oleh orang lain kepada kita, terutama saat mereka mulai mencium gelagat yang tak enak dan bau parfum yang berlebihan.

Itulah engkau, wahai Boker. Mengapa dikau tak kunjung datang pagi ini?


~{x-Penasaran? Langsung aja klik judulnya untuk artikel lebih lengkap...-x}~

Dirimu Semahal Kartu

Berapa harga yang harus kita bayar saat membeli majalah National Geographic? Cukup murah, hanya berkisar 5 pon. Dengan 1 pon ditaksir sama dengan 1.500 rupiah. Sehari-harinya kita sanggup mengisi perut dengan menu ala Mesir dengan menghabiskan hanya 10-12 pon untuk 3 kali makan. Tasdiq Azhar dapat kita pegang setelah membayar 35 pon kepada khazinah. Hampir setiap jenis barang di dunia ini mempunyai harga pasti di pasaran. Meskipun terkadang terdapat selisih angka maupun nominal dalam harga setiap barang, para pedagang sangat kompetitif dalam menarik pelanggan. Intinya, agar barang mereka terjual habis dan meraup banyak keuntungan.


Tetapi sayang, banyak yang mematok harga untuk dirinya sendiri terlewat murah. Anggap aja si D. Dia mengobral kata kemana-mana, hingga terpuruk karena menipu diri, tapi demi ketenaran dan buah bibir, rela mengorbankan jati diri. Saat bercakap-cakap dengan seseorang, pasti dia akan menjawab bahwa hobi atau kegemaran yang ia miliki, sama dengan lawan bicaranya. Dia akan membenci sesuatu atau seseorang yang lawan bicaranya benci. Tapi hanya pada saat itu saja. Pada saat dia berada bersama lawan bicaranya. Dia akan berkata sebaliknya jika sudah meninggalkan orang itu. Perkataannya juga akan berbeda kepada setiap orang yang ia temui. Orang-orang yang tidak terlalu mengenalnya akan mengecap dia sebagai orang baik, karena selalu bersikap ramah. Bisa jadi mereka sayang, karena kesamaan hal dalam hobi, kegemaran dan sifat.

Tapi orang yang sudah mengenal si D teramat dekat jelas mengetahui bahwa dia bermuka dua dan tidak mempunyai prinsip.

Alangkah sayang jikalau sebuah prinsip yang sebelumnya terjunjung tinggi, melenceng 180 derajat atau bahkan berlawanan arah setelah menerima iming-iming jabatan, harta atau demi seseorang yang ia sukai. Jabatan, apa sih yang bisa mengatur posisi disamping takdir dan realita? Kita tidak akan pernah tahu kapan seseorang akan tergantikan dari posisinya dan kapan seseorang dipromosikan naik tingkat. Siapa tahu kali ini anda adalah seorang CEO, esok hari sudah menggelandang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Kemudian ada harta. Apakah anda sanggup mengatakan harta tersebut akan abadi? Tidak mungkin. Pada masanya nanti, anda akan merasakan jika kas semakin kosong dan dompet semakin tipis. Lantas anda harus mencari lagi. Mengemis lagi. Sedangkan yang terakhir, cinta. Percuma jika anda menyama-nyamakan hobi yang anda miliki dengan sang pujaan hati. Menyukai film, lagu, hobi ataupun gaya hidup yang ia gemari meskipun dalam hati berteriak pahit. Tidak henti-hentinya menipu diri. Tidak akan kekal cinta semacam ini.

Seyogyanya, sebuah prinsip  merupakan cermin nurani dan pasti mengarah dalam kebaikan. Tapi jika sekali saja tergoyahkan, prinsip tersebut akan kehilangan niatnya yang ‘murni’ dan menjadikan harga diri sang pemilik prinsip menurun drastis. Tapi tidak dengan jurnalistik. Saya tidak ingin prinsip jurnalistik yang pernah dipegang teguh, terobral murah dengan diskon besar-besaran. Harga diri seorang jurnalis sangat tinggi, hanya dapat disetarakan dengan veritas. Dalam sebuah pepatah arab, “Qul al-haqq wa lau kaana murron.” Berkatalah sejujurnya, meskipun itu pahit. Saat jurnalistik menghilangkan prinsip keadilan yang berbasis fakta dan kebenaran, dari situlah harga diri seorang jurnalis hilang. Menjadi gratis.

Bolehlah dikata saya seorang idealis. Dan idealis tidak jauh dari utopis, realisasi sulit. Tapi meskipun kemungkinan yang tersisa hanya sekitar 1 persen, apakah kemudian kita membuang harapan?

 Ujung kata, harga diri bukan berarti bersikap tinggi hati, sombong, aristokratis dan hemat bicara. Harga diri seseorang diukur dari kemampuan diri bersosialisasi, menempatkan diri secara semestinya dengan presisi hati-hati, tidak berlebih, tidak juga terlalu menutup. Ummatan wasatha, menciptakan diri menjadi seorang sosialis idealis yang moderat.  “Jibun no kachi wa jibun de kimeru mono sae.” Anda-lah, dan bukan orang lain, yang menentukan berapa kualitas harga diri pribadi.

Drama Persona*



Gumam terlatuk, sepi merasuk
dipasung raba bisikkan riak kalut
Hadir disaat angkara berbisik, ricuh
anggap sepoi pahit berpilin -
semburat ilusi saling menyahut

Ada tawa, terbahak, buang suka!
Hilang gelonggong ribut duka,
apa masih cita?
Saat itu logika menyahut...
tidak ada rasa bercermin
Cuma hening berteriak!
Gema bising

Wajah-wajah datar di dinding
hendakkah kau melukis bingar?
Benarkah sejati senyum terpagut,
tanpa imbuh ragu tertahan?
Mana tangis tertumpah lega,
bukan bibir terkulum paksa?
Akankah pipi merona senja,
tertambat sampai di hati Sang Puja?

Arahkan bayonet, bidik ke tirai
Kacaukan...
ini drama persona!




*Persona: Kata persona disini merujuk kepada term psikologi, hasil ideologi filosofis Carl Jeung dan Zhuang Zi

Limbah Kata


Jika kata menjadi nilai seseorang, apakah anda tidak curiga jika dalam proses pengerjaannya sempat terdpat kecurangan? Jika kata menjadi sebuah identitas, apakah anda tidak tahu bahwa dalam pembuatan KTP ada istilah 'jalan pintas'? Terkadang kebenaran tidak seperti apa yang mata dan telinga tangkap.

Semua orang sebenarnya masih tertohok pada satu objek. Anda yang kini sedang dalam dilema, saya bisa menebak bahwa salah satu unsurnya pasti karena 'dia'. Atau anda yang sedang di atas angin, apakah karena motivasi dan sugesti dari-'nya'? Bahkan beberapa ada yang tenggelam disana, atau juga yang sembari mencari secercah sinar dalam kekusutan enigmatis, malah alpa sampai lupa dirinya siapa. Atau apa tujuan hidupnya. Atau untuk apa muncul di dunia. Atau bagaimana dia terwujud dan  mengapa bentuknya mengikuti pola asimetris, tapi kembar juga bisa.

Izinkan saya mengutip perkataan Jacques Derrida dalam salah satu kritikannya terhadap Madness and Civilization karya Michel Foucalt, maka saya dengan lantang berkata kepada Anda, "Saya tetap memiliki kesadaran seorang murid yang penuh kekaguman dan rasa terima kasih. Namun, karena "kesadaran" itu adalah kesadaran yang kritis untuk terlibat dialog dengan sang guru, maka ia adalah kesadaran tak bahagia." Ketika pertama kali Derrida menghadiri seminar Foucalt, dia sangat terkagum oleh intepretasi Foucault atas pemikiran Descartes. Tetapi sekedar kagum bukan berarti sepaham. Terbukti dengan munculnya Cogito and the History of Madness sebagai kontra atas pemikiran Foucalt yang mengecap dirinya sebagai pengembang modernitasnya Kant. Derrida dengan paham dekonstruksinya dan Foucalt atas sumbangsihnya terhadap Post-modernisme.

~{x-Penasaran? Langsung aja klik judulnya untuk artikel lebih lengkap...-x}~

Pagi Kembali

Kala pagi tersamar kabut

Sebentar lagi,
Terik itu tersibak tanpa pesona galau
dan ketika pelik kutitip surya,
sepi seperti beralur dalam gelombang pukau
Tanpa kata-kata, mata-mata terkesima
rasanya kemilau mengelupas senja
bolehkah pekat menggumpal suka tanpa selaksa?

Ketika elegi berbisik kata pesona indah...

Jika kuning seperti angin, dan biru — butiran debu
maka aku berdiri dalam memoar segumpal pasir
Tapi bukan fantasi melankolia,
atau lembut sepoi dahlia di udara
Rasanya tetes hujan cahya di bawah dekap pelangi
dan karang menantang beribu percik ombak menerjang
Melambai terhanyut harmoni,
dekap semu sedu sedan!

Pernah aku menitip salam,
berjalan gontai dalam malam
membalas kerlip bulan yang manja tertahan,
lalu pagi kembali...

Midnight of a Clown


Clutching into the mysteries
The frown’s dropped into the dark knees
“It’s not that Faust in fault!”

Screaming to the wind, like the roaring guillotine
The blood rushed into no face, my Lord,
like he has no wrath to fold
“It won’t fall! Fear not, think you’re all…God?”


And why would the smile just be on his?
Look at him closely, it doesn’t even fit
The silent gaze upon the fading moonlight
The preaching crowd, no, a wounding bond,
brought into eye of no justice
waiting in the end of line, the lost of right!

Listen not, my Lord, those blabbering mouth
but seems like thou ears are full of frauds

His laugh bears no joys, waits unknown
He’s the most whom suits to wear a crown!
“Why the long face then, o, friend of mine?
Just do what u’re told to, then it’ll all be fine!”

Thee hold no grudge, but,
Why the smiling?
The blade just rushed then to cut nothing…but sin
A purgatory feeling, such a bitter livin’ to grin

Surat Untukmu, Ibu

Kepada Beliau yang sudah lama kami tak bersua, bagaimana kabar Ibu disana? Masih hijaukah alam yang menghiasi mahkotamu itu? Bagaimana kabar mereka yang tegak melindungimu, kepada langit selalu menantang? Haha, iya, gunung-gunung itu.

Saya masih ingat saat bersama Mahameru, saya berjanji untuk mengalahkannya, berusaha menyentuh ujung kepalanya dengan tangan saya dan setelah menahan pegal di kaki selama tiga hari dua malam, kami tertawa bersama. Puas, janji tersebut telah terbayar. Lantas bagaimana dengan angin? Masihkah dia mengembara kemana-kemana, tak peduli mana Timur dan Barat, dan selalu saja tidak menghiraukan perintahmu untuk sebentar saja menetap? Biarkan saja dia Bu, memang tabiat dia sedikit mirip serigala liar. Terkadang saya juga seperti itu, malah sering alpa jika dibuai bintang...untung kaki masih menjejak bumi, haha.

Sedari dulu lama rasa ini sudah saya pendam. Fragmen-fragmen rasa jengkel, serba salah, tak mampu berbuat... hanya berteriak, kecewa, sedih, ingin menyendiri. Tertahan, kemudian berubah menjadi ledakan ingin menjejak keras! Tangan mengepal erat! Mata menyala jalang! Ingin berubah dan merubah, tapi bagaimana? Dan juga sedari dulu pertanyaan ini selalu saya biarkan saja tergantung di pucat senja, biar merah saga dan awan mencaci semaunya.

Ini bukan masalah hidup. Waktu selalu menunggu dalam bayang untuk melucuti satu-persatu rahasianya.

Dan bukan hendak ego yang menentang rasa ini untuk kembali ke kampung halaman. Tapi enigma saat aku berkaca dan melihat sesosok pemuda tanpa wajah-lah yang membuatku ketakutan. Aku iri, Ibu. Aku malu. Aku hanya ingin menjadi, bukan di-'jadi'-kan atau sekedar 'terjadi'. Aku sederhana, Ibu. Aku ingin berubah. Dan kelak, semenjak pertama kali nanti aku telah berubah, pertama kali yang akan aku lakukan adalah...mengganti baju usangmu, membuang mahkota lamamu dan menggantinya dengan yang baru, lalu aku akan mencarikan suami baru untukmu.

Karena aku bosan melihat suamimu tak berkutik saat dikamar kau terpojok fakta sembari menangis miris! Melihat anak-anakmu yang semakin tua semakin hilang moralnya, lenyap tergelapkan dunia! Engkau juga telah melihatnya, Ibu, ke dalam dua mata yang hanya dan selalu mencari nama, tersirat disetiap gerik suamimu yang bermalamnya entah dimana! Sudah, hentikan tangismu, Ibu! Aku ingin engkau berbahagia! Tidak semua anak-anakmu merajut hampa...

Tangismu akan mereda, Ibu. Mata beningmu tak akan kering lagi. Kami berjanji akan membuatmu riang kembali, Ibu Pertiwiku! Tapi tunggu beberapa tahun lagi.

When the stream of clear river flows rapidly, even the naked eyes could see what lies on the ground beneath the river itself because of its cleanliness. There are stones, sometimes a little fishes swim across, a sands and more importantly, imagine we stand near there in the bright morning. The sun shines down its light to the flowing water and what appears then a natural reflection of spectrums glow beautifully above a little inch of the river. Like the rainbow indeed, the reflection is colorful and stunningly attractive.


Forgive the adolescence of writer that puts much metaphoric words in the paragraph above. Briefly, there are two points there. First, a constant current stream that flows in transparency, clear without any dirt or garbage, which pictured in the image of clear and clean river. The second point is a reflection of a glowing light which described more-alike, some pretty little rainbow. It’s colourful, means the rainbow is not the appearance of one single colour only, but contains many colours which all emerged in one. Now if we step ahead, the two points here are representative sample of how the good government is organized in even better policy.

First, transparency. Transparent here doesn’t mean a weakness of argument like what stated in dictionary, but moreover is the transparent of the government to put everything as the results of works, the circulation of money, plans and steps what will be taken or not, whatever and whenever the citizen is all concerned within. Take a sample of our president of Indonesia itself, SBY, whom has granted some clemency regarding a matter of one famous guilty corrupter, Syaukani HR. It’s not a personal matter anymore, because the identity and reputation of Indonesia is engraved on it. Even all the progression is right and well-placed in the corridor of laws, most of citizens couldn’t stand is also not the reason of humanism as what stated by SBY, but the freedom of those guilty persons Aulia Pohan, Maman S Soemantri, Bunbunan Hutapea, Aslim Tadjuddin (whom all these three are involved in corruption case of Indonesian Bank), Artalyts Suryani, Al Amin Nasution and many more. There are 11 names listed by the hand of senior journalist whom I deliberately don’t mention here, but total more than 22 names of corruptor got the remission they wished from the hand of president in August 17 ago, claimed Indonesia Corruption Watch (ICW) in news. What matters here is the list of corruptor’s names which not revealed to the public, but lies concealed in the hand of president himself, or moreover by Patrialis Akbar, the Ministry of Laws and Human Rights, as what comes in the report of investigation by some journalists. The conclusion is, then the government doesn’t act in transparency, because the president doesn’t reveal what is right, the reason behind releasing them all free from the prisoners to become the free men. We also may speculate that president has played a dirty hand here, also he has a brach, because he doesn’t obey the laws of “UU nomor 22 Tahun 2002” subject 3 section 3, which force us to believe, has President some profound political reason behind it?

Second comes the multiple colour as the image of Indonesian cultures. The different cultures mean a different languages, a different characters, a different attitudes and a different ideologies among the many districts. Here comes the test of how skillful the president could embrace all elements without benefiting a single-group only and risking another. Have a little peek into our motto as example. Indonesia has “Bhinneka Tunggal Ika” which means we must hold not any grudge into whom has a different character from us. Perhaps Sumatera civilians have a strong-character, as they are easily blood-boiled. Compare them to Javanese people which some are slow, nice, but some are also easily angered. Or whatsoever in Kalimantan, Papua, Sulawesi, Madura and many more, the communication and interaction are done differently toward the people regarding where from they were born or stayed long in some district. The writer said that he has learnt so much about living together with another people from different countries. Especially here, in Egypt, where you faced Nigerian people, Russian, Turks, Afghanistan, Aljazair’s people and many other that we must learn the character of each individual. And this, is the hardest responsibility which must be held by the president himself. Say he is Sumatera, then he must learn how to interact with Javanese, or vice versa. The fact is, until recently, there are some districts where they consider the president’s clemency still didn’t reach them. Whether it is accidentally done but the president has some effort to do it before, or just deliberately he forgot or just disparage them. Maybe we could say, a poverty. August 17, in the independence day of our nation, the report clearly stated that the index of poverty has been decreased from 34.7% into 32.4%. Nah, we could see that is indeed, a falsification. How come the index of poverty has been decreased as there are people longing and starving for foods, down in the streets, below the river, or back there in the small huts? They’re carving for daily meals, while they‘re slowly dying. Perhaps, but this is just a speculation, a report concludes what happened in parvenues, competenet authorities, or military officers, politicians and some people only but not among all civilians. Who easily believes that report just stated the true is indeed blinded and couldn't read the facts. Otherwise, he/she’ll do his/her best to erase poverty in this nation.

These two points above are just a little bit of critique which taken from many inadequacy of how difficult becoming the president himself. As he must clearly understand what the meaning behind all those points is, he also must become the water, not a flame one. Water, which described by the writer above as the river, could fill the place where it is put, but indeed, it may change its shape but not its substance. It is flowing, low and flexible, to occupy the box or thing it is placed, cup or be a glass, pot or bottle, thin or flat, but it still stays the same, as water, nothing more. And hope may the president of PPMI could also become the water. He could flow with the idealism of what Masisir longing for and make them come true. Then in the end, the flow will shine down to Masisir and PPMI themselves as the hard effort they've ever done.

Maiko


Tonggak hati berlari, dalam irama kecapi
Puas mata menelanjangi,
dinding membisu pilu
Keluh dan luka tersamar topeng tebal
walau gemuruh canda terus menyayat

Kasar...

Lirih, dalam geraknya dia menangis
Laba-laba memasung diri
dalam rumah bujur sangkar

Baginya, semua rasa tertumpah
satu waktu
Tidak ada ironi pahit
Jika terus menari...
dan dia selalu menari

Angin dan Api

Menebar dingin, angin menggerutu,
"Seperti gelap, dalam simfoni aku dimanja lelap
tapi pasti bukan jebak asamu"

Percik api menggelora maju,
"Lalu cekat kau perangkap anganku dalam pekap
Apa seluruh rasa dan ucap lantas
dalam satu buana terhisap?"

Begitulah mungkin takdir tersingkap
Lantunan dua nada hentak bernadi gila
Yang satu bermasif jumawa, satu nista
dalam hening, pahit memilin semua
terbuka lembaran baru, terus berpuja

Kepada angin dan api berpadu...

Ada badai di ufuk!

Sesaat tersirat,
dekat mengeras,
disentak lepas terhempas!

Memeluk Hitam

Jika ditanya warna favorit saya, mungkin saya akan menjawab hitam sebagai salah satunya. Bukan karena melankolia sebagai penyakit kambuhan yang sering bersarang dalam personalia, tapi lebih cenderung bahwa hitam itu sendiri bersifat konduktor. Bukan juga konduktor sebagai penyerap dan penyalur kalor saja, tetapi rasa, empati dan juga ketegaran. Terkadang hitam terkaprahkan sebagai simbol kejahatan, keburukan, segala hal yang berbau negatif dan macam-macam hal lain yang menempel dalam hitam. Padahal, tidak seperti warna lain yang menunjukkan sifat ‘keterbukaan’, hitam hadir dengan segala rahasia tersimpan rapat dalam kelam.


Banyak yang mengartikan hitam sebagai warna yang lantas beralih menjadi simbol. Akan tetapi, hitam itu sendiri bukanlah warna. Hitam adalah absensi dari wujudnya warna. Jadi hitam, itu berarti ketiadaan warna. Hitam menyerap seluruh aspek yang terkandung dalam putih, atau juga biasa dimetaforakan sebagai cahaya dan hitam sebagai kegelapan. Hitam, adalah makhluk Tuhan paling alami yang menunjukkan sifat kerahasian-Nya.

Andaikan kita berpikir tentang hitam – atau gelap, maka lihatlah malam. Dimana gelap mengurung semua terang dan hanya ada cahaya bulan dan bintang bertemaram. Ingatlah pula kisah Lailatul Qadr, malam agung nan penuh karamah dimana Allah SWT menurunkan al-Qur’an sebagai mukjizat utama yang dimiliki nabi SAW. Lailatul-Qadr, malam yang diberi keutamaan agung langsung dari-Nya sebagai malam yang lebih agung daripada 1000 bulan mempunyai kisah seperti yang disebutkan Imam Suyuti dalam bukunya, “Lubaabun Nuqool”. Di dalam buku tersebut Rasulullah SAW pernah bercerita kepada  kepada para sahabat bahwa ada salah seorang Bani Israel yang telah berjalan di alur jihad demi membela nama Tuhannya, tidak mengenal letih dan lapar, dan masih terus berjuang hingga sampai 1000 bulan. Para sahabat sangat terkagum dengan kisah tersebut dan berandai untuk sekiranya bisa menyerupainya dan berupaya untuk mengikuti jejaknya. Dalam hal itu, maka Allah SWT pun berfirman, “Sesungguhnya kami telah menurunkannya (al- Qur’an) pada malam al-Qadr. 2.Dan tahukah engkau apakah kebesaran malam Lailatul-Qadar itu? Malam al qadr itu lebih baik daripada seribu bulan.”

Lailatul Qadr disini juga dikenal sebagai Lailatul Mubarakah, seperti tersebut dalam Tafsir Ibnu Katsir. Dan disini, apakah malam tersebut lahir dengan keadaan berbeda dimana kegelapan berubah terang? Tentu tidak. Lailatul Qadr tetap sebagai malam dengan kegelapan seperti malam-malam yang lain. Hanya saja dalam beberapa hadits seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan dishahihkan Al-Bani, hadits riwayat Muslim dan juga Ibnu Hibban yang kesemuanya bernada sama, yaitu Lailatul Qadr adalah malam yang cerah, tidak panas dan tidak dingin. Cerah disini juga bukan berarti kegelapan berubah sedikit putih menerawang tapi gelap dengan pesona tentram. 

Hadits-hadits di atas bahkan disangkal pula oleh Syeikh Yusuf al Qardhawi yang mengatakan bahwa iklim dan cuaca setiap negara itu berbeda-beda. Dan mungkin saja ada suatu kawasan yang baru melaksanakan sholat istisyqo’ – mohon hujan, atau cuaca di Kutub yang hampir selalu siang dan jarang muncul malam. Bagi para muslim yang berada disana, pasti akan mengalami kesulitan mendapatkan Malam Seribu Bulan jika berpatokan pada hadits tersebut. Pastinya, malam tersebut hadir mengisi jiwa-jiwa yang tenang pada 10 malam terakhir, baik malam ganjil, malam ke-27, ataupun malam-malam biasa (bukan ganjil) pada 10 malam terakhir. Hadits-hadits tersebut dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim menyebutkan banyak tanda yang mengindikasikan adanya kemungkinan Lailatul Qadr dalam kurun waktu tersebut di atas.

Walaupun hitam sering dikaitkan dengan duka, kesialan, kejahatan dan sebagainya, hitam tetap hadir dengan sosoknya yang misterius. Mengapa Dr. Jigor Kano, sebagai pendiri Judo, menentukan warna hitam sebagai warna sabuk tingkatan tertinggi yang nantinya diadopsi bela diri lain seperti Kempo dan Tae Kwon Do? Karena hitam merupakan kombinasi dari seluruh elemen warna alam. Dan darinya, warna-warna lain akan mencuat dan hidup sebagai pelangi yang artistik. Sabuk Hitam sendiri berfilosofikan sebagai permulaan dari pencapaian sejati atas pemahaman, kebijaksanaan, persatuan antara tubuh dengan jiwa, hati yang murni dan peleburan diri kepada alam semesta.

Yang jelas, Tuhan telah menciptakan warna hitam sebagai warna elegan yang melekat dengan malam. Dimana saat yang lain tertidur, kita beribadah dalam kesunyian khusuk yang menusuk. Dimana malaikat-malaikat banyak berturunan untuk melihat para hamba-Nya yang rajin tahajud. Hitam merupakan simbol netral, tidak berpihak kemanapun dan siap berdiri tegas dan professional dalam menjalankan sesuatu. Dalam banyak sejarah dekade menyatakan bahwa hitam menghasilkan ketakutan bagi yang menatap dan memberi pengaruh intimidatif, tetapi bagi yang belum mengetahui, hitam juga merupakan tanda kekosongan yang siap bersatu dengan apapun. Jadilah hitam untuk mengejar cahaya dan memperoleh rahmatNya, jangan lantas menjadi cahaya yang mempunyai bayangan lebih panjang tapi tidak kelihatan!

Depak pintu hati, bukan derai iba tangismu
kalau perlu loloskan saja empati ke penjaga makam
biar pongah lalu bergugus rata dalam sampah
dan sama, grasi-grasi itu bukan milikmu!

Kamu buai rakyatmu dengan buai ego cemerlang
Mungkin dugamu lampu temaram menempel lekat
dekat pelipis, pelupuk mata semua orang?
Buta pada sanksi, tutup mulut jual harga diri
Kami tersenyum karna kecewa, diam murka
protes hormat jua, bukan basa-basi belaka!

Pada Ibumu sayang, riak pilunya tertahan
dalam pelita merdeka ada sekat memaksanya pucat
biar merona perawan, hanya sesaat
gaunnya sudah dilucuti para koruptor sesat
sedang jelata rakyat, semakin senja, makin tersayat!

Saya sering membayangkan teman-teman saya sudah bisa berwaralaba sendiri. Senyum menghiasi hati mereka walau wajah yang tampak terkesan lucu, konsen tapi mengerut serius seperti jeruk purut. Disana mereka hanya berbekal semangat, tekad, sedikit modal dan planning yang sudah diasah dengan hasrat yang kuat. Tetapi lama-lama network tersebut meluas sampai jaringan internasional, berbalap dengan industri Cina yang sekarang sedang berduet apik dengan India atau beberapa negara adikuasa lain yang sama-sama sudah meraksasa. Indonesia kemudian berubah, dulu di mata bursa saham, rupiah sering dianggap sebagai mata uang yang memiliki low value, berbalik 180 derajat sehingga dinar pun terpaksa bertekuk lutut dibawahnya.

Itu cuma angan utopis, sekiranya para remaja seperti saya dan kawan-kawan masih saja setia terlena dan terbuai dengan fana. Masih saja sering mengabdikan diri pada sesuatu yang fantastis, terkesan elit, berjumawa, kharismatik, tapi cuma di khayalak dunia maya. Selepas dari itu, dia bukan apa-apa. Ini yang saya khawatirkan. Apalagi mengingat sebuah kasus yang sedang berkobar akhir-akhir ini. Iya, para aktor-aktris yang keren-keren itu. Lihat saja di Facebook, besar semangat dan jumlah partisipan (lebih dari 5000 orang) fan page yang menyatakan kepada mereka agar tetap berkarya walau terjeruji di balik bui. Memang, itu hal yang baik dan sungguh, saya juga turut mendukung. Tetapi lihat dulu, anda tidak bisa langsung mengecap sebuah nasi gosong menjadi nasi goreng sedikit hangus. Boleh tetap berkarya, dan benar, tidak ada guna untuk sebuah ide yang jadinya tersumbat mati. Hanya saja dosa awal tidak boleh terlupa. Tetap saja "Al-aslu baqou ma kana 'alaa ma kaana"; aslinya memang seperti itu, sudah tidak bisa berubah. Kecuali dengan taubatan nasuha. Itu aja.


~{x-Penasaran? Langsung aja klik judulnya untuk artikel lebih lengkap...-x}~

The Hope which Lasted as Void


A dazzle rain falls
seemed to us like a curtain calls
a bright light which leads a human's right
to abandon all who lost the fight

Their own drizzle, from a memories, to reminisce...

Break a pity, what a low life...
beat you a butterfly couldn't fly high,
or a loner-wolves which dig their heels in,
would The Reaper just strew on the death's hint?

O, solemn of the wind, crack the pressure, bring out all pain!
Songs live forever, they never change, unlike people (1)
strive forward... in the circuit of frustration (2)

Ah, look at the foolish in attempt to the pursuit of happiness!
Forgive thee foolishness in discrediting the silent,
doing a sin, still unwanted to become a sinner (3)
and so expecting the Savior to save them a flavor?

What's good in the things that bring us nothing?
The last hope was thrashed from the youth's hands of the morrow
--------------------
Note:
(1): rephrased from some manga with some edit, but I forgot what :P
(2): quoted directly from my DS game, but I forgot what :(
(3): rephrased from some Placebo's song with some edit, but forgot the song's title :D

Karena banyaknya sobat blogger yang request kalo saya sering majang puisi bahasa Inggris yang susah dicerna n dipahami, berikut versi terjemahan bebas dari puisi di atas. Walaupun artinya tidak terlalu sama, tetapi tetap dibuat agar maksud dan kesan yang ditujukan sama.
--------------------
Pudar Harapan Terakhir

Pesona lebat hujan menderas
bagi kita, kobar sahut bertalu yang keras
gemerlap cahaya yang terang bersinar
kepada manusia, untuk apa yang benar
--bersama mengusir sepi setelah kalah--

Gerimis itu milik mereka,
tercipta dari kenangan, untuk dihening-ciptakan

Tak perlu simpati itu, acuh saja pada moral hidup
kepak kupu layangnya tak pernah jauh
atau serigala-serigala penyendiri lolongnya mengikat hati,
akankah Pencabut Nyawa tebar tanda-tanda pengarah mati?

O, himne Sang Angin, lekas pecah apa yang menggerah, biar hilang lara batin!
lagu akan selalu hidup, tak akan gantim tidak dengan manusia,
sebagian berputar, melangkah patuh di atas alur frustasi

Ah, lihat Si Dungu berpatah tatih mengejar pagi!
Maafkan si Bebal yang berbantah caci dengan sunyi,
berbuat dosa, tapi enggan mengakui diri pendosa
dan masih berharap pada Sang Penyelemata agar menyimpan
sisa rasa selamat?

Apa bagusnya bermacam cita yang tak membawa apa?
Harapan terakhir terlempar sudah dari tangan-tangan pemuda masa depan

Terhempas...

Hijaukah ilalang tersapu, atau samar ilusi kelabu?
Arak hitam tak lagi bendung tangis haru
Tampar rona jiwa terbahak! (Hyena?) Guncang dusta!
Elokkah gemulai tari diatas bangkai-bangkai serdadu?
Masih saja kawanku tersipu oleh berita bau kabar lalu

Ya, pijar bintang-bintang sudah padam ditelan angkasa kelam...

(Kepada manusia?)

Sunyikan, selaraskan harmoni alam, sucikan!
Entah kapan lagi wajah-wajah cahaya itu kembali tersenyum
Lalu berbalik menyusun benang hidup, dulu menggumpal semrawut
"Fatamorgana dunia, kami renggut kembali damai hati darimu!"
Itu gema sumbang mereka yang selalu tergantung di senja,
selalu pucat menunggu

Bye, Godot!



One word...."WUOOOOOOO!!!"

Yeah, amazing, stunning, addictive, itu yang aku rasakan saat memainkan game ini di NDS. Kalo pembaca tidak terlalu ngeh sama games dengan genre visual novel dan lebih cenderung milih yang action, hardcore, adventure atau fighting...langsung gebrak meja dan tinggalkan game ini sekarang juga! Tapi bagi para pembaca yang demen main RPG dan bukan melihat gameplay-nya doang, tapi juga melihat unsur cerita dari game secara keseluruhan, I HIGHLY RECOMMEND THIS GAME 4 U, buds, haha :D.


Well, klip diatas adalah kasus klimaks dari kasus-kasus lain di dalam game Phoenix Wright: Trial and Tribulation. Disini, anda menjadi seorang pengacara bernama Phoenix Wright dengan asistennya, Maya, yang harus berjuang membela klien anda dari tuduhan-tuduhan tak berdasar. Pada awalnya anda, sebagai Phoenix Wright, juga pasti meragukan apakah klien anda benar-benar bersalah atau tidak, hanya lucunya (dan hal yang paling tidak logis di game yang seharusnya logis ini), disini banyak disisipkan unsur-unsur mistik khas Buddha. Kesurupan lah, jimat lah, manggil roh mati kek, pokoknya seperti itu lah. Hanya saja hal-hal seperti ini bagi saya tidak terlalu mengganggu sih, karena ada salah satu alat bernama Magatama yang nantinya dapat digunakan sebagai lie-detector. Lucunya, karena memang aslinya alat yang gak jelas juga, saat seeorang berbohong, maka akan muncul visualisasi rantai yang mengelilingi orang tersebut, ditambah dengan locker yang terlihat sangat kokoh dan tidak bisa dibuka. Seperti ini nih:
~{x-Penasaran? Langsung aja klik judulnya untuk artikel lebih lengkap...-x}~

And it soars, high, to cut thru by its wings, the gloomiest sky

Now, the mourns are there, the griefs, tears - in a core
which are burdened deep in the human's heart
Nevertheless, it suddenly appears from nowhere, dear,
just like the times before
then swiftly it squints its eyes, "Too bright",
and stands there holding on the branch - tight

Black-weary clothes, gathered in the crowd
The tears spilled in the silent and the preachy words
tried holding the shady-souls sheltered
But nevertheless, it was already there, glancing from afar,
to imbue the very moment to its feathers
While it howled to them, my dear, it howled to them
to remind there's still a life left behind
to chase after

It is, you caught it on the dead trees,
shaped like a hand from graves
It is, you saw it when you're in grief, trying to dismiss
the world apart from its black-and-white
There it is! When you lose a hope, hate a love,
suffer a wound, bleed a soul!

It screams, while emphasizing:
"I'll be here, my wings and tail, just to let you know!
You want a joys? I'll give you more
Pursuing a life? I'll keep then no sore
I'll always be here, give you spaces, bless
you mercies, over and over
Need no sympathy? Fine, but, I'll float here still,
to teach you some... lore!"

"So, what is it?", you wonder. Please call
more-likely, a raven
a very unique bird indeed, one which flies
with the darkness of night
Always keeps up to the moon,
to be gladly surrounded by the dark, just to
dance under the shadow of moonlight

"But why?", you wonder
It is neither the creature of satire,
nor the pariah
Neither wants to be a martyr,
nor the Mesiah
The raven just enjoys to be flowed
in dark, condemning a light, saying
"Because when you are too blinded
by the Light,
and could see no more your path,
something is possessing and becoming you!
The Lord of Melancholy himself - The Dark"

(Srry kl pk bhs Inggris n byk tmn2 yg mngkin males bacany, cm sdikit iseng2 doang kok, haha :D)

Ruang Sidang

Ketika kejujuran acapkali dicabik-cabik dengan feodalitas peraturan formal, kata-kata pun samar membentang hingga ke seluruh ruang tapi akan terbanting ke lantai, jatuh dengan mengatasnamakan hukum. Padahal apalah hukum di sebuah ruangan sempit seperti ruang sidang? Nama keadilan hanya mengetuk pintu hati yang sudah terbuka, tapi jika pintu-pintu itu sengaja menutup dari semula? Ketika palu itu diketuk, ada yang tersenyum lebar, ada yang berpucat pasi, ada wajah-wajah tirus mengeras tanpa kompromi, beberapa orang yang hadir turut mengucapkan syukur, tetapi beberapa yang lain saling bersumpah serapah. Sayangnya, hampir kekesalan mereka hanya terpantul pada dinding tanpa bisa membalas apa. Cuma asa yang semakin meredup, tinggal dahi yang tambah mengerut. Dan lagu Gie pun berdendang:

"Tak pernah berhenti berjuang, pecahkan teka-teki keaaaaaaa....diiii.....laaaan...." :D

Dan kini, bayangkan jika anda dihadapkan dengan sebuah ruang sidang raksasa beratapkan langit biru, menjejakkan kaki di atas permadani dari tanah dengan dihadiri peserta sidang dari seluruh manusia di muka bumi. Dan disana, ada seorang tua berjanggut putih nan lebatnya, dengan plat nama berinisialkan "J" tersekat di dada, duduk dengan raut muka bosan menatap anda yang kini sedang menjadi seorang pengacara profesional, bersama seorang klien yang duduk di sebelah anda bernama Ryo Felsu - anda bisa melihat bahwa dia sedang dalam gugup yang amat sangat. Seorang jaksa dengan kliennya duduk berseberangan dengan kalian berdua. Tetapi ada satu kesamaan, mata kalian semua tajam mengarah saling berhadapan. Sedangkan si Orang Tua? Dia tidak usah banyak mengobral kata, tetapi moral 'keadilan' terletak di palu yang kini ia genggam. Bagaimana sidang berakhir, apakah "Guilty!" atau "Not Guilty" yang akan menjadi kata terakhir yang ia ucapkan, tugas andalah untuk mengarahkannya. Baginya proses sidang harus sesuai tuntutan mekanisme dan kata-katanya terlalu berharga untuk dihamburkan-hamburkan. Tetapi satu nasehat saya untuk anda, kebalikan dari Orang Tua, kata-kata anda adalah senjata. Gunakan seefisien dan semaksimal mungkin. Sidang dimulai.

~{x-Penasaran? Langsung aja klik judulnya untuk artikel lebih lengkap...-x}~

Mawar Untukku

Lalu lepas, lenyap, apa yang terenggut
berkepak bebas
Dua mata berhulu tajam menusuk
pilu, menatap garang
Dulu rindu yang pernah dicampak, kini
sudah melesak
Api biru yang tak berhinggap, apa
memang pernah terkesiap?
Senja sama saja dengan ufuk sekarang
Tak beda lontar kata terucap...
atau hitam tertulis....haha,
semua samar!
Sama saja bercampur disana
dengan kabut, terus buram hingga lenyap
Dan jangan bilang kalau
cantik mawar tak pelak -
lagi, indah kelopak, tapi duri
menusuk dari balik tak tampak


(If you even assume that this poem is written along with how my feeling goes on, then you're one step wrong :D. Once more, I dedicate this poem 4 my pal who's in depth and please...just stand back!!)

Utopia


Disana, terduduk, disentak
mati oleh angkara
Bangunkan aku singgasana dari buih di lautan!
Kamu tiupkan padaku sunyi,
akan kupasung dengan gaduh di hati

Dulu iya, elok keloknya, aku terpana
Sampai seribu asa kubangun
pun tak sanggup menyaingi menara selaksa
Berlanjut dari utopia, mekar menjadi dusta
Tapi masih dengan ilusikah aku
Tertawa...? Ternganga...?

Kelak seribu luka ini kujinjing paksa
Lenyap dengan duka, tapi yang terlantun...
simfoni syahdu berlagu merdu
-Hakikat diri seorang manusia-

(puisi ancur yang terilhami saat sadar kalo sekarang aku masih sering meliku dari orientasi seharusnya dan kaget kalo ternyata........ satu hari 24 jam itu gak cukup!!!)

Persona (1): TOPENG


Waktu itu sudah jelas saya melihat dengan mata kepala sendiri. Dia berjalan dengan muka merengut, sambil wajah ditekuk-tekuk, kedua tangannya berkibas kasar dan kakinya berderap tegas, ketus dan mantap – tapi sambil mulut bersungut-sungut. Selang beberapa menit kemudian, saya bertemu dengan dia di tempat perkumpulan, sambil bertanya:
            "Eh, barusan dari mana? Tumben telat, biasanya datang paling awal," tanya saya ramah.
            "Oh, gak, tadi ada perlu aja," jawab teman saya sambil sedikit tertawa.
            Loh? Padahal tadi saya lihat sendiri kalau dia tersasar di jalan, ngedumel gak jelas sambil lihat kiri-kanan. Langsung saja saya buka kartu.
            "Masa? Tadi pas aku naik tremco ngelihat kamu tuh. Lagi jalan kemana gitu," kataku polos. Temanku malah tergelak.
            "Hehe, iya sih, tadi agak kesasar sedikit. Lagian tempat kumpulnya juga gak jelas sih,". Nah, terbuka sudah topengnya. Sewaktu di jalan tadi, jelas emosi jengkel dan rasa tak sabar yang terlihat, refleksi dari emosi yang alami. Baru ketika akan memasuki tempat perkumpulan, dengan aduhai dia berganti muka dengan topeng cerianya kembali.
            Memang dunia ini penuh topeng. Baik itu manusia di dalamnya, atau malah dunia itu sendiri menutupi kebusukan tetapi tertutupi dengan topeng arif dan kebijakannya. Entah. Karena saya sendiri masih bingung berjuang memecahkan teka-teki malam dan teka-teki keadilan (dikutip dari lagu 'Gie') yang penuh rupa ini.


~{x-Penasaran? Langsung aja klik judulnya untuk artikel lebih lengkap...-x}~

Ohayoo. Sekarang masih pagi. Kaget habis bangun, ternyata masih terbayang dengan jelas mimpi semalam. Padahal biasanya kalo aku mimpi, pasti selayang pintas. Kayak kentut gitu lah, bau sebentar terus ilang (hehe :-p). Tapi yang ini lain. Sangat clear di memori. Seperti slow-motionnya The Matrix, bahkan sampe nulis ni post masih aj kebayang. Well, biasanya kalo Rav mimpi gini tu berarti premonition. Atau cuma 'bunga tidur'? Entahlah.
Ok, jadi begini ceritanya...

Ada sebuah rumah, entah bagaimana bentuknya...tidak terbayang jelas. Yang jelas, ada seseorang di rumah tersebut yang masih mempunyai relasi keluarga. Dia mengundangku untuk berkunjung. Kemudian entah kenapa, ada perasaan seakan mendengar sebuah command untuk memasuki sebuah kamar. Kamar tersebut berada di balik tembok sebelah kiri sekitar 2-3 meter setelah memasuki pintu masuk. Jangan tanya, "Terus kalo di sebelah kanan ad pa-an?". Gak tahu juga.

Setelah memasuki tu kamar,  baru sadar  kalo aku sedang menggunakan jaket hitam tebal, lengkap dengan tudung kepala yang menutupi wajah. Nah, entah "someone's-that-related-with-my-fam" (selanjutnya saya panggil Vad aj biar gampang) tu ngomong apa, yang jelas dia berbicara dengan seseorang di kamar tersebut yang sedang duduk di atas kasurnya, seorang cewek. Mungkin si Vad memperkenalkan saya dengan cewek tersebut, karena lantas dia sangat antusias dan ngelihatin saya seperti orang mo beli baju-baju di supermarket, dari atas sampe bawah tubuh gue gak lepas dari matanya. Tapi nyantai aj sih. Langsung aja aku duduk di sampingnya sambil buka jaket. Woi, ternyata dingin ya? Berarti itu alasanku barusan pake jaket. Hitam juga konduktor panas, jadi pasti lebih hangat. Tapi cerita ini baru dimulai dari sini.
~{x-Penasaran? Tolong jangan dibaca lagi deh, please....-x}~



Hanya sekedar iseng, selamat menikmati, haha :D

Apabila kamu ingin berbantah kata dengan Diam, coba tanyakan kepada galau yang bergaduh di hati. Sedikit, atau tidak lama gundah itu bersarang, tetapi lemah jika sedikit saja terantuk batu karang bernama emosi. Dan dikala puncak antara sedih, senang, gembira, cemas, marah dan sakit perut bercampur, kepala itu akan meledak-ledak bagaikan lokomotif yang baru mau bertolak, muntah asap. Ini adalah anekdot dimana dua orang berbeda karakter bersikap, yang satu diam karena sedang mencoba berpikir dingin, sedangkan satunya lagi sedang diam tapi menahan marah.

~{x-Penasaran? Langsung aja "click" judulnya 2 read it more...-x}~


(artikel ini pernah diterbitkan di Majalah La Tansa edisi XVIII)

Tahu musuh terbesar yang mungkin akan anda hadapi selama sisa umur hidup anda? Lihatlah ke cermin. Terkadang muka yang muncul benar-benar bisa membuat sakit perut. Saat anda dihadapi beberapa problematika seperti berhadapan dengan kenyataan pahit, terkadang ide yang terbersit yaitu bagaimana kita lari dan meninggalkan semuanya dibelakang. Tapi tetap itu bukanlah solusi, karena selama masalah tersebut tidak kita pecahkan, maka dia akan kembali lagi untuk menghantui hidup kita disaat semua sudah terlihat santai, aman, nyaman dan tenang. Seperti bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu. Dalam hidup, kita seperti itu.           

 
Sekarang mari kita bicara masalah waktu. Apa hanya hemat penulis saja atau memang begitu realitanya? Setiap kali ada perkumpulan selalu saja tepat waktu - sejam dari waktu yang tertulis di agenda atau waktu yang telah disepakati, bahkan lebih. Apabila di pamflet tertulis acara akan dimulai jam delapan pagi, maka sudah menjadi rahasia umum apabila nantinya acara dimulai jam sembilan. Bukan hanya perkumpulan-perkumpulan kroco saja, bahkan probabilitas acara-acara resmi yang melibatkan staf KBRI dimulai tepat waktu sesuai agenda bisa ditaksir hanya mencapai 30%. Sampai muncul slentingan konyol yang sudah tidak asing lagi, CLT (satuan waktu Kairo) merupakan singkatan dari Cairo Long Time – anekdot dari jam karet paling molor dalam dinamika Masisir.           
~{x-Penasaran? Langsung aja "click" judulnya 2 read it more...-x}~

Lorong


Hanya ada satu temaram lampu disitu; kuning, buram dan menyala samar. Vrathdar sedikit menengadah. Di lorong yang sempit, lembap, bau kotoran yang menyengat hidung, ditemani oleh beberapa ekor tikus yang berlarian kesana-kemari, sepertinya hanya dia satu-satunya manusia disana. Dia berjalan sedikit, bunyi PLOP! yang keras menggema di dinding lorong setiap kali sepatu ketsnya menginjak lantai yang becek dan bercampur lumut hijau pekat. Yang di pikirannya kini satu, bagaimana cara keluar dari tempat menjijikkan ini!
Tiba-tiba dia berhenti. Dia tepat berada dibawah lampu sekarang, dan sejauh mata memandang, sama sekali tidak ada penerangan lagi di depan. Remaja bercelana jeans biru dekil itu berpikir, seandainya dia terus berjalan maju, siapa yang akan ia temui nanti? Atau barangkali….apa?
"Bah, di lorong sempit seperti ini, emang ada setan ya?", Vrathdar mengucap dalam hati. Simpul tersinggung di bibir, mungkin hanya itu kini yang dapat menghibur hatinya. Tapi di balik senyumnya, rasa cemas yang amat sangat menjalar di sekujur tubuh. Satu-satunya alat penerangan yang memungkinkan adalah handphone miliknya, tapi alat itupun sudah pecah semenjak ia tersadar tadi.
Wajahnya mengeras. Dia bertekad akan terus berjalan maju, apapun yang akan terjadi nanti. Vrathdar melangkah perlahan. Bunyi PLOP! yang tadi bergema telah tersamarkan menjadi sebuah desis dan kecipak air. Sambil berjalan ia terus berpikir, bagaimana aku bisa berada disini? Tempat apa ini? Mengapa dan apa yang telah aku perbuat? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar bagaikan gasing di kepalanya. Dan sambil terus bejalan, bertanya-tanya….
PLOP! PLOP!
Vrathdar terkejut. Refleks, dia menoleh kebelakang. Hanya sinar lampu yang semakin pudar ia melihat. Tetapi dia tahu, suara barusan adalah suara seseorang berjalan…atau sesuatu. Dan suara itu bukan berasal dari kakinya. Vrathdar terdiam.
PLOP! PLOP! PLOP!
Mukanya berubah pasi. Suara itu berasal dari kegelapan di depannya! Seketika dia langsung berbalik arah, mencoba berlari…tetapi terlambat, suara PLOP! PLOP! PLOP! berada tepat di belakangnya. Sesuatu yang basah, berlendir, dan sedikit kenyal menyentuh pundaknya. Vrathdar menoleh, dan ia tidak percaya apa yang ia lihat!
Teriakan manusia menggema di sebuah lorong gelap nan sempit.
"Aaargh…!!"
~{x-Penasaran? Langsung aja "click" judulnya 2 recall it back...-x}~

Empati

...Sebuah cerpen konyol yang masih butuh edit sana-sini :P

Jaket hitam yang berkibar usang, rontok uban yang teramat gersang, dua hal yang tertampung dalam satu tonggak tubuh penat berkulit hitam. Ringkih berjalan tertatih, hembusan nafasnya berpacu detik dengan malaikat maut. Mata tua yang mudah meredup dan celana coklat butut yang ia kenakan – adalah pasangan hidup di semakin hari ia bertolak menuju alam azali.
Dan inilah kami. Bertemu begitu saja, di Port Jeremie, tanpa sengaja, tanpa janji. Berjalan, berpapasan, tanpa tegur sapa, hanya berbalas senyum. Tubuh tuanya berjalan lambat – walau sedikit lambat tertahan, tapi pasti. Seakan-akan emosi alam sudah bercampur dengan jiwa raganya. Sedangkan aku? Aku hanya berjalan lurus, tidak lebih. Percuma aku memberinya uang, karena materi itu kini baginya fana dan tidak kekal. Percuma aku bersimpati lebih kepada sang luapan hati, karena pasti ia menolak diri.
Bukan. Tolong jangan tatapkan pandangan skeptis itu ke arahku. Kau hanya belum merasakan. Coba saja kau berdiri disampingku, menatap sosok rentanya dari belakang. Apa yang kau lihat?
~{x-Penasaran? Langsung aja "click" judulnya 2 recall it back...-x}~

Kekang

Bosan dengan keramahan dunia

Aku ingin bebas, kebas, terlepas!


Ambil saja sejumput rasa embun, lalu tebar dalam pesona pagi
Bukan saatnya kemilau surya untuk kilau membuta, 
sudah biar padam! Tanganku ingin memeluk malam
Begitu dingin... Ya, disitu indah bulir air mata mengalir
Puas sudah tertutup oleh petangnya kelam,
Lemah dengan terang


Kapan mulai aku tenggelam dalam lingkaran
benang kusut sedu-sedan?
Diam saja waktu, sudah muak aku dengan bualmu!
Lekas tutup, pssst...dan semua berpacu ragu
Pandangan diam yang dulu menembus tajam
Dulu berkobar, kini padam
Apa hendak asa yang dulu berkicau terbang?

Kantuk aku oleh buai Sang Alam...
aku ingin kebas, bebas, terlepas!



Nowadays, I'm after so many dreams I musn't lost, but there's just one dream I won't chase after for now....what is that? Only God knows, kekeke..    

Back to compie, kalo di postingan kemarin aku sudah bahas tentang bagaimana cara mendeteksi orang yang sedang berbohong secara umum, kali ini aku akan masuk ke tahapan yang lebih deskriptif dengan cara melihat 'mata' mereka. Tetapi sebelum itu, biar semuanya connected n gak rancu, aku akan bahas mengenai arti 'lirikan mata'.

Lirikan mata, baik ke samping, ke depan maupun ke belakang (kalo bisa :P) mampu menjelaskan apa yang muncul di balik sel kelabu (otak) orang itu. Para spesialis mata menemukan bahwasanya Conjugate Lateral Eye Movements atau yang biasa disingkat dengan CLEMS (kalo diartikan secara bebas yaitu deskripsi makna lirikan mata) adalah pandangan mata orang ke kanan ataupun ke kiri yang menggambarkan apakah dia saat itu sedang berpikir, mengingat-ingat atau berkhayal. Pada studi kasus tahun 1999 di Amerika, menyatakan bahwa rata-rata orang logis cenderung melirik ke kanan dulu, baru ke kiri. Sedangkan orang yang berpikiran kreatif (seniman, artis, dll) dikarenakan otak kanan mereka lebih dominan daripada otak kiri, maka mereka akan melirik ke kiri dulu baru ke kanan. Lirikan itu terjadi apabila mereka sedang berkhayal ataupun ingin menjauhkan fakta dari pertanyaan yang diajukan kepadanya. 

 
~{x-Penasaran? Langsung aja "click" judulnya 2 recall it back...-x}~

Akhir2 ini aku lagi kesengsem sama lagu-lagunya 3 Doors Down. Sebenarnya sudah denger dari dulu, tapi ngresapin makna dari liriknya baru akhir-akhir ini aja. Seperti phrase dari lagu "Citizen Soldier":

..I'll walk beside you but you may not see me, 
the strongest among you may not wear a crown..
   
Phrase ini terasa kuat banget, berakar dan tertanam dalam, terutama mungkin bagi para tentara, baik tentara nasional, tentara fiktif maupun tentara mainan :D. Kalimat pertama menyatakan bahwasanya mereka siap bekerja tanpa pamrih dan selalu siap bersukarela dalam membantu masyarakat (konon), walaupun kenyataannya mungkin sedikit berbeda. Kalimat kedua, ini benar-benar kontradiktif kongkrit, bahwasanya kuasa mutlak bukanlah berada di tangan orang yang memegang 'mahkota'. Mungkin sedikit ambigu ya, kalo sudah seperti itu lantas siapa? Jelas lah, kerja para 'mereka' yang hanya memerintah doang, sangat berbeda dengan mereka yang memerintah, tetapi juga berbaur dengan orang-orang dan menyatu dengan alam. Ngerti kan?

Banyak juga yang lain, tapi ntar jadi review lagu deh, padahal mo yang lain, haha :p.


Ok, lanjut ya? Pernah gak mencoba berbicara dengan seseorang, terus mencoba untuk meyakinkan mereka? Kalo pernah (atau malah sering) coba perhatikan gaya tubuh (gesture) kamu, disaat kamu ingin benar-benar meyakinkan seseorang, semisal: seorang pengacara kepada kliennya, pasti tubuhnya akan condong mengarah ke depan, menghadap ke seseorang yang ingin diyakininya. Sedangkan jika seseorang berbicara dengan orang lain dan tubuhnya agak sedikit mundur2 atau condong ke belakang, itu indikasi kalo dia malu-malu, ingin PDKT (kalo dengan lawan jenis) tapi susah ingin mengutarakan, misalkan :D .

Langsung ke inti....sebagai Trickster yang baik, di artikel pertama aku sudah mengupas salah satu cara persuasif yang dipake salesman, kini saatnya mengasah kemampuan kita untuk menjadi seorang investigator yang baik. Pasti pernah lihat acara talk show "Kick Andy" kan? Terkadang si Nova dengan kritis menanggapi peryataan narasumber dimana mungkin kalimat tersebut terdengar biasa di telinga kita, tetapi tidak jika peryataan tersebut diikuti dengan gugup maupun gerak-gerik lain. Normalnya terlihat (tetapi lebih sering 'invisible n undetectable'), dan itu tanda jika dia 'sedikit' berbohong. Sekarang kita akan membahas gerak-gerik atau tanda-tanda ketika lawan bicara kita berbohong.... (penulis tidak bertanggung jawab, jika setelah membaca artikel ini dan menerapkannya, maka pembaca akan menemukan bahwasanya kenyataan itu pahit, seperti di lagunya Iwan Fals)  

"Sometimes Ignorance is bliss; after gaining this knowledge, you may be hurt when it is obvious that someone is lying to you."
~{x-Penasaran? Langsung aja "click" judulnya 2 recall it back...-x}~


(Sang Merah)
Hijau daun kulalap habis, kering kau!
Lihat tariku, seiring pekik aku terbahak
riang dengan jerit tangis mamalia, itu lullaby!
Bagiku indah menuai kanvas dengan tinta merah
kikis hijau bumi, letupkan sedikit amarah!
Jiwaku seakan melambung terbawa angin
dan kecup panasku pada sang awan...

(Si Pembunuh)
Merah...merah...merah dimana-mana!
Riuh protes memekakkan angkasa, dan bara
aku lupa, dulu manusia yang bertamak hampa
Ada apa dengan merah?
Kenapa melolong kosong, wahai hati yang tersayat?
Sedangkan ingatkah kau, dulu penyebab?
Karena kamulah, kekang Merah terkapar
Merah jadi penguasa!

(Sang Merah)
Aku berkoar, bukan ragaku berkibar!
Nafsuku lapar, tapi bukan ego dasar!
Maumu menuduhku dengan apa?
Ini letih, perlu ku-campak?
Dan lolong ini kering, masih habis kupaksa?
Mata ini perih sudah, tahukah?
Aku hanya ingin lebih baik,
Aku ingin berubah...

(Si Pembunuh)
Merah...merah...merah, kamu lupa?
Mungkin manusia yang menarik benang merah
tapi siapa yang mengikatnya menjadi simpul dilema?
Kacau, berotasi, rusak
Habis, terbabat, kembali lagi, lenyap
Merah, kamulah yang salah!
(dan pisau itu terasah sudah)

--Epilog--
Mereka saling bertatap dalam diam, bertukar paham dalam satu melodi rasa
Yang menyaksikan hanya akan tenggelam dalam kebingungan
Dan masih banyak Merah yang ada,
pisau manis siap hunus pula...


---Sorry karena sempat hiatus kemarin, but now I pronounce that....Raven's back! Sekaligus saya ucapkan congrates n salutation buat Shin-kun, semoga hibernasinya membawa hasil! *angelic smile*---

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Software