Waktu itu sudah jelas saya melihat dengan mata kepala sendiri. Dia berjalan dengan muka merengut, sambil wajah ditekuk-tekuk, kedua tangannya berkibas kasar dan kakinya berderap tegas, ketus dan mantap – tapi sambil mulut bersungut-sungut. Selang beberapa menit kemudian, saya bertemu dengan dia di tempat perkumpulan, sambil bertanya:
"Eh, barusan dari mana? Tumben telat, biasanya datang paling awal," tanya saya ramah.
"Oh, gak, tadi ada perlu aja," jawab teman saya sambil sedikit tertawa.
Loh? Padahal tadi saya lihat sendiri kalau dia tersasar di jalan, ngedumel gak jelas sambil lihat kiri-kanan. Langsung saja saya buka kartu.
"Masa? Tadi pas aku naik tremco ngelihat kamu tuh. Lagi jalan kemana gitu," kataku polos. Temanku malah tergelak.
"Hehe, iya sih, tadi agak kesasar sedikit. Lagian tempat kumpulnya juga gak jelas sih,". Nah, terbuka sudah topengnya. Sewaktu di jalan tadi, jelas emosi jengkel dan rasa tak sabar yang terlihat, refleksi dari emosi yang alami. Baru ketika akan memasuki tempat perkumpulan, dengan aduhai dia berganti muka dengan topeng cerianya kembali.
Memang dunia ini penuh topeng. Baik itu manusia di dalamnya, atau malah dunia itu sendiri menutupi kebusukan tetapi tertutupi dengan topeng arif dan kebijakannya. Entah. Karena saya sendiri masih bingung berjuang memecahkan teka-teki malam dan teka-teki keadilan (dikutip dari lagu 'Gie') yang penuh rupa ini.
Apa selanjutnya yang akan terjadi jika lembaran sejarah dihapus total dan bagaikan kertas putih tanpa noda, kembali ditulis dengan tinta emas seraya menyingkirkan tinta hitam dan merah? Itulah sepenggal inti dari kisah diatas. Penetralan karakter, persamaan pola pikir, dengan menghapuskan kata 'satir' dan 'sindir' dari muka bumi dan semua yang ditulis adalah veritas – kejujuran, kejujuran, kejujuran. Kira-kira jika anda tinggal di dunia seperti itu, akankah hidup ini terasa lebih baik? Mungkin ada yang mengamini, mungkin juga mengingkari. Hemat saya pribadi, dunia yang seperti ini bukan saja seperti sayur tanpa garam, burung tanpa sayap, siang tanpa malam, atau kata-kata tanpa koma, tapi juga menciptakan manusia-manusia yang terdiri dari gumpalan daging dan darah tanpa emosi, seperti robot nantinya. Tidak ada lagi diplomasi. Arti politik bukan lagi seperti kini. Semuanya serba jujur. Jika ada pencopetan di bus, lalu kita berteriak, "Siapa yang barusan nyopet?", pasti si pelaku langsung angkat tangan. Tidak ada lagi kriminalitas tak berbatas. Semuanya serba terbuka, blak-blakan, dan kita tidak perlu khawatir lagi atas adanya kasus korupsi di Bumi Pertiwi. Lalu Badan-badan semacam FBI, CIA, Interpol dan lain-lain mulai mengambil sapu dan mengepel lantai kantor mereka. Para diplomat tinggal nonton TV, lengkap dengan koleksi film-film terbaru, makan, kenyang, tidur, buang air. Beres. Simpel. Puas.
Dunia boleh damai. Konflik mungkin tidak lagi tercapai. Tapi apa hanya berhenti sampai disitu saja dan tidak berpengaruh kepada kasus sosial, yang merupakan ujung pondasi kemasyarakatan yang apik? Boleh jadi yang muncul nantinya polemik yang berkelanjutan dan gak habis-habis. Bayangkan saja, seorang suami pulang larut, lalu ditanya oleh istrinya, "Habis dari mana bang?". Kemudian sang suami dengan santainya menjawab. "Biasa, habis main serong sama sekretaris di kantor. Tahu gak? Ternyata warna CDnya pink juga loh, sama persis kaya punya adik…". Sang suami tidak bisa menutupi perselingkuhannya dengan topeng 'letih-sehabis-kerja' yang biasa ia pakai, karena veritas sudah melucuti satu persatu topeng-topeng yang ada, baik hitam atau putih, semuanya. Lengkap, rata, tidak ada sisa. Begitu pula dengan seorang pekerja wanita di kawasan Dolly, Surabaya , saat ditanyai oleh wartawan menyangkut dari golongan konsumen mana yang paling sering berkunjung kesana? Jika wanita tersebut berkata, "Jelas, dari TNI!" maka apa yang dikatannya adalah benar. Tidak ada lagi topeng yang menyembunyikan lidah berkelu. Kemudian jika ditanyakan balik kepada para tentara sendiri, maka mereka akan berkata lantang, "Ya! Kami yang paling sering kesana! Terus kenapa?". Dan hancurlah topeng mereka sebagai sosok teladan yang patut ditiru, yang penuh kesopanan, yang selalu taat dan patuh kepada negara, yang konon katanya selalu berusaha menegakkan keadilan negara. Dan jika topeng ini hancur, lantas mau dikemanakan negara yang berdiri tanpa senjata dan perisai ini? Jika saja gara-gara masalah di atas masyarakat sudah tidak lagi menaruh kepercayaan kepada TNI gara-gara topeng keadilan dan patriotisme mereka yang telah hancur, siapa lagi yang akan menjaga agar nama hukum tetap teguh tak tergoyahkan? Hal ini juga berlaku kepada para pengacara, jaksa, atau para hakim. Terkadang, menantang hukum yang berwajah kaku itu perlu sedikit kekreatifan. Memang hukum telah mendefinisikan apa itu keadilan, tetapi untuk mencapai hasil 'adil' itu sendiri susahnya minta ampun. Kesalahan logika, kurangnya barang bukti, itu saja sudah sudah cukup untuk menjauhkan keadilan dari definisi aslinya.
Memang terkadang kita butuh topeng. Bukan untuk menutupi sifat kemunafikan, dusta, pura-pura atau apa. Bukan juga untuk menipu diri dan menyumbat simfoni yang mengalun dari hati nurani, nggak. Topeng yang kita perlukan kini, adalah topeng hasil sintesa makhluk bernama alam dengan manusia. Bagaimana menyampaikan maksud hati nurani, tetapi dengan sikap layak yang tidak mengundang masalah, itu saja. Seperti contohnya ketika anda sedang dilanda gundah gulana, lantas apa anda ingin menunjukkan kepada dunia dan selalu bertemu dan menyapa setiap orang dengan wajah sedang berduka? Misal lain, anda sebagai seorang sahabat. Kawan anda sedang bersedih, pun sebenarnya begitu pula dengan anda. Apakah lantas anda menghiburnya dengan wajah penuh tekuk sedang berduka juga? Mungkin, beberapa orang melakukannya seperti itu. Tetapi alangkah lebih baiknya jika kala itu anda memasang topeng 'tegar' and baru menghiburnya.
Atau kini anda sebagai seorang dokter, pengacara atau psikiater. Seorang klien datang kepada anda, mengadu dan menyampaikan permasalahannya. Padahal di balik rongga dada anda sendiri ada badai yang berkecamuk hebat. Apakah saat klien anda mengadu, anda menjawab dengan muka sendu? Dalam beberapa kasus, mungkin cara ini benar, tetapi alangkah lebih pantasnya jika saat itu anda menggunakan topeng 'profesionalisme'. Mungkin agak sedikit susah didapat, karena topeng ini bukan dibayar dengan uang tetapi dari hasil jerih payah dan konsistensi yang terus berjalan. Karena saat topeng 'profesionalisme' itu terlepas, anda gugup, atau mungkin turut bersedih, maka yang akan timbul nantinya adalah menipisnya kepercayaan klien kepada anda. Seorang pengacara, dokter, psikiater atau apapun itu yang membutuhkan relasi antara anda dengan klien, harus selalu tersenyum dan sabar, apapun yang terjadi. Hingga terselesaikan problem yang saat itu dihadapi, baru topeng itu bisa anda lepas.
Yang jelas, saya sedikit iri setiap kali melihat anak-anak kecil. Mereka bisa langsung mengetahui orang-orang yang sedang mengenakan topeng 'senyum' dan ingin mendekati mereka. Coba saja, anda baru bertemu dengan seorang anak kecil yang masih asing dengan anda. Walau setampan atau secantik apapun anda, dengan senyum yang anda paksakan saat ingin mendekati atau merangkul dia, pasti dia langsung tahu. Lain jika senyum yang muncul di wajah bukan sebuah 'topeng' tapi asli dari hati. Maka si anak akan membalas tersenyum dan berbalik merangkul anda lebih hangat. Tetapi sayang, riset dari seorang ahli psikologi mengatakan bahwa bakat ini semakin terkikis seiring berjalannya waktu. Karena semakin bertambah umur, banyak sudah pengalaman-pengalaman yang kemudian manusia deduksikan dan akhirnya berkembang menjadi pola pikir atau bahkan idealisme. Hanya segelintir orang saja yang bisa langsung melucuti 'topeng-topeng' ini langsung tanpa bantuan alat maupun pendekatan sosial. Tetapi jujur, kalo saja saya bertemu dengan orang seperti ini, mungkin saya akan mengenakan 'topeng' terbaik yang saya miliki dan melakukan oplas biar merekat gak lepas-lepas dari wajah. Hanya saja, well, persediaan topeng saya terbatas. Ada yang tahu letak pasar topeng di Mesir? Saya ingin borong 50 buah, sudah termasuk semua emosi disana. Atau kurang banyak? Ok, jadikan 100. Yang mau nitip beli 'topeng', silahkan pesan ke saya nanti, langsung saya kasih kabar kalo sudah dapat pasar topeng yang lengkap disini.
8 comments:
Eh, pertamaxx kah?, uhuyyy... hehehe. Wadohhh, Rax, liat karakter temen loe itu, jadi inget temen Shin-kun, dia juga jaim abeeeiiissshhhhh, hahaha... pokoknya 1000 topeng dia pakai dehhh... :D
April 18, 2010 at 6:58 PMSaat ini, aku sedang pake topeng ramah, padahal hatiku hancur hu..hu..hu.. *curcol abis dimarahin bos*
April 18, 2010 at 9:35 PMEh, kemaren, anak kecil umur 14 bulan berlari ke arahku sambil mengembangkan tangannya, memelukku dengan tangan2 mungilnya. Waktu itu, aku hanya tersenyum, trus dia tertatih-tatih meluk aku. Padahal, katamu, anak kecil ga bisa di tipu. Ato mungkin itu pelukan malaikat yaa... Secaraaa... aku lagi kacaw bener kemaren itu, aku paksain senyum, eh... dia Fahri *nama anak kecil itu*, senyum lebih lebar lagi, trus...1...2..3... dia udah ada di pelukanku. Kami berpelukannnnn.... hwahahaha...
Aku mau memberi apapun, kalau ada yang bisa memberiku pelukan tulus seperti yang diberi Fahri kemaren :)
Rax, gimana kabarmu? Lama aku ga menodai blog-mu. Tulisanmu makin berkelas. Pokoknya kerennnn.... *sambil angkat jempol kedua tangan*
:D
x>Shin-kun: kekeke, kadang2 temenku juga byk yg blg gtu. "Kamu skrang jaim banget?" padahal perasaan g ad yg berubah tuh..Pa gara-gara kebanykan akting y? :P
April 21, 2010 at 11:48 PMx>Sari: wah, selamt dtng! Slhkn msuk, anggp aj rmah sndiri. Jdi tlg ntr lantainy dpel, lstrik dbyar, sm msk nasi, kekeke.... :P. Dh lama nih, kmn aj bu? Tumben hbis ngritik trus muji, lg bth duit y? :D
Well, nanggpin komen d ats. It berarti si Fahri lngsung ngelihat hati kamu, Sar. Dia tahu kl btinmu wkt it sdang glisah, jd wlau tdk ush dpksakan trsnyum (yg psti bakalan ketahuan) biarkn aj ap adany, maka s Fahri tnpa pkir-pnjang trut ngasih empatiny (merangkul, khas ank2). Gtu...
Adakalanya menggunakan topeng itu perlu,untuk menyenangkan hati orang lain misalnya.gak mungkin apa yg kita rasakan orang lain kudu rasakan.....met sore datang menjalin persahabatan....
April 22, 2010 at 12:48 AMbuka dulu topengmu
April 22, 2010 at 1:43 PM:p
jadi ingat quote ~ it's hard to be real with a world full of fakes~ @ihatequotes.twit :)
April 23, 2010 at 10:29 PMsekarang ini semua orang seperti memakai topeng :p
x>elpa: hmm...bleh jg, it yg srng sy prktekkan. Bru lmbat laun tmn2 karib sy tau kl trnyata sy: "Org pling mnjngklkan yg prnah mrka thu, wjah yg kl sring dlhat bkn pngen jitak tp ssah dilupain" hahay :P
May 5, 2010 at 5:11 AMx>readhermind-dy: I have...
x>rid: nope, 4 those who prefer 2 stand in more hnest way, they do against th world. It tkes time 2 cnquer, bt soon it'll come :D
Klo menurutku ... topeng memang terkadang di perlukan. Namun topeng seperti apa yg kita pakai? Disaat kita marah, sedih, emosi tak terkendali, dan kita harus di hadapkan oleh org banyak. Memang saat seperti ini topeng ramah serta ceria di perlukan, jangan sampai kemarahan kita kita tampakkan kepada org lain. Di saat melayani pembeli pun kita memang harus memakai topeng ramah, agar pembeli tdk lari .... kan rugi klo pembeli kabur karena muka kita kusut. Jadi intinya .... dimanapun kita, kita hrus pinter2 bawa diri dan sikap. Nice article raxen ,,,,:)
May 12, 2010 at 2:01 AMPost a Comment