SAMAS, Rumah
Akar, Ahad 24 Maret 2013
oleh: Umar
Abdulloh
A. Pendahuluan
Mengenal
dan memahami peta periodisasi sejarah sastra Indonesia diperlukan oleh para
sastrawan muda Indonesia untuk membentuk karakter yang nasionalis dan
patriotik. Tidak lain, karena wawasan akan sejarah tersebut akan semakin menuai
benih cinta yang semakin mengakar di dalam diri dan memperkuat keyakinan bahwa
Indonesia sangatlah kaya akan seni dan kebudayaan. Bhinneka Tunggal Ika, moto
Ibu Pertiwi bukan sekedar iklan pasar, tetapi realita yang acapkali
diremehtemehkan. Untuk itu, kita perlu mengetahui mula sejarah sastra di
Indonesia, yang tidak lain diawali
dengan sastra Melayu.
Ragam karya
sastra Indonesia menurut bentuknya, terdiri atas: puisi, prosa, prosa liris,
dan drama. Masing-masing ragam karya sastra Indonesia dari setiap periode itu
mengalami perkembangan sehingga menimbulkan ciri khas. Beberapa orang penelaah
sastra Indonesia telah mencoba membuat periodisasi sastra Indonesia ini. Salah
satunya adalah H.B. Jassin.
Dia membagi periodisasi
sastra ini menjadi dua macam: Sastra Melayu dan Sastra Indonesia Modern, dengan
pemecahan Sastra Indonesa Modern ini menjadi beberapa fase, yaitu: angkatan
Balai Pustaka (angkatan 20), Pujangga Baru (angkatan 33), angkatan 45 dan
angkatan 66. Meski pada tulisan kali ini, penulis hanya akan menjelaskan secara
singkat sejarah Sastra Melayu dan mengerucutkannya pada proses perkembangan
puisi/prosa, serta pengenalan singkat tokoh-tokoh ternama saat itu.
B.
Kilas Singkat Sejarah
Sastra Melayu
Kebudayaan Melayu, sebagaimana kebudayaan Jawa,
memperoleh pengaruh yang sangat kuat dari India kira-kira semenjak abad ke-5 M
hingga abad ke-14 M. Namun pencapaian keduanya cenderung berbeda. Kebudayaan
Jawa telah menorehkan prestasi menonjol dalam bidang seni ukir seperti candi,
patung dan relief, sedangkan pencapaian terbesar kebudayaan Melayu terletak di
bidang kesusasteraan.
Braginsky dalam bukunya Yang Indah, Berfaedah dan
Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam abad 7-19, terjemahan Hersri Setiawan,
menyatakan bahwa dasar tradisi kebudayaan Melayu adalah sastra. Tentu saja hal
ini tidak berarti bahwa kebudaan Melayu tidak menghasilkan pencapaian di
bidang-bidang lainnya. Dasar tradisi Melayu ini (sastra, pen.), baru ada
semenjak abad ke-16, tertera pada sebuah manuskrip dengan aksara Jawi dan
menggunakan bahasa Melayu.
Ketika orang Melayu mulai mengenal agama Hindu dan
Buddha yang berasal dari India, mereka turut mengadopsi bahasa dan aksara yang
digunakan di dalam dua agama tersebut. Lantas mereka mengintegrasikannya dengan
bahasa asli, dan mulai menciptakan karya-karya tertulis berdasarkan
kaidah-kaidah yang terserap. Tujuan mulanya, tentu agar perasaan dan pikiran
mereka yang tercurahkan dalam karya bahasa, memiliki kemungkinan lebih besar
untuk kekal.
Namun, keberadaan
aksara, alat tulis serta kemahiran menulis saja tidak cukup. Karya-karya sastra
tertulis yang muncul pada masa integrasi Melayu dengan Hindu-Buddha sangat
sukar ditemukan, karena hampir tidak ada satu pun yan selamat, kecuali
karya-karya yang dituliskan pada material yang tidak rentan dengan perubahan
cuaca, seperti pada prasasti atau nisan. Bahkan menurut penulis, belum
diketemukan karya sastra Melayu pada kedua artefak itu.
Bisa jadi, melenyapnya karya-karya sastra dari masa
yang cukup jauh ini, sanggup dikorelasikan dengan hakikat sastra: baik dalam
bentuk maupun isinya, pasti mengandung nilai-nilai tertentu yang dianut,
diyakini dan diamalkan oleh masyarakat atau anggota masyarakat yang
menciptakannya. Karya-karya sastra pada masa pengaruh India tentu mengandung
nilai-nilai keagamaan dan norma-norma fundamental Hindu-Buddha yang sangat
lekat, sehingga ketika pengaruh Islam muncul, nilai-nilai tersebut musti disisihkan
dan digantikan oleh nilai-nilai Islam. Meski, Api Sejarah milik Ahmad
Mansur Suryanegara, sedikit kontroversial dengan data historik yang umum
ditemukan, mengatakan bahwa Islam sudah memasuki Indonesia jauh sebelum
Hindu-Buddha.
Harus ditekankan pula bahwa agama Hindu-Buddha
memmpunyai watak elitis, yakni pendalaman pengetahuan tentang kedua agama
tersebut hanya mampu dilakukan oleh kalangan tertentu, misalnya kelas brahmana
atau bhiksu (Marwati Djoened Pusponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia, Balai Pustaka Pendidikan dan Kebudayaan). Karakter elitis ini membuat Islam yang tidak membedakan kasta
(egaliter, pen.) memberikan kesempatan bagi siapa saja yang ingin mendalaminya
dan dapat diterima, juga tersebar luas di kalangan orang Melayu. Dengan
karakter egaliter pula, aksara jawi yang diperkenalakan oleh kebudayaan
Islam/Arab-Persia, mendapatkan dukungan penuh ketika mendesak karya-karya dan
aksara sebelumnya yang masih mengandung bentuk maupun nilai-nilai budaya yang
elitis.
C.