SAMAS, Rumah
Akar, Ahad 24 Maret 2013
oleh: Umar
Abdulloh
A. Pendahuluan
Mengenal
dan memahami peta periodisasi sejarah sastra Indonesia diperlukan oleh para
sastrawan muda Indonesia untuk membentuk karakter yang nasionalis dan
patriotik. Tidak lain, karena wawasan akan sejarah tersebut akan semakin menuai
benih cinta yang semakin mengakar di dalam diri dan memperkuat keyakinan bahwa
Indonesia sangatlah kaya akan seni dan kebudayaan. Bhinneka Tunggal Ika, moto
Ibu Pertiwi bukan sekedar iklan pasar, tetapi realita yang acapkali
diremehtemehkan. Untuk itu, kita perlu mengetahui mula sejarah sastra di
Indonesia, yang tidak lain diawali
dengan sastra Melayu.
Ragam karya
sastra Indonesia menurut bentuknya, terdiri atas: puisi, prosa, prosa liris,
dan drama. Masing-masing ragam karya sastra Indonesia dari setiap periode itu
mengalami perkembangan sehingga menimbulkan ciri khas. Beberapa orang penelaah
sastra Indonesia telah mencoba membuat periodisasi sastra Indonesia ini. Salah
satunya adalah H.B. Jassin.
Dia membagi periodisasi
sastra ini menjadi dua macam: Sastra Melayu dan Sastra Indonesia Modern, dengan
pemecahan Sastra Indonesa Modern ini menjadi beberapa fase, yaitu: angkatan
Balai Pustaka (angkatan 20), Pujangga Baru (angkatan 33), angkatan 45 dan
angkatan 66. Meski pada tulisan kali ini, penulis hanya akan menjelaskan secara
singkat sejarah Sastra Melayu dan mengerucutkannya pada proses perkembangan
puisi/prosa, serta pengenalan singkat tokoh-tokoh ternama saat itu.
B.
Kilas Singkat Sejarah
Sastra Melayu
Kebudayaan Melayu, sebagaimana kebudayaan Jawa,
memperoleh pengaruh yang sangat kuat dari India kira-kira semenjak abad ke-5 M
hingga abad ke-14 M. Namun pencapaian keduanya cenderung berbeda. Kebudayaan
Jawa telah menorehkan prestasi menonjol dalam bidang seni ukir seperti candi,
patung dan relief, sedangkan pencapaian terbesar kebudayaan Melayu terletak di
bidang kesusasteraan.
Braginsky dalam bukunya Yang Indah, Berfaedah dan
Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam abad 7-19, terjemahan Hersri Setiawan,
menyatakan bahwa dasar tradisi kebudayaan Melayu adalah sastra. Tentu saja hal
ini tidak berarti bahwa kebudaan Melayu tidak menghasilkan pencapaian di
bidang-bidang lainnya. Dasar tradisi Melayu ini (sastra, pen.), baru ada
semenjak abad ke-16, tertera pada sebuah manuskrip dengan aksara Jawi dan
menggunakan bahasa Melayu.
Ketika orang Melayu mulai mengenal agama Hindu dan
Buddha yang berasal dari India, mereka turut mengadopsi bahasa dan aksara yang
digunakan di dalam dua agama tersebut. Lantas mereka mengintegrasikannya dengan
bahasa asli, dan mulai menciptakan karya-karya tertulis berdasarkan
kaidah-kaidah yang terserap. Tujuan mulanya, tentu agar perasaan dan pikiran
mereka yang tercurahkan dalam karya bahasa, memiliki kemungkinan lebih besar
untuk kekal.
Namun, keberadaan
aksara, alat tulis serta kemahiran menulis saja tidak cukup. Karya-karya sastra
tertulis yang muncul pada masa integrasi Melayu dengan Hindu-Buddha sangat
sukar ditemukan, karena hampir tidak ada satu pun yan selamat, kecuali
karya-karya yang dituliskan pada material yang tidak rentan dengan perubahan
cuaca, seperti pada prasasti atau nisan. Bahkan menurut penulis, belum
diketemukan karya sastra Melayu pada kedua artefak itu.
Bisa jadi, melenyapnya karya-karya sastra dari masa
yang cukup jauh ini, sanggup dikorelasikan dengan hakikat sastra: baik dalam
bentuk maupun isinya, pasti mengandung nilai-nilai tertentu yang dianut,
diyakini dan diamalkan oleh masyarakat atau anggota masyarakat yang
menciptakannya. Karya-karya sastra pada masa pengaruh India tentu mengandung
nilai-nilai keagamaan dan norma-norma fundamental Hindu-Buddha yang sangat
lekat, sehingga ketika pengaruh Islam muncul, nilai-nilai tersebut musti disisihkan
dan digantikan oleh nilai-nilai Islam. Meski, Api Sejarah milik Ahmad
Mansur Suryanegara, sedikit kontroversial dengan data historik yang umum
ditemukan, mengatakan bahwa Islam sudah memasuki Indonesia jauh sebelum
Hindu-Buddha.
Harus ditekankan pula bahwa agama Hindu-Buddha
memmpunyai watak elitis, yakni pendalaman pengetahuan tentang kedua agama
tersebut hanya mampu dilakukan oleh kalangan tertentu, misalnya kelas brahmana
atau bhiksu (Marwati Djoened Pusponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia, Balai Pustaka Pendidikan dan Kebudayaan). Karakter elitis ini membuat Islam yang tidak membedakan kasta
(egaliter, pen.) memberikan kesempatan bagi siapa saja yang ingin mendalaminya
dan dapat diterima, juga tersebar luas di kalangan orang Melayu. Dengan
karakter egaliter pula, aksara jawi yang diperkenalakan oleh kebudayaan
Islam/Arab-Persia, mendapatkan dukungan penuh ketika mendesak karya-karya dan
aksara sebelumnya yang masih mengandung bentuk maupun nilai-nilai budaya yang
elitis.
Islam sebagai pemilah bagi dua zaman besar kesusasteraan Melayu yang berbeda, yaitu Sastra melayu Rendah dan Tinggi, memiliki peran dan alasan yang cukup kuat. Namun, pada dasarnya Islam adalah daya gerak yang telah mentransformasi seluruh kebudayaan Melayu, terutama kesusastraanya, menjadi gejala peradaban yang berkembang pesat dan menyebar luas. (Harun Mat Piah, Traditional Malay Literature, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Harry Aveling, Kuala Lumpur)
Setelah melewati fase peralihan dari pengaruh India ke
Islam (Masa Peralihan atau Masa transisi, pen.), kesusastraan Melayu pun
mencapai masa keemasannya. Zaman ini sering disebut sebagai Zaman Klasik. Pada
zaman ini pula, kesusastraan Melayu berkembang. Bukan hanya sebagai proyek yang
berhubungan dengan tradisi penulis (literer) tetapi merambah fungsi
praktis-religius, hingga alat transformasi keadaan sosial, politik dan ekonomi.
Mula-mula, para juru dakwah menggunakan aksara Jawi
untuk melancarkan pengajaran agama Islam kepada orang Melayu yang masih
dipengaruhi oleh agama dan kebudayaan dari India. Traktat-traktat keagamaan dan
pelbagai sarana dakwah lain, termasuk narasi dakwah melalui wadah literer,
ditulis dalam bahasa Melay dengan menggunakan aksara Jawi. Mau tidak mau, orang
Melayu dan etnis-etnis lain di kawasan Asia Tenggara lainnya yang ingin
menyelami religiusitas Islam harus menguasai bahasa Melayu dan aksara jawi.
Sehingga, sastra Melayu pada Zaman Klasik menurut Braginsky, adalah sastra
antaretnis. Nampak dalam pelbagai genre lain seperti undang-undang kenegaraan,
tata cara pemerintahan, wawasan pengetahuan tradisional, bahkan surat-surat
obligasi dan surat-surat resmi antar kerajaan Melayu, baik antar kerajaan
maupun dengan entitas luar.
Tetapi periodisasi kesusastraan Melayu ini tidak
menetapkan batas-batas pembagian yang jami’ dan mani’. Gejala
kesusastraan Melayu adalah gejala unik dalam kesusastraan dunia, karena
kategorisasi yang basanya diterapkan dengan cukup mudah terhadap sastra modern,
seringkali mengalamami kesulitan dalam merangkum khazanah mereka. Semisal, masa
pengaruh India tidak meninggalkan karya sastra tertulis, tetapi banyak anasir
sastrawinya terkandung di dalam karya-karya sastra yang dciptakan pada masa
pengaruh Islam.
Ambil contoh Hikayat Seri Rama, yang jelas
mengandung pengaruh teramat kental dari Ramayana, sebuah karya khas
India. Tetapi karya ini dijumpai sebagai karya sastra tertulis yang menggunakan
aksara Jawi dan berasal dari Zaman Klasik serta telah dimodifikasi sedemikian
rupa, sehinga menjadi sebuah karya yang bisa dikatakan ‘baru’. Sedangkan Sulalatu
al-Salatin, yang lebih terkenal dengna Sejarah Melayu, merupakan karya
tulis bertarikh 1612 M (ada juga yang mengatakan 1535 M), namun menjadi ikon
kesusastraan Melayu setelah ditransliterasi dan diterbitkan dengan alat
percetakan modern pada tahun 1800-an oleh Seyikh Abdullah bin Abdul Kadir
Munsyi. (Harun Mat Piah: 2002)
Demikian besarnya pengaruh Islam terhadap kebudayaan
dan kesusastraan melayu pada Zaman Klasik sehingga mempengaruhi semua
perkembangan sustrawi pada masa berikutnya, yakni setelah pengaruh Barat,
Tionghoa dan ketika kesadaran nasional serta kebangkitan kembali kebudayaan
lokal muncul. Meskipun, tentunya setiap masa juga memiliki karakteristiknya
masing-masing.
D. Sastra Melayu Tionghoa, Salah Satu Produk Turunan Kesustraan
Melayu
Istilah
sastra Melayu rendah atau sastra Melayu Tionghoa digunakan untuk menyebutkan
karya sastra dalam bahasa Melayu yang ditulis oleh peranakan Tionghoa. Kosakatanya
banyak dipengaruhi oleh bahasa sehari-hari alias bahasa pasar, khususnya
unsur-unsur bahasa Tionghoa. Oleh karena itu, bahasa tersebut sering dijuluki
dengan bahasa gado-gado atau capcai pada zamannya.
Melayu
Tionghoa juga sering disebut sastra Melayu Tionghoa peranakan. Mereka adalah
golongan peranakan yang lahir di Indonesia dan ikut menghasilkan, mendukung, juga
menikmati karya sastra Melayu. Mereka adalah masyarakat yang mengalami
keterpurukan budaya dan belum ada adaptasi budaya dan bahasa yang memadai. Di
samping itu, sampai akhir abad 19, pemerintah kolonial turut melarang bangsa
Tionghoa untuk belajar di sekolah Belanda.
Bahasa
Melayu rendah dilawankan dengan bahasa Melayu Tinggi, yaitu bahasa Melayu yang
digunakan di Semenanjung Melayu, dan digunakan dalam karya sastra Balai
Pustaka. Bahasa Melayu Tinggi dengan demikian identik dengan bahasa sastra
tinggi. Pemerintah kolonial memang antipati terhadap etnis Cina, demikian pula
terhadap bahasa dan sastra Tionghoa, dengan alasan bahwa masyarakat Tionghoa
menganut paham Marxis, beraliran kiri, agresif serta lebih banyak menolak
kebijakan pemerintah kolonial. Masyarakat Tionghoa juga ditempatkan pada daerah
tertentu dan sastranya dianggap sebagai bacaan liar.
Menurut
HB. Jassin, perdebatan tentang Melayu Tionghoa belum banyak. Pada umumnya
pembicaraan ini muncul dalam kaitanya dengan masalah angkatan. Seperti
diketahui, angkatan dalam sastra Indonesia modern dimulai dengan Balai Pustaka,
Pujangga Lama, dan seterusnya, seolah-olah ada keengganan para sarjana dalam
melibatkan angkatan Sastra Melayu Tionghoa, karena beberapa alasan:
1. 1. Sastra Melayu Tionghoa adalah
karya-karya yang secara khusus diapresiasikan di kalangan masyarakat Tionghoa
peranakan, jadi bukan bagian sastra Indonesia.
2. 2. Ketiadaan data untuk didiskusikan.
Padahal, Alisjahbana telah menyatakan bahwa bahasa melayu Tionghoa adalah
varian bahasa Melayu yang sudha tersebar luas di kepulauan Nusantara dan telah
mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia. Justru faktor ini semakin
menguntungkan kita, karena dengan mendapatkan pengaruh bahasa yang sangat
banyak, semakin menambah tinggi derajat bahasa Indonesia. (Sutan
Takdir Alisjahbana, Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan
Malaysia sebagai Bahasa Modern, 1957, pdf)
Seperti
yang diketahui, khazanah sastra Indonesia memiliki ciri khas yang unik yang
tidak mungkin dimiliki oleh bangsa lain. Dengan mengutip pendapat Ajib Rosidi, pengertian
modern dalam sastra Indonesia adalah semangat politis, bukan semata-mata zaman,
era, periode, dan perkembangan historis lainya. Karenanya, sastra Indonesia
modern pada dasarnya tidak mengenal istilah dan tidak bisa dilawankan dengan
sastra Indonesia lama sebab pengertian yang terakhir ini digantikan dengan
sastra-sastra daerah, yaitu keseluruhan sastra yang ada di wilayah Nusantara, termasuk
sastra Melayu itu sendiri. (Ajip Rosidi, Kapankah
Kesusasteraan Indonesia Lahir?, Haji Massagung, 1988)
Oleh
karena itu, bahasa Indonesia dalam pengertian modern meliputi tiga aspek:
1.
Ditulis dengan huruf latin dan
disebarkan secara luas dengan teknolog modern
2.
Mengunakan bahasa Indonesia atau pada
masa kolonialisme Melayu
3.
Menggunakan bentuk baru, karena
pengaruh sastra barat seperti: cerpen, novel, drama dan puisi.
Sastra
yang lahir sebelum abad ke-20 dianggap sebagai sastra daerah. Sastra Melayu
Tinggi dengan demikian mengalami keterputusan historis dan terpecah menjadi dua
kelompok, baik secara literer maupun kultural. Sebaliknya, sastra melayu
Tionghoa sejak awal pertumbuhannya hingga abad ke-20, masih tetap eksis. Bila
dikaitkan dengan penulisnya, sastra sebelum abad ke-20 dapat dibedakan menjadi:
1.
Karya sastra yang ditulis oleh
orang-orang non Tionghoa seperti penulis pribumi dan Belanda. Umumnya,
penulis-penulis tersebut adalah wartawan. Seperti F.D.J. Pangemanan, H.F.R.
Kommer, F. Winger, G. Francis, Mas Marco Kartodikromo dan R.M. Tirto Ardisoeryo.
2.
Karya sastra yang ditulis oleh orang
Tionghoa, diawali oleh Thio Tjien Boen, Gouw Peng Liang dan Oei Soei.
Pada tahun
1800-an, semenjak penerbitan semakin marak, terjadi perkembangan pesat dalam
bidang sastra Melayu Rendah. Jumlah cetak buku mereka menyamai, bahkan hampir
melebihi seluruh periode Balai Pustaka hingga tahun 2000-an. Jumlah buku yang
dihasilkan sebanyak 2.757 judul buku. Termasuk di dalamnya buku-buku anonim sekitar
248 judul, sehingga jumlah keseluruhan sekitar 3.005 judul. Dengan rincian 1398
novel dan cerpen alsi, 73 sandiwara, 183 syair, 233 terjemahan sastra Barat dan
759 terjemahan karya sastra dari bahasa Cina. (disadur
dari http://bagusprasetyo.blogspot.com/2008/10/sastra-melayu-sejarah-awal.html,
akses 21 Maret 2013).
Kekayaan
dan keberagaman sastra Melayu Tionghoa ini jauh melebihi Khazanah Balai
Pustaka. Demikian juga kekayaan yang terkandng didalamnya. Sastra Balai Pustaka
misalnya terbatas hanya menampilkan masalah kawin paksa. Sebaliknya sastra
Melayu Tionghoa tema-temanya sangat beragam, seperti politik, kritik sosial,
nasionalisme, dan yang paling penting antikolonial. Berbeda dengan sastra Balai
Pustaka yang terbatas bicara seperti hanya berbicara dalam kerangka regional
saja, sesuai dengan politik orientalisme, sedangkan sastra Melayu Tionghoa
menampilkan hubungan antarbangsa.
Meskipun
sebagian besar masyarakat Indonesia mengangap Balai Pustaka sebagai suatu
angkatan dalam periodisasi sastra yang diploklamasikan oleh H.B Jassin secara
umum. Tetapi yang mendominasi pengarang pada Balai Pustaka adalah para
pengarang dari periode sebelumnya. Seperti pendapat Sykorsky, pakar sastra
Indonesia dari institut Kesustraan Asia Timur, Moskow dalam ceramahnya di Pusat
Pengkajian Kebudayaan UGM, Yogyakarta (Jumat, 8/3, 1991). Menurutnya, karya
sastra tidak akan lahir melalui penerbitan (Balai Pustaka), dan dengan
sendirinya tidak lahir melalui lembaga kolonialisme. Harus ada cikal bakal, dan
faktor tersebut terdapat dalam fase Sastra melayu Tionghoa.
E.
Perkembangan
Bentuk Puisi dan Prosa pada Sastra Melayu
Pada ragam
karya sastra puisi, Sastra Melayu yang pertama berbentuk mantera, pantun,
syair. Kemudian, bermunculan pantun kilat (karmina), seloka, talibun, dan
gurindam. Sedangkan pada ragam karya sastra prosa, Sastra Melayu yang pertama
berbentuk cerita-cerita pelipur lara, dan dongeng-dongeng. Dongeng meliputi
legenda, sage, fabel, parabel, mite, dan cerita jenaka atau orang-orang
malang/pandir.Bahkan, ragam karya sastra melayu ada yang berbentuk hikayat,
tambo, cerita berbingkai, dan wiracarita (cerita panji). Pada cerita dongeng
sering isinya mengenai cerita kerajaan (istanasentris) dan fantastis.
Kadang-kadang cerita tersebut di luar jangkuan akal manusia (pralogis).
Sebelum
masyarakat Melayu mengenal tulisan, karya-karya sastra tersebut disampaikan secara
lisan kurang lebih tahun 1500. Penyebarannya hanya dari mulut ke mulut dan
bersifat statis. Namun, setelah masyarakat Melayu mengenal tulisan, karya-karya
tersebut mulai dituliskan oleh para ahli sastra masa itu tanpa menyebut
pengarangnya dan tanggal penulisannya (anonim).
Sastra Melayu
sangat dipengaruhi oleh sastra Islam sehingga banyak terdapat kata-kata yang
sukar karena jarang didengar. Alat penyampainya adalah bahasa Arab-Melayu
dengan huruf Arab gundul sehingga sering menimbulkan bahasa yang klise. Di sisi
lain, karya-karya sastra yang dihasilkan selalu berisikan hal-hal yang bersifat
moral, pendidikan, nasihat, adat-istiadat, dan ajaran-ajaran agama. Cara
penulisannya pun terkungkung kuat oleh aturan-aturan klasik, terutama puisi.
Aturan-aturan itu meliputi masalah irama, ritme, persajakan atau rima yang
teratur. (Hans Bague Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei, Jakarta: Gunung Agung, 1954 –
1967. Dituang pula dalam sebuah ringkasan cukup sistematis dalam http://ilmuwanmuda.wordpress.com/perkembangan-berbagai-bentuk-sastra-indonesia/.)
Berikut
kutipan karya sastra Melayu:
(1). Tatkala pada zaman Raja
Iskandar Zulkarnain, anak Raja Darab, Rum bangsanya, Makaduniah nama negerinya.
Berjalan hendak melihat matahari terbit, maka baginda sampai pada sarhad negeri
Hindi. Maka ada seorang raja terlalu amat besar kerajaannya. Setengah negeri
Hindi dalam tangannya, Raja Kidi Hindi namanya.
Kutipan cerita
tersebut merupakan ragam karya sastra Melayu bidang prosa, khususnya bentuk
hikayat.
(2). Sungguh elok asam belimbing
Tumbuh dekat limau lungga
Sungguh elok berbibir sumbing
Walaupun marah tertawa juga
Kutipan di
atas termasuk salah satu contoh ragam karya sastra Melayu bidang puisi,
khususnya bentuk pantun anak-anak jenaka.
F.
Tokoh-tokoh Berpengaruh dalam Kesusastraan Melayu
Rasanya tidak cukup
mengulas sejarah sastra Melayu tanpa membahas tokoh-tokoh ternama pada saat
itu, yang karya-karyanya cukup mempengaruhi perkembangan sastra pada masa-masa
selanjutnya. Tidak hanya dunia sastra saja, mereka turut mempengaruhi tata
bahasa Indonesia dengan buku-buku ensiklopedi ataupun kamus yang mereka
rancang. Ataupun dengan karya-karya sastra lain yang turut mewarnai situasi
politik saat itu.
Beberapa tokoh yang
mengukir sejarah pada masa itu, adalah:
1.
Raja Ali Haji
Karena pentingnya bahasa Melayu dalam skema konsolidasi kolonial,
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda bersikap lunak, dan bahkan menyokong secara
penuh semua aktivitas literer Raja Ali Haji (1804-1872) di Pulau Penyengat,
pusat kerajaan Riau-Lingga, melalui seorang utusan yang bernama H. Van Eysinga.
Raja Ali Haji membina bahasa Melayu
dengan membuat sebuah buku tata bahasa Melayu yang berjudul Bustan al-Katibin,
terbit pada 1857. Buku ini kemudian disusul oleh semacam kamus yang mirip
ensiklopedi dengan judul Pengetahuan Bahasa pada 1859. Dengan kitab tata
bahasa dan kamus itu, para pemakai bahasa Melayu, baik Bumiputera maupun
kolonial, mendapat panduan untuk memakai bahasa Melayu yang baik. Selain
karya-karya kebahasaan Melayu, Raja Ali Haji juga menciptakan karya-karya
sastra lain. Yang paling terkenal tentu saja Gurindam Dua Belas, (1847).
Selain itu, Raja Ali Haji juga menulis Silsilah Melayu dan Bugis (1861),
Tuhfat Al-Nafis (1866) dan lain-lain.
2.
Abdullah
bin Abdul Kadir Munsyi
Abdullah bin
Abdul Kadir Munsyi (1797-1854) mengawali karir kepenulisan sebagai pembantu
bagi ayahnya, yang membantu Marsden menyusun A History of Sumatra.
Abdullah juga mengumpulkan naskah-naskah lama dari Lingga, Riau, Pahang,
Trengganu, dan Kelantan. Menurut Piah, sebagian besar dari manuskrip yang ada
dalam koleksi Library of Royal Asiatic Society of London dan koleksi lengkap di
American Library of Congress berasal dari tangan Abdullah. Sepanjang hidupnya,
Abdullah meniti karir sebagai guru bahasa dan juru bahasa untuk para sarjana
Barat dan misionaris Kristen. Karya Abdullah yang paling terkenal tentu saja Hikayat
Abdullah (1849) yang merupakan riwayat hidupnya sendiri dan diterbitkan di
Singapura. Karya-karyanya yang lain adalah Kisah Pelayaran Abdullah Sampai
ke Negeri Kelantan (1838), Syair Singapura Dimakan Api (1843), Cerita
Kapal Asap (1843), Syair Kampung Gelam /Terbakar (1847).
Selain itu,
Abdullah juga terlibat dalam kerja kolaboratif dengan para misionaris seperti
Thomsen, North, dan Krasberry. Para sarjana kolonial memberikan tanggapan yang
positif dan bertendens terhadap kerja-kerja literer, dan memandang karya-karya
Abdullah terutama dengan pendekatan sejarah. Selain itu, dalam isinya pun
Abdullah telah berani mengupas masalah sosial dan kehidupan sehari-hari, dan
bahkan melontarkan kritik yang sangat pedas terhadap adat istiadat yang berlaku
pada waktu itu. Walaupun memperoleh berbagai tanggapan bernada positif, namun
Amin Sweeney (2005) menerangkan bahwa posisi Abdullah yang kokoh dalam sejarah
sastra Melayu tersebut adalah tendens yang didukung oleh penguasa kolonial pada
masa Abdullah hidup. Begitu juga, nilai yang terkandung dalam karya-karya
Abdullah, sebenarnya telah disunting oleh para penyunting karya-karyanya yang
merupakan misionaris Kristen dan membawa agenda-agenda budaya dan politik
Barat.
Jadi, tidak aneh
jika karya-karya Abdullah (yang telah disunting) terbit dalam media seperti Cermin
Mata di Singapura yang dikelola oleh misionaris Protestan. Naguib Al-Attas
bahkan menyatakan bahwa peranan pelopor modernisasi kesusastraan Melayu
seharusnya ditarik lebih jauh lagi kepada Hamzah Fansuri, bukan Abdullah.
Pendapat Al-Attas dilandasi argumen bahwa Abdullah mengambil teladan kebahasaan
dari Sejarah Melayu, padahal bahasa dalam karya teladan itu adalah
bahasa yang membayangkan pandangan hidup lampau yang dipengaruhi konsep-konsep
Animisme-Hindu-Buddha. (Naguib
Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, cetakan keempat,
Mizan, Bandung).
3.
Multatuli
Seiring dengan
giatnya pemerintah kolonial dalam mengembangkan bahasa Melayu, bangsa Barat
juga mengembangkan kesusastraannya sendiri dengan menggunakan medium
bahasa-bahasa Barat namun mengambil inspirasi dan tema dari dunia Melayu.
Hasil-hasil kesusastraan bangsa Barat semacam ini meninggalkan pengaruh yang
besar pada masyarakat jajahan, dan salah satu di antaranya bahkan sanggup
menentukan arah politik kolonial Belanda. Multatuli menulis roman Max
Havelaar yang ditulis dalam bahasa Belanda dan berkisah tentang kehidupan
rakyat jajahan di Banten yang menderita di bawah birokrasi kolonial selama masa
Tanam Paksa.
Roman ini
diajarkan di sekolah-sekolah negeri pada masa kolonial, dan bahkan tetap
diajarkan juga setelah Indonesia merdeka, terutama dalam pelajaran sejarah.
Roman ini dianggap sanggup membuka mata politisi di Negeri Belanda akan
kebobrokan administrasi pemerintahan di Hindia Belanda sehingga rakyat petani
Indonesia menderita. Karena pengaruh buku ini, maka sistem Tanam Paksa kemudian
diganti dengan sistem liberal yang menyerahkan kekuasaan ekonomi kepada pihak
swasta di Hindia Belanda. Walhasil, roman ini kemudian berkembang menjadi
semacam mitos tentang kedigdayaan karya sastra dalam mengubah arah politik
suatu pemerintahan. (Dikutip
dari http://melayuonline.com/ind/literature/dig/2490/latar-belakang-sejarah-kesusastraan-melayu-masa-pengaruh-kolonial, akses 21 Maret 2013. Lihat juga
James T. Collins, Bahasa Melayu, Bahasa dunia, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2005). Peru diketahui, R.A. Kartini, salah satu pahlawan nasional yang terkenal sebagai pelopor gerakan feminisme itu juga terinspisi dari karya ini.
G.
Penutup
Tidak diragukan lagi,
peran sastra Melayu dalam perkembangan bahasa dan kesusasteraan Indonesia
sangat signifikan. Perbendaharaan kata yang kita temukan saat ini, tentu tidak
lepas dari peran akulturasi kebudayaan pada masa Hindu-Buddha hingga Masa
Transisi, sehingga menjadikan sebuah bahasa yang kaya akan nilai dan estetika:
Bahasa Indonesia.
Hal lain yang perlu
digarisbawahi, bahwa karya-karya sastrawan pada saat itu tidak melulu berputar
pada roman picisan ataupun karya-karya teenlit seperti yang sering kita
temui di banyak pasaran saat ini. Mereka berani mengambil langkah kritis dalam
rangka merubah paradigma rakyat, sehingga karya-karya mereka selalu lekang
dibaca sebagai titisan sejarah, serta mampu mewarnai situasi politik negara.
Padahal, mengaca pada masa kolonialisme saat karya-karya mereka dilahirkan,
dengan pelbagai peraturan otoriter dan kehendak pemerintah kolonial yang lalim,
seyogyanya mematikan perasaan mereka sebagai sastrawan. Tetapi tidak. dengan
keadaan serba genting tersebut, mereka jutru mampu menghadirkan karya-karya
pengukir sejarah.
Maka, kita sebagai
calon generasi sastrawan muda, jangan sampai terbuai oleh keadaan yang
melenakan. Kondisi sosial pada zaman ini tidak sepolemik yang terjadi pada masa
lampau, tetapi seringkali kita terjebak pada keadaan serba tenang ini dan
terbawa arus. Apa harus situasi perang seperti yang terjadi pada masa kolonial,
dihadirkan kembali untuk menghidupkan kembali suasana melankolia dan
membangkitkan gairah kepenulisan kita yang terkubur?
0 comments:
Post a Comment