.avatar-image-container img { background: url(http://l.yimg.com/static.widgets.yahoo.com/153/images/icons/help.png) no-repeat; width: 35px; height: 35px; }

"Memento Mori"

What is the PRECIOUS thing you TREASURE most in your LIFE?

"Memento Mori" means:

Remember you are mortal...

Vita brevis breviter in brevi finietur,
Mors venit velociter quae neminem veretur,
Omnia mors perimit et nulli miseretur,

Ad mortem festinamus peccare desistamus.


Setiap penyayang kucing yang lewat di depan Pet Shop dan melihat ada binatang lucu nan menggemaskan, pasti hatinya akan tergugah. Meski kucing tidak disebutkan di dalam al-Qur’an, hewan mungil itu memiliki keistimewaan tersendiri dalam Islam, bahkan Rasulullah SAW dikisahkan memiliki seekor kucing yang diberi nama Muezza. Saking sayangnya dengan gumpalan berbulu satu ini, nabi SAW sampai memotong lengan jubahnya yang dipakai tidur oleh Muezza saat beliau hendak pergi ke masjid. Nabi SAW lebih memilih untuk memotong lengan jubahnya daripada membangunkan kucing kesayangannya.

Jual beli hewan ternak itu mubah, kita bisa menemukan banyak dalil dalam Kitab atau Sunnah, ulama juga telah sepakat. Manusia bisa memanfaatkan hewan ternak untuk bercocok tanam, memakan daging dan meminum susunya, tetapi kucing adalah hewan rumahan. Berbeda dengan anjing penjaga yang berfungsi menjaga rumah atau melacak bau, atau burung bersuara indah yang bisa menghibur manusia dengan kicauan merdunya, kucing seolah-olah tidak memiliki manfaat kecuali memang ras Feline terkenal sebagai predator ulung. Beberapa ulama dari golongan tertentu mengatakan lebih baik beli hewan ternak daripada kucing, hewan ternak jelas bermanfaat, kucing tidak berguna. Lantas sebenarnya bagaimana hukum jual beli kucing?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, permasalahan tersebut harus dikaji dari pelbagai aspek, mulai dari hukum jual beli, syarat benda yang bisa diperjualbelikan, sifat kucing itu sendiri, membandingkan semua faktor, baru setelah itu kita bisa menarik kesimpulan.

Semua jual beli yang tidak berkaitan dengan riba hukumnya boleh, seperti yang tertera dalam QS Al-Baqarah ayat 275. Hukum jual beli diperjelas kembali di dalam QS An-Nisa ayat 29, jual beli apapun selain yang berkaitan dengan riba dan tidak dilarang syariat, hukumnya boleh. Imam Asy-Syafi’ menjelaskan dalam magnum opus-nya di Al-Umm dalam menjelaskan ayat 29 surat An-Nisa di atas, “Hukum asli jual beli itu boleh terutama jika pembeli dan penjual sama-sama sepakat, kecuali apa-apa yang telah dilarang oleh Rasulullah SAW dan yang semacamnya. Tetapi jika Rasulullah SAW tidak melarang dan membiarkan, maka tidak apa-apa.”

Ada lima syarat barang yang boleh diperjualbelikan menurut syariat, yaitu: barangnya berwujud, bersih atau suci, bermanfaat, barang adalah milik penjual dan memungkinkan penyerahan barang baik secara fisik atau tertulis dari penjual ke pembeli. Jual beli sesuatu yang tidak bermanfaat jelas tidak sah hukumnya, seperti jual beli minuman keras atau togel. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 219:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

Sedangkan hukum jual beli bagi hewan yang bersih dan bermanfaat itu jelas mubah, seperti yang tertulis dalam surat Luqman ayat 20 dan Al-Jatsiyah ayat 13. Begitu juga jual beli hewan yang bersifat menghibur seperti burung, ikan hias, dll. Allah SWT menyinggung hal tersebut dua kali, dalam QS Al-Nahl ayat 8 dan 14.

Imam Al-Rafi’i menjelaskan dalam kitabnya Fathu al-Aziz, “Boleh melakukan jual beli hewan yang memiliki manfaat, seperti: kuda dan keledai yang bisa ditunggangi, atau burung pipit, merak, anak kucing dan monyet. Kita bisa terhibur bahkan kita bisa belajar dari mereka.”

Menurut mazhab Syafi’i bulu dan air liur anjing najis hukumnya, sehingga seorang Muslim yang menyentuh atau terkena jilatan anjing harus mencuci tujuh kali salah satunya dengan mengusap tanah. Sedangkan kucing domestik alias kucing rumahan, bulu dan air liurnya tidak najis, berdasarkan hadits hasan sahih yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi: إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ. Rasulullah SAW dengan tegas menyebut kucing tidak najis, senada dengan mayoritas ulama dari golongan Sahabat, Tabi’in dan diikuti seluruh imam dari empat madzhab.

Kita juga pasti pernah mendengar hadits tentang seorang wanita yang masuk neraka gegara menyiksa kucing. Bukan berarti wanita tersebut masuk neraka lantaran memelihara kucing, karena memelihara burung dalam sangkar saja boleh hukumnya. Wanita keji tersebut dijebloskan ke neraka gara-gara dia memelihara kucing, kemudian mengurung dan tidak memberinya makan.

Sedangkan alasan beberapa ulama mengharamkan jual beli kucing berdasarkan hadits:

عن أبي الزبير رضي الله عنه قال: "سَأَلْتُ جَابِرًا عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ. قَالَ: زَجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآله وسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ

Diriwayatkan dari Abu Zubair r.a., dia bertanya kepada Jabir r.a. tentang hukum jual beli anjing dan al-Sinnur. Jabir r.a. menjawab, Rasulullah SAW melarang keras jual beli untuk dua hal tersebut.

As-Sinnur dalam hadits di atas bermakna kucing. Salah satu pendapat Maliki menyatakan hukum jual beli kucing itu makruh berdasarkan hadits tersebut. Dzahiriyah malah menyatakan haram hukumnya jual beli kucing karena lafaz زجر adalah bentuk larangan paling keras.

Mayoritas ulama justru berpendapat sebaliknya. Lafaz as-Sinnur bermakna kucing liar alias kucing hutan. Berbeda dengan Dzahiriyah yang memukul rata semua kucing baik kucing hutan atau kucing rumahan sama haramnya untuk diperjualbelikan, mayoritas ulama berpendapat hanya kucing hutan atan kucing gunung saja yang tidak berguna untuk dipelihara. Sesuatu yang tidak bermanfaat tentu tidak sah diperjualbelikan secara syar’i.

Jumhur ulama juga berpendapat bahwa larangan dalam hadits di atas karena secara umum binatang buas itu najis, dan kucing hutan digolongkan sebagai الوحشي  alias binatang buas. Di dalam Al-Mughni al-Muhtaj juga disebutkan, meski jual beli kucing tidak dilarang secara mutlak, sangat dianjurkan untuk tidak menjual kucing tetapi memberikan kepada orang lain karena begitulah ‘urf (tradisi) yang berlaku. Imam Asy-Syarbini masih dalam Al-Mughni juga menambahkan, larangan dalam hadits di atas jika kucing yang dimaksud bukan milik penjual atau tidak mendatangkan manfaat bagi pembeli.

Sedangkan Syeikh ‘Ali Jumah juga pernah menjelaskan, jika karena suatu hal kita tidak bisa membiarkan kucing di rumah dan tidak terlalu membutuhkan uang, lebih baik jika memberikan kucing tersebut kepada orang lain tanpa minta bayaran. Meski jual beli kucing secara syar’i diperbolehkan, lebih baik mengikuti tradisi yang ada.

Team Anti Wildlife Crime (TAWC) yang bergerak dalam bidang penegakan hukum terhadap kriminalisasi binatang liar, diikuti Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di Indonesia juga mengamini pendapat tersebut. Mereka menindak tegas beberapa warga lokal di daerah Kalimantan Barat menangkapi kucing hutan untuk dijual. Padahal kucing hutan itu instingnya untuk hidup di alam liar, bukan jadi binatang peliharaan. Seekor hewan yang terbiasa hidup di alam bebas kemudian merasakan bagaimana sempitnya tinggal di dalam rumah dan kehilangan area berburu, bukan cuma kehilangan insting, bisa jadi mereka juga kehilangan kewarasannya. Makanya perdagangan hewan liar, seimut-imutnya mereka dan selicik-liciknya pembeli berkilah, secara hukum tidak boleh. Syariat mengakui hukum seperti ini sebagai sumber hukum dan mengadopsikannya ke banyak kaedah fikih. 

Yang jelas jual beli kucing bukan haram karena tidak bermanfaat atau lebih baik punya hewan ternak dibandingkan kucing seperti perkataan beberapa ulama yang viral di YouTube. Kucing bisa digunakan untuk menjaga rumah dari serangan tikus. Selain itu, bagaimana kita merawat peliharaan kita dengan kasih saying dan perasaan bahagia yang muncul atas tingkah laku gumpalan bulu yang menggemaskan tersebut adalah bukti syukur terhadap ciptaan Allah SWT.

﴿ذَلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ ۞ الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ﴾ [السجدة: 6-7]

Tulisan ini juga pernah dimuat di SanadMedia.

Habib Ali al-Jifri pernah memuji ketegaran Syeikh Ramadhan al-Bouthy dalam majlis di Sahah Raudlatun Na’im tiga tahun silam: dulu saat pergolakan konflik Timur Tengah belum terlalu banyak menumpahkan darah, para penguasa, ulama dan tokoh kondang lain sering berkumpul di sebuah even internasional seperti muktamar, dan yang semacam.

Habib Ali al-Jifri menyampaikan, pada saat itu hanya Syeikh al-Bouthy yang tidak merendahkan diri dan ilmunya di hadapan penguasa, sedangkan pada saat itu banyak sekali yang menundukkan diri terlampau rendah, seolah menjilat. Lagi-lagi Habib Ali memuji, Syeikh al-Bouthy sama tidak pernah takut untuk kehilangan muka dan menyampaikan kebenaran, bahkan tidak pernah merasa harus mencari muka.

Belum satu dekade usai meninggalnya alim kabir ini, dunia Islam kembali berkabung. Syeikh Muhammad Adnan al-Afyouni, seorang alim yang tidak kalah kabir dan namanya tidak lagi asing di dunia cendekiawan muslim, meninggal dunia dengan modus yang sama. Dibom. Padahal beliau yang mengajukan Habib Muhammad Luthfi bin Aly bin Yahya sebagai pemimpin Forum Ulama Sufi Sedunia atau Al Muntada' Sufi Al 'Alami tempo hari. 

Sebagai mufti Damaskus yang akrab dengan para habaib Ibu Pertiwi, tidak usah ditanya berapa jumlah pengikutnya. Saya pribadi lebih nyaman menggunakan istilah santri, maka tidak terhitung lagi berapa banyak jumlah santrinya. Setelah mengetahui jika almarhum meninggal karena dibunuh, apakah kita dan santrinya yang lain sanggup mengikhlaskan atau malah turut melaknat si pelaku, secara pribadi saya berdoa jika pelakunya tertangkap, bisa mendapat hidayah dan bertaubat.

Memang dari dulu, bahkan di Indonesia sendiri, para ulama sering sekali menjadi sasaran. Banyak bukti lapangan yang menunjuk, bisa saja pelakunya pemerintah atau suruhan, tapi tentu bukti konkrit tidak bakal terungkap sampai pemerintah yang berkuasa, terguling atau turun sendiri dari kursi. Naasnya, jika ternyata pelaku ini bukanlah orang suruhan pemerintah, melainkan korban dari paham ideologi yang salah. Jika benar begitu, apakah istilah kriminal pantas disematkan kepada pelaku? Benarkah seorang kriminal selalu berdarah dingin, tertawa culas dan menyeringai, tatapannya dingin dan selalu menyendiri seperti yang banyak kita lihat di film-film misteri, komik dan yang lainnya?

Motif kriminal seseorang berasal dari pelbagai macam faktor, baik genetik, lingkungan atau tradisi, yang kemudian membentuk pemikiran seseorang untuk melegalkan segala tingkah laku untuk mengakui eksistensinya. Bahkan tidak jarang beralih jadi psikopat tanpa disadari dan membunuh empatinya.

Jika empati seseorang sudah hilang, dia akan susah mengekspresikan emosinya. Dia bisa menjalin relasi dengan orang-orang di sekitarnya hanya dengan mengenakan topeng. Senyum, sedih, senang, dia sesuaikan dengan logika, bukan berasal dari hati. Osamu Dazai menjelaskan sifat ini dengan apik, detil dan sangat piawai di karakter utama dalam magnum opusnya, No Longer Human, yang menyabet nobel di tahun 1948.  Relasi yang dibangun oleh seseorang yang kehilangan empati dan mengenakan topeng terus-menerus pasti cepat runtuh, karena dibangun di atas kepalsuan. Jadinya bukan relasi baik yang tercipta tapi relasi yang bagaikan waduk bocor, tinggal tunggu waktu sampai ambrol.

Robert Waldinger menjelaskan salah satu penelitian dari Universitas Harvard di sebuah riset bertajuk The Longest Study on Happiness, jika seseorang tidak lagi mampu menjalin relasi yang baik dengan orang-orang di sekitarnya, dia tidak akan merasa bahagia. Seseorang yang kehilangan empati tidak mudah beremosi, entah marah, sedih, apalagi bahagia. Maka dia akan melakukan berbagai cara agar bahagia, terlebih cara yang ekstrim seperti membunuh dan lain sebagainya. Orang yang sering membaca atau menyaksikan berita kriminal, pasti mengerti, mereka menemukan kepuasan dalam membunuh. 

Pernah ada riset, saat mereka diwawancarai, ada gurat samar yang tersirat di bibir setiap pelaku terutama di pertanyaan, “Bagaimana perasaan Anda setelah membunuh korban?” Mereka tidak langsung menjawab, tapi ekspresi mikro yang muncul di bibir mereka mengisyaratkan satu emosi yang sangat diakui dalam psikologi praktis: mereka merasa bersalah.

Saya yakin, pelaku pengeboman almarhum Syeikh Ramadlan al-Bouthy dan Syeikh Adnan al-Afyouni, jika tertangkap dan diinterogasi, tentunya dia akan merasa bersalah. Kita tidak tahu apakah itu ulah pemerintah, penduduk sipil atau malah sesama saudara muslim, tapi jika terbukti opsi ketiga sebagai dalang, sungguh sangat kasihan sekali. Motif yang berangkat dari kesalahpemahaman doktrin, meracuni otak dan akhlak sehingga bisa mencelakai bahkan membunuh sesama Muslim yang lain, akar dari penyakit jiwa ini semua berasal dari hati.

Imam al-Ghazali menjelaskan dalam Ihya ‘Ulumiddin, kesalahan berlogika yang berpengaruh kepada akhlaq dan tingkah laku, semua berasal dari dlomir (nurani). Nurani seseorang berbeda-beda, karenanya tingkatan ihsan dan takwa seorang Muslim juga berbeda antara satu dengan yang lain, bahkan kadar pemahaman al-amr bin la’ruf wa an-nahyu ‘an al-munkar juga bisa berbeda tergantung ilmu, kemampuan nalar, kemampuan berempati dan lingkungannya. 

Seseorang yang salah paham akan suatu bacaan atau wacana tidak akan gegabah bertindak sembrono atau berlaku ekstrim, tetapi jika ternyata didukung oleh kerabatnya, gurunya, keluarganya, nurani yang semula menyangkal untuk berbuat keji lambat laun akan pasrah dan takluk. Dia akan kehilangan empati sehingga susah bertoleransi. Dia juga bakal kebingungan membedakan mana yang baik dan buruk, bahkan perkara qath’i seperti membunuh tetap dilakukan.

Seseorang yang dlomirnya terkikis atau bahkan mati, jiwanya bakal sakit. Jiwa yang sakit akan berpengaruh ke akal dan tingkah laku. Seperti yang dijelaskan di atas, saat nurani sudah mati, seseorang pasti akan berkilah saat melakukan sesuatu, enggan mengakui kesalahan dan berusaha menjustifikasi segala perbuatannya sebagai kebenaran. 

Muhammad Utsman Najati, seorang dosen psikologi di Universitas Kairo dan Universitas Kuwait dalam bukunya al-Qur’an wa ‘Ilm an-Nafs menjelaskan, karena nurani yang rusak menyebabkan jiwa yang sakit, alih-alih berbuat baik dengan menjauhi maksiat, seorang Muslim bisa bertendensi untuk menyerang sana-sini baik verbal atau fisik, kemudian berteriak lantang jika apa yang dia lakukan tujuannya mulia. Padahal detik pertama ketika dia bersikap A, dan itu salah, kemudian menjustifikasi jika itu benar, padahal sudah diingatkan dan tetap ngeyel bukan main, itulah hipokrit. 

Syeikh Imam al-Ghazali r.a. sendiri tidak menyebut mereka sebagai munafik, karena jika munafik berasal dari penyakit hati, bagaimana bisa jiwa seseorang sakit padahal dia tidak tahu dirinya sakit? 

Beliau menjelaskan panjang lebar dalam kitabnya Ma’arij al-Quds fi Madariji Ma’rifati an-Nas, di bab Relevansi Ilmu dengan Hati, hati yang baik menuntut akal untuk selalu bersibuk diri dengan ilmu. Dengan unik, dia menjelaskan, cermin tidak mampu merefleksikan bayangan suatu benda jika pantulan cahaya dari benda ke cermin tidak terang atau bahkan gelap. Jika cermin adalah jasad, maka benda yang akan direfleksikan adalah hati nurani dan cahaya agar hati bisa terefleksikan dalam cermin, itulah ilmu. Maka orang-orang yang masih salah kaprah dalam memahami Islam, mereka bukan munafik, tapi lebih pantas digolongkan sebagai المعتوه alias idiot.

Lantas bagaimana cara menjaga dlomir alias nurani agar senantiasa bersih? Jika tubuh perlu berolahraga untuk menjaga kebugaran, hati nurani juga perlu berolahraga dengan riyadloh-nya. Riyadloh ini macam-macam bentuknya, makanya tidak heran jika ulama-ulama terdahulu atau kyai-kyai kita sering melakukan amalan tertentu, semua itu dilakukan sebagai upaya untuk olahraga hati. Tentunya dengan tidak melupakan ibadah wajib dan menjauhkan diri dari maksiat. 

Ciri seorang alim adalah bukan selalu memperbanyak ibadah, percuma gali lubang tutup lubang jika ibadah yang ada malah tertutup dengan dosa. Ciri seorang alim yang juga bersih nuraninya, yaitu tidak mewajibkan sesuatu yang tidak wajib, dan selalu berkata benar meski itu pahit. Seorang alim juga tidak boleh cari muka, tetapi seperti harus berani saat dibutuhkan. Sifat-sifat tersebut mampu kita temukan dalam sosok almarhum Syeikh Ramadlan al-Bouthy dan Syeikh Adnan al-Afyouni. Jangan ditanya bagaimana tirakat mereka, para ulama lain dan para santri yang sering ngaji atau membaca beragam kitab karya kedua almarhum pasti turut bersaksi. 

Untuk membersihkan hati dengan banyak mengkaji ilmuNya dengan benar dan tidak sesumbar, serta senantiasa menjaga kesuciannya dari berdosa. Dua cara efektif yang mampu mencegah seorang Muslim agar tidak terjerumus ke lubang kriminal dan mencegah terciptanya teroris-teroris lain, wal ‘iyadz billah.

* - Tulisan berjudul sama pernah tayang di situs SanadMedia dengan gubahan seperlunya.

 

Ketika melihat story WA seorang adik kelas, spontan saya iseng tanya, kenapa kok tidak mengajak mabar Among Us padahal saya juga doyan main? Dia menjawab, mereka main larut malam. Oh pantas, tentu saja saya tidak bisa ikutan. Untuk apa menyiksa diri begadang padahal paham jika tidur larut itu merusak kesehatan? 

Obrolan merembet ke perbincangan betapa mudah sebuah klub atau komunitas yang tidak terdiri dari para profesional menerbitkan sebuah sertifikat padahal hanya untuk acara biasa, dengan muatan materi yang biasa juga dan dengan pemateri yang malah kelewat terlalu biasa. Sialnya, manusia hanya bisa melihat yang zahir. Bahkan kebanyakan bukan hanya bisa, tapi hanya mau. Jadi mereka berpikir semakin banyak sertifikat di tangan, terlepas sertifikat tersebut bergengsi atau tidak, diterbitkan oleh sebuah instansi masyhur atau tidak, maka semakin mudah bergaya dalam menampilkan atribut kekerenan diri entah dalam medsos atau dalam hal lain. Yang jelas dalam melamar pekerjaan atau perkuliahan, mereka mengacuhkan sertifikat kecuali yang diterbitkan berlisensi.

Kembali ke perbincangan tadi, saya iseng lagi meminta seorang adik kelas untuk bertanya kepada orang-orang yang dengan sembarangan menerbitkan sertifikat abal-abal tersebut. Dia menolak halus, katanya malu karena itu temannya. Justru saya tegur, teman yang baik harusnya saling mengingatkan, bukan malu atau risih untuk menegur jika ada salah. Dia cengengesan.

Saya jadi teringat perkataan Imam Ghazali r.a. dalam bukunya Bidayatul Hidayah, persaudaraan itu ada tiga: persaudaraan untuk akhirat dan pertimbangan agama yang selalu jadi prioritas, saudara untuk dunia dan bisa mengingatkan dalam hal adab dan etika, dan terakhir adalah persaudaraan yang dibangun hanya untuk berleha-leha, yang kita harus dengan cerdas menghindar dari siasat dan makarnya. 

Memang perkawanan antar muslim itu pantas disebut sebagai persaudaraan. Persaudaraan seagama. Seperti dalam dunia persilatan juga ada saudara seperguruan. Jika sesama perguruan saja saling melindungi, apalagi dalam ikatan keagamaan. Makanya banyak sekali hadits yang mengajarkan untuk tidak saling menebarkan aib sesama saudara misalkan, atau bagaimana sebuah perbedaan itu adalah rahmat dan kita harus menyikapinya dengan bijak, meski dalam kaedah Fikih disebutkan pula bahwa menjaga persatuan yang ada kepada awam lebih baik daripada mengajarkan perbedaan. Tentu karena sikap dan reaksi orang berbeda-beda dan dalam mengajari orang awam lebih baik kita selalu menekankan persatuan atau yang sudah masyhur agar tidak menjadi bahan perselisihan.

Sebenarnya adik kelas saya ini cerdas dan bisa saja menjelaskan kepada kawan-kawannya yang tamak gelar itu agar selalu ingat, di atas langit masih ada langit dan untuk tidak menjadi katak dalam tempurung. 

Saya sengaja menulis tamak gelar, karena untuk manusia berkepala dua ke atas yang masih salah mengambil keputusan, saya kira bukan julukan naif saja yang cocok disematkan. Nah adik kelas saya ini rupanya lebih memilih untuk menahan diri, dan dia menyebutkan sebuah alasan yang saya hormati. Dia tidak mau juga dipanggil orang yang suka ikut campur urusan orang lain, disebut sok alim atau merasa ilmunya terlalu tinggi sehingga hobinya jadi suka menyalahkan. Saya hormati jawaban tersebut, meski dalam hati saya bertanya-tanya: seberapa jauh batasan menasehati, menegur atau mengingatkan sehingga disebut ikut campur?

Paham demokrasi mengajarkan kebebasan berpendapat, yang jika dilihat dari satu sisi memiliki nilai positif dalam kesamarataan hak dan keadilan, tapi di sisi lain kita bisa santai berpendapat dengan dalih hak asasi dan menyerang sana-sini kecuali untuk beberapa kasus yang sudah diikat hukum. Meski apalah arti hukum positif di tangan pelaku hukum berlidah ular. 

Maka jika berkaca ke demokrasi, tidak ada salahnya mengkritik selama masih dalam ranah toleransi. Kita juga pasti sering sekali dalam sholat fardlu atau nafilah membaca surat al-Ikhlas, dan tentu makna saling menasehati dalam hak dan kesabaran itu seharusnya sudah melekat dalam otak, hanya meresap dalam jiwa dan terlaku dalam amal atau belum, itu pertanyaan. Apalagi saat berhadapan dengan dilema, kita mengerti ada yang salah. Seseorang bersalah, menurut kita, tetapi kita ragu ingin menegurnya. Tentu karena kita banyak belajar dari kisah para sufi dan ulama terdahulu, sering sekali mereka menyimpan sebuah amalan dan menampilkan yang lain. Sering sekali orang-orang salah kaprah kepada mereka dan kadung menyematkan label pendosa atau semacamnya kepada mereka, padahal segala yang tersimpan di dalam hati, siapa yang tahu?

Manusia hanya bisa menilai dari sesuatu yang dzahir, perkara hati urusan Tuhan. Biasanya kita menemukan kutipan ayat dan tafsir dari surat al-Ahzab ayat 51 sebagai dalil, naas maknanya terlalu disempitkan dalam urusan cinta sehingga kebanyakan artikel atau video-video 'ustadz muda' yang bersliweran di dunia maya cuma menggunakan ayat tersebut untuk menghibur hati yang gundah gulana atau sebagai dalil untuk cepat nikah muda untuk mereka yang sering dikecewakan cinta. 

Ini jelas-jelas jual agama, memahamkan orang lain dengan pemahaman yang kurang dalam juga. Jika kita akrab dengan dunia turats, kandungan ayat tersebut tidak lagi menyoroti cinta, tapi sangat erat sekali dengan dunia tashawwuf. Perkara hati memang seyogyanya urusan kita dengan Sang Pencipta, bukan unjuk atau minta pengakuan eksistensi sesama makhluk. Caranya juga macam-macam, misal Sunan Bonang dengan tembung Tombo Ati, Abu Nuwas dengan syi'ir I'tirafnya, dan banyak lagi. Mengolah hati bukan semata memperbanyak ibadah, tapi juga bagaimana menemukan mediasi yang tepat dalam setiap laku untuk mengamalkan apa sesungguhnya yang sudah kita pelajari dalam Islam. Agama bukan simbol. Intisari Islam bukan celana harus cingkrang, harus jenggotan dan mudah menyalahkan.

Makanya para ulama kita juga selalu menjelaskan bagaimana adab dalam menegur dan mengingatkan dengan sangat apik, seperti yang dikutip dalam Jami' al-'Ulum wa al-Hikam, Ibn Rajab r.a. menjelaskan, nasehat yang baik utamanya dilakukan dalam ranah privat, bertemu empat mata, bukan publik. 

Beda menasehati dengan menyalahkan. Menasehati selalu diiringi dengan niat baik, dibalut dengan kalimat yang santun, bermaksud mengklarifikasi bukan menuduh dan tentunya mengedepankan tata krama, tentunya akan mengenai hati orang yang ingin mendengar. 

Jika orang yang dinasehati terlalu bebal atau tertutup hatinya, tidak ada salahnya mengingatkan kembali suatu saat dengan mencari sikon yang tepat. Sedangkan menyalahkan, itu jika ternyata kita masih berburuk sangka setelah menegur, apakah dia akan bertaubat atau tidak, padahal itu urusan dia dengan Yang Maha Mengetahui Isi Hati. Menyalahkan juga bisa dalam bentuk merasa alim sendiri, merasa menang sendiri, begitu melihat adanya suatu kebathilan atau kemungkan, lupa seharusnya yang dinasehati duluan adalah diri sendiri, lantas langsung menghakimi orang yang bersalah tersebut tanpa tedeng aling-aling.

Menegur juga berbeda dengan diskusi, Syeikh Asy-Syanqithi panjang lebar menjelaskan dalam Adab al-Bahts wa al-Munadzarah, ranah diskusi agar banyak orang bisa turut menyimak dan turut nimbrung agar bisa mencapai kebenaran dalam suatu hal yang sedang dibahas. 

Sayangnya, masih banyak yang tertukar antara adab munadzarah ini dengan menasehati, atau bahkan menyalahkan. Seperti kasus kawan di atas, karena ini kesalahan pemula, maka etika yang patut diambil adalah mengingatkan dengan apik. Apa yang diutarakan dari hati pasti bisa diterima hati, apalagi sebenarnya ini bukan kesalahan yang teramat fatal, hanya saja untuk mencegah terciptanya mindset gila gelar dan terhindarkan dari ‘ujub atau riya’ lebih baik dicegah sejak dini. Kalau sudah kebablasan, takut kepala mereka bakal semakin bebal. 

Persis seperti bapak-bapak yang kerjanya ongkang-ongkang kaki dapat gaji dari keringat rakyat tapi tidak mengindahkan atau bahkan jadi aspirasi rakyat sama sekali. Dinasehati tidak bisa, diajak diskusi mencari forumnya juga susah, malahan sampai harus ngajak ngobrol dengan kursi kosong misalkan. Kasus seperti ini, bicara hati ke hati jadi tidak bernilai sama sekali. 


*Tulisan ini juga pernah tayang di situs lain dengan gubahan seperlunya. Monggo mampir ke https://sanadmedia.com/seni-menasehati-agar-bisa-didengar-hati/ 

Dalam urusan memasak kita pasti akan memilih bahan terbaik untuk menghasilkan makanan yang enak pula. Sayangnya, tidak begitu dengan hal memilih pasangan.

Saya menyadarinya sedikit terlambat. Ada seseorang yang sangat mencintai saya, saya pun demikian. Dia seorang yang alim, tapi sengaja menyembunyikannya. Semakin jauh saya mengenalnya, semakin kagum saya dibuatnya. Sebuah hubungan yang serius selalu mampu memaksa dua insan untuk saling berdiskusi terutama terkait masa depan, tentu karena hubungan yang benar berasal dari hati akan menargetkan sesuatu sampai selesai. Dia terbuka untuk bercerita apa adanya, sampai suatu ketika dia pernah bercerita suatu hal yang sangat menyentakkan hati. Saya terperanjat. Tidak ada seseorang yang tidak memiliki cacat. Dengan angkuhnya, saya memutuskan hubungan tersebut. Umur masih muda, tapi tak terhitung reputasi dan prestasi yang saya raih. Wawasan agama saya cukup luas, tidak mungkin seorang bidadari yang rupanya jelmaan beruk menyamar disandingkan dengan calon seorang raja. Sesumbar sekali saya berpikir dalam hati. Begitu pongah saya berpikiran, dan dengan teramat menyesal saya menyadari pilihan itu salah setelah lewat ratusan purnama. Tidak usah saya jelaskan bagaimana, tetapi kelak wanita tersebut beruntung telah menemukan pasangan yang mampu menerima segala kebaikan dan keburukannya, bertahan dan terus saling berusaha menjaga dan memperbaiki diri.

Dalam urusan mencintai, kita tentu mengharapkan yang terbaik dari pasangan kita kelak. Manusia selalu berpengharapan lebih, selalu mengharapkan sosok yang sempurna untuk menggenapi separuh jiwanya. Saya menyebutnya sebagai racun budaya yang kerap dipopulerkan oleh serial drama Korea dan serial drama Barat jauh sebelum itu yang kerap menggabungkan budaya hedon dan menampilkan bahwa kebaikan selalu sebanding dengan penampilan, meski mungkin pemikiran saya terlalu dangkal dan picik karena terlalu menggeneralisir, nyatanya banyak pemuda-pemudi yang tanpa disadari melakukan hal ini.

Saya menyadarinya terlambat, sekali lagi menegaskan, karena sekian banyak buku yang dilahap, saya melupakan sebuah esensi yang sangat fatal. Esensi yang seharusnya diajarkan oleh para sesepuh, guru dan banyak hal lain dalam mengajarkan suatu ilmu: keikhlasan.

Makna ikhlas di sini bukan berarti melepas dan merelakan, banyak yang salah kaprah dalam hal itu. Manusia selalu ingin mengubah sesuatu menjadi lebih baik, contoh dalam hal pasangan, mereka pasti ingin pasangan mereka berubah sesuai dengan imej yang ada dalam benak mereka. Disuruhnya ini, itu, mereka harus begini, mereka harus begitu. Saya pernah bercerita kepada Ibu, sangat manusiawi sekali jika kita beranggapan begitu dan melakukannya. Ingin mengubah dan berubah. Kelak lupa, setiap harinya manusia selalu berubah. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, kita tidak tahu kapal ajal kan menjelang, maka seorang muslim yang cerdas senantiasa harus mempersiapkan dirinya unutk kemungkinan yang terburuk yakni kematiannya dan muslim yang lemah akal selalu hanya ingin memperturuti hawa nafsunya. Begitu ucap sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Majah.

Apa kaitannya dengan keikhlasan? Dari dulu saya selalu tertarik memperdalami psikologi, mungkin karena sedari kecil selalu dicecoki bacaan-bacaan detektif, sehingga lambat-laun sering bertanya-tanya, apa motif seorang kriminal melakukan kejahatan? Banyak teori yang diulas oleh para pakar Kriminologi, penjelasan mereka tidak selalu sama. Saya masih belum puas. Kemudian saya pernah menulis sebuah makalah dan diterbitkan di sebuah jurnal yang berkaitan dengan krisis moral dan humanisme dalam pandangan Islam. Tulisan itu menuai banyak puji, tapi juga kritik. Para senior kajian yang terlebih dahulu malang-melintang dalam dunia akademisi menganggap tulisan saya terlalu kering. "Kamu perlu lebih banyak lagi membaca karya-karya tashawwuf, karena ilmu psikologi Barat hanya bisa mengupas kulit. Dalam Islam, karena epistemologi kita meyakini adanya ilmu yang bisa diraih dari selain deduksi dan empirik, maka hati dan kematangan jiwa juga mempunyai dampak yang sangat besar dalam mengembangkan suatu karakter seseorang."

Saya menemukan jawaban tersebut setelah berulang kali menyimak pelbagai pelajaran yang diasuh oleh para guru di Bumi Kinanah dan mengalami suatu kejadian yang selalu terkenang. Hati adalah sesuatu yang sangat amat goyah, dan manusia harus terus mengasahnya agar posisi hati tidak terus tenggelam dalam kubangan sampah. Dengan beberapa sahabat, kami sepakat berusaha memanifestasikannya dalam banyak hal. Kita tidak usah menampilkan topeng kebaikan di muka umum, dan senantiasa mengamalkannya dalam karya yang lain. Kawan lain ada yang mengamalkannya dalam praktik berdagang, dengan anggapan untung dan rugi semua dalam kuasa Tuhan. Bagaimana sikap kita saat diuji dengan kebahagiaan dan kesedihan, itulah esensi keikhlasan. Ada lagi yang mengamalkan dengan mengajar. Dia melihat bagaimana reaksi diri saat dikritik murid, dia juga ingin menguji murid dari segi kejujuran dan ketekunan. Saya sendiri berjanji kepada diri, untuk mampu menghasilkan karya dan seni yang nampak tidak dibalut dengan aksesoris Islami tetapi ruh dan praktiknya adalah manifestasi dari ajaran-ajaran Islami. Semua itu adalah olah batin yang berusaha diperoleh oleh seorang manusia yang ingin mencapai tingkatan jiwa tertinggi: an-nafs al-muthmainnah. Penjelasan lebih hangat dan jelas bisa disimak dalam seluruh majelis ilmu Syeikh Sya'rawi atau dalam bukunya yang sudah dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, Psikologi Sufi.

Tetapi lagi-lagi, ilmu keikhlasan ini sungguh sangat berat. Saya menemukannya dari sosok wanita lain. Sudah belajar dari pengalaman masa lalu, dan dia dengan masa lalunya, kami dipertemukan dalam sebuah garis takdir yang sangat rumit. Dia mengetahui apa kekurangan saya, tetapi berusaha menambalnya dalam hal itu, saya juga berjanji untuk mengubahnya. Saya juga tahu bagaimana kekurangannya, tetapi saya juga mencoba bersabar dan menasehati diri pelan-pelan. Semula keluarganya menentang, karena tentu, siapa pula yang orang tua yang mau anaknya dijodohkan dengan lelaki yang lebih, lebih bau kencur daripada putrinya? Tetapi usaha wanita tersebut selalu saya kagumi bahkan sampai sekarang. Dia rela melawan semua keputusan keluarga yang menentang kami. Lambat laun, mereka pun luluh dan berhasil menerima saya. Tentu juga setelah mereka berdiskusi panjang lebar dengan saya dan banyak hal lain yang kami lakukan bersama. Manusia hanya bisa saling memahami ketika mereka dihadapkan sebuah permasalahan dan mereka bekerja sama dalam memecahkan hal tersebut.

Naasnya, meski keluarganya telah menerima saya dengan baik, lain halnya dengan keluarga saya. Ibu menolak habis-habisan, tentunya dengan pelbagai alasan. Cukup logis memang, karena faktor usia yang diperhitungkan. Tetapi alasan kedua sungguh sangat tidak masuk akal, karena menurutnya latar belakang keluarga si mempelai bukan berasal dari keluarga yang cukup agamis. Saya membantah, keluarga kami juga tidak agamis. Satu-satunya orang yang masuk pesantren dan kuliah di Timur Tengah hanya saya, yang lain tidak. Kemudian Ibu membantah lagi, dan sekaligus mengancam: kalau masih bersikeras, tidak usah pulang. Kalau masih dilanjutkan, beliau tidak akan pernah ridla sama sekali. Ucapan tersebut sanggup mengubah kehidupan kami kelak. Saya menjelaskan kepada keluarga wanita dengan baik-baik, mereka tentu tidak terima dengan kenyataan tersebut. Mereka menganggap saya lelaki yang tidak bertanggung jawab, tidak menyelesaikan urusan yang sudah dimulai. Saya gelagapan tidak tahu harus menjawab apa. Saya sudah kehilagan sosok yang benar-benar saya anggap ideal untuk dijadikan pasangan hidup, juga kehilangan muka, kehilangan semangat, kehilangan banyak hal. Mungkin kawan-kawan yang membaca ini menyatakan: "Kamu terlalu berlebihan!" tapi saya yakin mereka yang pernah mengalami pasti mengamini.

Kejadian tersebut menorehkan luka yang teramat dalam. Saya meminta bantuan beberapa ustadzah yang kebetulan alumni dari kampus saya kuliah dan pihak keluarga untuk mendekati Ibu saya dan membantunya mengajari terus bagaimana Islam yang sesungguhnya, karena saya yakin seseorang hanya bisa dipahamkan dengan orang lain yang mereka hormati atau percayai. Jika kehormatan atau kepercayaan itu hilang, apa saja yang kita katakan tidak akan pernah menyentuh hati. Saya sendiri karena takut berbuat hal yang sanggup dicap sebagai anak durhaka, melarikan diri kembali ke negeri yang saya anggap bisa mengajarkan saya menjadi lebih baik. 

Sebenarnya itu adalah bentuk pelarian diri untuk menghapus kesedihan yang tidak bisa diutarakan. Sekembalinya saya ke negeri itu, saya kerap membunuh waktu dengan belajar banyak hal, sembunyi-sembunyi belajar dari apa pun, bergabung dalam majlis dan kegiatan apapun yang saya yakini bisa membuat saya lebih baik, dengan kerap tidak menampilkan diri atau menyamar. Hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas r.a. terkait seorang muslim harus mampu memetik hikmah dari segala hal dan dalam kondisi apapun selalu saya tanam baik-baik dalam sanubari. Saya tidak akan memposting bahkan melarang kawan-kawan yang mengerti saya terlibat dalam suatu kelompok yang baik, karena cukup bagi saya tidak perlu kelihaian, kepandaian atau kemampuan seseorang diketahui banyak orang. Cukup bagi mereka yang bisa mengapresiasi kita. Maka jangan heran kenapa saya bisa memiliki banyak masker dan kacamata bahkan sejak pandemi Covid 19 ini muncul. Saya juga sengaja membiarkan imej yang melekat dalam diri memang jauh dari kata sempurna, biar hanya mereka yang akrab dan benar-benar ingin mengenal saya yang bisa memahami. Manifestasi ini sudah sering saya tuangkan dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya, di Ikon atau buah pikir singkat di sini. Hasil dari pengembaraan tersebut menyimpulkan sebuah janji untuk saya sendiri: saya ingin berubah lebih baik, tetapi tidak ingin banyak orang yang tahu. Biar hanya segelintir orang yang mengerti, dan saya tidak akan pernah mau menilai sesuatu dari kulitnya. Jika saya melanggar janji, biar Allah SWT yang menegur.

Rupanya ujian datang dalam berbagai bentuk. Seunggul-unggulnya manusia, kita bukan nabi. Posisi hati juga bisa naik dan turun, tidak bisa diprediksi. Saya lalai, pernah bergabung di sebuah wadah keilmuan yang sungguh sangat apik dan karena iming-iming harta kemudian memutuskan untuk tidak melanjutkan lagi. Kekhilafan ini berbuah simalakama.

Saya menemukan seorang wanita yang saya anggap merupakan cerminan ideal dari wanita yang akan menjadi pasangan hidup saya kelak, tapi memang karma nyata adanya. Apa yang terjadi di akhir sungguh seperti kisah yang pernah saya alami. Kekhilafan saya yang melahirkan pelbagai kekecewaan di dirinya walhasil mampu membuatnya mengambil keputusan drastis. Saya tentu memakluminya. Pertama, itu karma, dan saya pernah berlaku serupa, yaitu kisah yang saya ceritakan di awal. Wa jazau sayyiatin sayyiatun mitsluha. Dengan gelap mata saya memandang bahwa sebuah diri tidak aka pernah terjerembap dalam lubang, padahal kita hanya manusia tempatnya salah dan lupa. Kedua, seseorang diuji dengan seberapa mampu dia bertahan dan dengan kepercayaan. Saya yakin sudah tidak ada kepercayaan dalam dirinya dan menyalahkan, padahal dulu dia yang meminta bertahan, rupanya kalam itu diingkari sendiri, meski saya tidak menyalahkan sepenuhnya. Saya juga punya andil dalam membuatnya kehilangan kepercayaan tersebut. Ketiga, jika benar faktor keluarga turut memegang peran, maka keluarganya benar-benar cerminan keluarga saya dulu. Meski di suatu hal, saya sangat menyesalkan kegagalan menikah bukan karena faktor ekternal melainkan dari keluarga saya sendiri seperti yang saya ulas di kisah kedua di atas, rupanya mata keluarga seakan tersingkap setelahnya. Mereka semua benar-benar berubah, entah dari mana, tentu dengan kehendakNya. Maka saya tidak mungkin menyalahkan keluarga wanita kali ini, tapi saya berharap dan berdoa agar kelak dia yang mampu membawa perubahan yang lebih baik di keluarganya. Keempat, meski dia menyangkal, saya kenal karakternya. Dia akan dengan mudah mendapatkan pengganti baru yang menurutnya lebih baik dari sebelumnya. Memang saya juga salah menilai, alasan ketertarikan dia di awal dengan saya karena gelar, bukan karakter. Saya mencintainya karena banyak hal yang tidak bisa diuraikan satu per satu, dan tak acuh dengan segala status, usia atau apapun yang dia sandang. Rupanya dia tidak. Gelar dan harta bisa dikejar. Seharusnya saat bertanya mengenai cinta sejati, kita akan kelimpungan menjawabnya. Beberapa mungkin menjawab dari mata, beberapa lain menjawab karena hal lain. Tapi cinta sejati letaknya di hati. Saya mempelajarinya dari dua wanita, yang satu Ibu Kandung, satu lagi tidak usah saya jelaskan, kawan-kawan mungkin bisa menyimpulkan. Saat diri tidak puas dengan sesuatu yang ada dan dengan serta merta meninggalkan tanpa berusaha, berarti memang dari awal dia tidak ikhlas menerima. Fungsi ikhlas dalam segala sesuatu sangat dalam jika kita mampu melihatnya.

Baik, curhatan ini saya cukupkan. Bagi kawan-kawan yang tidak sengaja tersasar ke blog saya, semoga bisa mengambil hikmah dari tulisan sampah ini. Bagi kalian yang sedang diuji, sebelum tali pernikahan telah terikat, jika kamu masih bisa melihat kebaikan dalam diri pasanganmu, cobalah bertahan. Jika kalian sudah menikah dan kelak menghadapi permasalahan yang sama, ingatlah anak kalian. Jika kalian masih dalam pencarian dan terus mengharapkan sosok yang sempurna, percayalah bahwa hasil yang baik hanya bisa diperjuangkan bersama-sama, bukan sebelah pihak. Jangan gegabah mengambil keputusan, terutama di saat sedih atau senang sedang dalam puncaknya. Satu hal yang perlu dicamkan, bahwa ketika kamu sudah berjanji untuk mengubah diri menjadi lebih baik, biarkan pasanganmu menilai. Jika dia tidak mampu, pasrahkan ke Penciptamu.

Dot 2.0

Mungkin salah satu alasan mengapa buku-buku motivasi beredar, karena masih banyak orang yang tidak sadar jika kunci sukses hidup ada di tangannya, bukan di orang lain. Kesuksesan dalam hal ini bukan semata nilai duniawi semata, pertimbangan moral, kebutuhan atas pengakuan eksistensi atau perkembangan karakter seseorang juga begitu. 


Dalam sebuah perkumpulan, mungkin terlalu sempit jika saya menggunakan diksi tersebut, tetapi saya berharap kata perkumpulan bisa mewakili. Seseorang yang terjun di dalamnya akan melihat sesuatu dari dalam ke luar bisa dengan pelbagai kacamata, baik skeptis, bening, bahkan hitam pekat. Tetapi pandangan tersebut masih tertutup dengan sekat bernama perkumpulan itu sendiri. Jika kita mencoba menjauh sesaat dan melihatnya dari luar, acapkali kita bisa melihat kebobrokan yang semula tidak tampak dari dalam. 

Saya sangat prihatin jika melihat suatu kelompok yang terlalu didominasi oleh sebuah pihak atau seseorang, sedang yang lain tidak menyadari jika mereka sedang dikendalikan. Dalam hal ini, karisma dan retorika seseorang itu berpengaruh sekali. Kita bisa melihat figur-figur besar dalam setiap keadaan atau bahkan sejarah, cenderung dipenuhi banyak retoris. Manusia yang tidak berpikir kritis dan hanya mengiyakan perkataan karib atau kolega yang mereka percayai, selamanya akan didominasi oleh control-freak seperti para retoris itu. 

Misal ada beberapa ide yang terlontar, dan itu berasal dari mulut orang yang tidak kamu hormati atau sayangi, meski ide tersebut gemilang, apakah kamu akan mendengarkannya? Nihil. Jarang ada orang yang bisa berpikiran terbuka dalam hal tersebut. Nepotisme, pilih kasih dan hal-hal sentimentil lain sepertinya sudah terlalu mendarah daging di dalam diri kita. Kalau kamu menyangkal karena tahu kamu tidak seperti itu, baguslah. Kalau kamu menyangkal karena kamu tidak tahu jika kamu seperti itu, sangat disayangkan. Saya bukan siapapun jadi celotehan ini silahkan diampaskan, karena secara naluriah memang tidak ada singa yang mau tunduk sukarela kepada singa lain. Apakah kamu singa? Belum tahu. 

Kembali ke motivasi diri dan krisis nalar kritis. Sampai sekarang saya masih mempertanyakan, apakah nalar kritis itu dilihat dari sebanyak apa mulut kita sampai berbusa ketika berbicara tanpa mau memasang telinga atas kritikan orang, atau seberapa keras kita berjuang menahan sabar dari tatapan dan mulut penuh sindir saat kita sedang berupaya. Jawaban yang benar seharusnya yang kedua, cuma banyak juga yang terpengaruh, mungkin dari pergaulan atau wacana mereka terhadap kultur-kultur asing salah kaprah, dan meyakini semakin besar dan banyak bualan kita, semakin tinggi pula nilai diri di hadapan khalayak. 

Sayangnya, era milenial, terdukung dengan jaringan sosmed yang penuh dengan ajang unjuk gigi, mendukung jawaban pertama tadi.

Sampai sekarang saya bingung, bagaimana cara bahagia tanpa membuat yang lain iri. Pastinya tidak ada, kodrat manusia memang diciptakan sebagai makhluk tamak. Cukup belajar sabar aja, semakin sering menderita, hatimu semakin baja. Jawaban yang cukup permisif memang, tapi toh ada hikmah yang bisa dipetik dari kalimat tersebut, konon. Pertanyaan lain, sejauh mana seseorang menyadari motif dari suatu tindakan? Apalagi jika tindakan-tindakan tersebut berakibat masif? 

Para psikolog Barat menjelaskan motif tindakan seseorang berdasarkan banyak faktor, tidak akan saya ulas di sini, tapi menekankan ke 'bagaimana', jika kita mempelajarinya, tentunya kita akan mampu merancang beberapa rencana berlangkah-langkah jauhnya ke depan. Bagaimana cara melatih diri untuk bisa melihat motif seseorang dengan benar, tanpa tertipu - meminjam istilah Jung - Persona yang seseorang kenakan. Tentunya hal ini hanya bisa dilatih dengan ketekunan dan intensitas interaksi, atau pengalaman berkomunikasi bertujuan menyerap, bisa ilmu atau apa saja dari lawan bicara, kemudian memasang jarak dan memosisikan diri dengan menganggap lawan bicara kita sebagai objek penelitian. Mengamatinya dengan cermat, penuh detil, hingga ke sudut paling dalam, dan tidak berhenti untuk menarik konklusi sebelum memilahnya dengan berbagai macam variabel yang ada. 

Sayangnya, seringkali hal tersebut hanya berlaku kepada seseorang yang kita minati, bisa karena cinta atau penasaran. Ketika kita acuh kepada sesuatu atau seseorang, kita terima saja ucapan atau data yang sampai ke telinga, tanpa konfirmasi. Fatabayyanu, fatabayyanu, biasanya cuma jadi pengingat saat kita yang jadi korban. 

MEPHISTO*

“Saya cerai sudah lama, tiga tahun lalu. Mungkin lebih tepatnya, istri saya yang meninggalkan rumah.” Pria berjaket abu-abu itu tersenyum miris. Berbagi pengalaman pahit di awal pembicaraan akan mengundang lawan bicara untuk lebih berempati dan semakin banyak berbicara. Taktik yang selalu ia lakukan dari dulu, dan selalu saja berhasil.

Matanya terjatuh pada tape recorder hitam yang ada di tangan. Banyak lecetan di tape recorder itu, mungkin umurnya melebihi pria yang memegangnya. Dia memastikan agar tombol merah pada mesin tua itu tidak tertekan dengan sengaja. “Barangkali saya kurang memperhatikannya. Sama seperti benda di tanganku ini. Ada ribuan kaset yang saya simpan di rumah, sampai-sampai istri saya bilang, ‘Kamu selalu lebih perhatian terhadap kaset-kaset busukmu daripada aku!’ Mungkin hanya itu kata-katanya yang selalu terngiang sampai sekarang…” kali ini tidak ada senyum yang mengukir wajahnya. Pandangannya melekat pada pria dengan tangan terborgol yang sedari tadi menatapnya tanpa ekspresi.

“Dokter, mungkin kau sama tidak warasnya denganku.”

Raut muka pria yang dipanggil dokter tidak berubah. Dia tahu pria berkacamata di depannya berkata seperti itu hanya untuk memancing emosinya, tapi itu tanda berarti siasatnya untuk memaksa lawan berbicara, sukses. Alih-alih menanggapi, matanya malah melekat tajam kepada pria berkacamata bundar itu. Rambutnya panjang dikuncir ke belakang. Dia mengenakan kaos putih yang sedikit kekecilan sehingga membuat perut tambunnya semakin mencuat. Kumis dan jenggotnya tercukur rapi. Tangannya bersidekap. Mata kedua pria itu saling bertemu, dan si dokter tersenyum simpul sebelum menyalakan tape-nya dan berkata pelan.

“Setiap saya menguliti topeng para kriminal sepertimu, saya menyadari kemungkinan saya terpengaruh oleh kalian semain besar. Itu yang dikatakan Nietzsche, kamu senang membaca karya-karyanya bukan?” Si dokter mengeluarkan sebuah map tebal dari dalam kopernya. Sebuah nama ditulis tebal-tebal dengan spidol merah. Peter Gerrard.

Pria berkacamata bundar masih terdiam. Si dokter melanjutkan pertanyaannya, “Saya ingin bertanya tentang Anne korban pertamamu. Kamu sudah menyelidiki kehidupan gadis itu dari rumahnya, keluarganya, sekolahnya, siapa saja teman-temannya, bagaimana rutinitasnya. Kamu terobsesi dengannya. Kamu sangat menginginkan sensasi ketika nanti Anne berada dalam pelukanmu.”

“21 Oktober. Anne pulang dari sebuah pesta. Dia berjalan sendirian. Kamu yang sudah bersembunyi di halaman depan rumahnya, langsung menyergap Anne begitu tahu ia datang, dan menancapkan pisau ke dadanya. Saat itu kamu merasakan ada kenikmatan hebat yang menjalari tubuhmu, apakah saat itu juga libidomu meningkat?”

“Tidak.”

“Tapi kamu orgasme saat itu, benar?”

Peter tidak menjawab.

“Dokter, lebih baik kamu menanyakan kepadaku tentang korban kesebelas.”

Senyum si dokter mengembang lagi. Peter muak akan senyum itu, seperti mengejek dan mengasihaninya sekaligus.

“Hanna Kemp, 62 tahun, seorang janda dari Munich. Dia tinggal di sebuah rumah mewah hasil peninggalan almarhum suaminya. Kamu membunuh janda tua itu di kamarnya. Sebelumnya kamu menerobos masuk rumah dan bersembunyi di gudang bawah tanah. Saat kamu mendengar langkah kaki wanita tua itu memasuki rumah, kamu keluar dari persembunyianmu, membuntutinya, dan ketika dia membuka kamarnya, kamu langsung menusuknya dari belakang. Bukan begitu?”

Peter meringis. “Tepat sekali, dok.”

“Dalam sepuluh pembunuhan sebelumnya targetmu selalu gadis remaja, tapi tidak kali ini. Dan dalam pembunuhan lainnya kamu selalu menusuk para korban di dada, Kemp tidak. Kamu menusuknya dari belakang.”

Peter meringis lagi.

Si dokter mengingat baik-baik seluruh kasus yang pernah ditanganinya. Dia tahu seharusnya kasus pembunuhan kali ini tegolong sebagai pembunuhan berantai berpola. Sepuluh korban pertama adalah remaja wanita dengan kisaran umur antara 16 sampai 18 tahun. Mereka mati dengan luka tusukan di dada, dan selalu ditemukan sedikit bekas sperma di tubuh para korban, tapi korban terakhir Peter adalah seorang janda tua, ini aneh, juga tidak ada bekas sperma di lokasi kejadian. Si dokter berpikir keras. Hanya ada dua alasan mengapa Peter melakukannya. Dia tahu Peter adalah seorang pria yang cerdik. Barangkali dia sengaja melakukannya untuk mengacaukan investigasi polisi, sehingga mereka bakal tidak mengira jika pelaku pembunuhan Kemp ini sama dengan sepuluh korban sebelumnya. Paling besar kemungkinannya hanya itu, kalau bukan, lantas apa?

“Sebenarnya apa alasanmu membunuh Kemp?” nada ucapan si dokter berubah tajam. Senyumnya hilang.

Peter mengangkat bahu, “Monster.”

Si dokter menghela napas panjang. “Kamu benar, ada monster yang hidup dalam hatimu, juga dalam hatiku. Emosi dalam hati seorang manusia dipisahkan oleh sebuah garis yang sangat tipis. Bayangkan kamu berada dalam sebuah kamar gelap gulita. Ketika kamu menyorotkan lampu senter ke salah satu sisi kamar, kamu akan mendapatkan sebuah lingkaran besar yang sangat terang. Tapi kamu tetap tidak bisa mengabaikan bagian tembok yang tidak terkena sinar senter. Seperti itulah hati kita.”

“Kamu salah, dok.”

“Maksudmu?”

“Teorimu. Di dunia ini, benar-benar ada seorang monster berkulit manusia. Dia, dia yang menyuruhku membunuh nenek tua itu!”

Dahi si dokter semakin mengerut. “Jika kamu mau berpura-pura gila atau menuduh orang lain untuk semua perbuatan kejimu, percuma. Saya sudah mempelajarimu, dan saya di sini hanya untuk kepentingan riset, tidak lebih. Kamu bisa berkata seperti itu depan pengacara dan hakim.”

Peter menggebrak meja. Kedua tangannya yang besar mencengkeram leher si dokter, “Schwein!” Si dokter meronta-ronta berusaha melepaskan tangan Peter dari lehernya. Dia heran, meski kedua tangan Peter masih terborgol, tapi dengan mudahnya dia berusaha mencekiknya. Dengan sekuat tenaga, dia mencoba menekan tombol yang tersembunyi di balik meja.

“Kamu takut? Kamu takut, kan?!” Peter menggeram. Muka si dokter semakin pucat.

“Di dunia ini, ada yang lebih menakutkan daripada sekedar orang mencoba membunuhmu,” cengkraman Peter mulai mengendor. Si dokter mencoba bernafas, tapi malah terbatuk-batuk. Tiga orang polisi mendobrak masuk dan segera meringkus Peter. Sebelum para polisi itu membawanya pergi, si dokter mendengar Peter berteriak,

“Ruang bawah tanah Kemp! Ruang bawah tanah Kemp!!!”

~{x-Klik judul untuk baca kelanjutannya.-x}~

Ketika kita memiliki perasaan atau sebuah memori yang teramat menyakitkan, kesadaran akan menekan memori tersebut ke dalam alam bawah sadar sebagai bentuk pertahanan diri. Kenangan tersebut lambat laun akan terlupakan meski tidak hilang seutuhnya. Begitu juga kenangan indah, ia mampu memaksa otak untuk memimpikannya berulang-ulang. Menariknya, jika memori mampu tenggelam ke alam bawah sadar, apakah mungkin alam bawah sadar memunculkan sebuah ide atau gagasan yang tidak berasal dari kesadaran?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, mari kembali pada tahun 1961. Pada penghujung hidupnya, Carl Gustav Jung menulis artikel pada bunga rampai bertajuk, Man and His Symbols. Ia mengukuhkan krusialnya fungsi mimpi seorang manusia dalam menentukan jati diri. Selama ini mimpi selalu memproyeksikan beberapa simbol, lantas apakah simbol tersebut bisa dianalisis hanya dengan mengacu kepada sebuah buku dan mencari kemiripan simbol yang muncul dalam mimpi di buku tersebut? Tentu tidak bisa, dan tidak akan bisa.
Dalam dunia simbol, kita mengenal simbol kolektif dan simbol individual (sudah saya bahas dalam Bagaimana Ikon Menelanjangi Jati Diri). Simbol kolektif tentunya representasi dari kesadaran majemuk dan menyatakan bahwa simbol tersebut memiliki makna umum yang bisa diketahui bersama, seperti: tengkorak sebagai simbol kematian, matahari sebagai simbol kehidupan, dan pelbagai simbol lainnya terutama dari pelbagai mitologi kuno. Sedangkan simbol individual ditampilkan sebagai corak khusus manifestasi diri untuk menunjukkan ego. Contoh paling lugas dan simple: sebuah perusahaan membutuhkan logo yang unik untuk merepresentasikan ‘wajah’ mereka kepada masyarakat, tiap orang memiliki tanda tangan yang berbeda antara si A dengan B dan seterusnya (grafologi) ataupun pelbagai atribut yang melekat pada tubuh yang menandakan bahwa inilah trademark mereka.
Maka mimpi, sekali lagi, adalah proyeksi simbolik yang ingin ditunjukkan alam bawah sadar kepada kesadaran. Dalam dua mimpi atau lebih biasanya terdapat kesamaan simbol dan untuk menginterpretasikannya musti merujuk ke personalia masing-masing. Setiap individu memiliki pengalaman, kenangan, pembelajaran, idealisme dan religiuitas berbeda, maka tidak mungkin kita menafsirkan semua simbol kunci dan lubang kunci dengan hasrat seksual seperti yang dikemukakan Freud. Jung mengembalikan mimpi kepada si empunya. Ada titik tolak yang berbeda untuk setiap personalia. Bisa jadi lambang lubang kunci menunjukkan satu hasrat seksual untuk mereka yang berlibido tinggi, lalu bermakna harapan, kesejahteraan dan kesahajaan untuk lainnya, seperti yang dituangkan Campin dalam lukisannya pada sebuah altar di abad ke-15.
Terkadang mimpi juga beralih menjadi sebuah pengingat. Lihat kasus pasien yang mengalami gangguan neurotik, disosiatif amnesia, misalnya. Mereka mengalami gangguan ingatan jangka panjang karena trauma atau musibah yang pernah dialaminya, sehingga otak akan melakukan mekanisme defensif diri untuk menutup akses ke memori tersebut dengan sangat kuat: menguburnya dengan beragam memori yang indah atau semacamnya. Tetapi ketika dia berada dalam sikon yang sama sesuai dengan pemicu awal amnesianya (kejadian buruk tersebut), kesadaran akan tetap memblokir utuh akses ke memori buruk tersebut, tetapi alam bawah sadar akan menuntun si pasien untuk menyelamatkan diri agar tidak terjerembap di situasi yang sama. Bisa dengan mimpi, ataupun secara sadar, ketika dia tidak tahu harus melakukan apa tapi secara intuitif tergerak secara spontan.
Dalam keadaan sadar, peristiwa ketika seseorang mampu merepresi memori secara alamiah, disebut dengan ‘lupa yang disengaja’. Freud mendeskripsikannya sebagai kumpulan memori yang benar-benar siap untuk ditanggalkan. Nietzsche menggambarkan dengan lugas, “Where pride is insistent enough, memory prefers to give away.” Para psikolog modern menyebutnya sebagai a repressed contents; terkuburnya sebuah ide yang dinilai buruk oleh diri ke dalam alam bawah sadar sebagai mekanisme pertahanan diri.
Contoh paling mudahnya seperti seorang sekretaris yang sedikit iri kepada koleganya. Dalam setiap pesta atau rapat, sekretaris ini seringkali lupa untuk mengundang ‘si kolega’. Bahkan ketika ditegur atau dilabrak, sekretaris ini dengan simpelnya berkata lupa atau “maaf, saya banyak pikiran.” Dia hanya enggan atau memang secara tidak sadar tidak ingin mengakui faktor dasar kelupaannya adalah karena iri hati karena si kolega tersebut adalah anak emas bos.
Begitu pula dalam mimpi. Simbol kolektif mengenal pelbagai simbol dari mitologi kuno, memiliki kemiripan peristiwa-peristiwa umum. Mimpi seperti: jatuh dari tempat tinggi, lari dari sesuatu atau seseorang, lari dengan kencang, dalam keadaan lemah tak berdaya terjebak di tengah-tengah konflik atau sebuah pertempuran, bertempur melawan sesuatu dengan sangat spektakuler, dan sebagainya. Ada kemiripan dari faktor penyebab psikologis di sana, mengapa dan bagaimana seseorang bermimpi demikian.
Sebut saja mimpi terjatuh dari suatu tempat yang sangat tinggi. Ada beberapa kemungkinan faktor penyebab munculnya mimpi ini. Pertama, bisa jadi orang tersebut sedang mengerjakan sebuah perkara dengan ekspektasi melebihi kapasitas yang ia mampu. Kemungkinan kedua, hampir sama dengan kemungkinan pertama, hanya saja hasil yang ditargetkan lebih mendekati mustahil. Kemungkinan ketiga, orang tersebut terlalu jumawa menganggap diri sendiri lebih tinggi daripada orang di sekitarnya, entah mungkin dalam pekerjaan yang digeluti atau lingkungan sekitarnya, dan dia menganggap bahwa tidak ada yang bisa melebihinya.
Tentunya, dalam menganalisis sebuah mimpi, satu dari sekian kemungkinan yang ada memiliki probabilitas yang sama dalam skala prioritas faktor pemicu. Bisa jadi, seseorang yang bermimpi jatuh dari sebuah tempat tinggi, memiliki salah satu dari tiga kemungkinan di atas sebagai pemicu psikologis, atau bisa jadi tidak sama sekali karena penyebab tersebut sangat berkaitan dengan kehidupan pribadi si pemimpi. Karenanya, Jung selalu mengulang-ulang nasehat berikut kepada para muridnya, “Pelajarilah simbolisme secara totalitas, tetapi dalam menganalisis mimpi pasienmu, sejauh mungkin tinggalkan apa yang telah kamu pelajari dari simbolisme.” Dibutuhkan sesi terapi, dialog, rangkaian tes, komunikasi akrab, rasa keterpercayaan, untuk menimbulkan suatu pemahaman global terhadap personalia pasien secara menyeluruh.
Sayangnya, perkembangan manusia menuju dunia yang modern, ketika penolakan terhadap agama semakin kentara, atau lebih jauh ke dalam era post-modern dengan pelbagai interpretasi skeptisnya, malah seringkali memisahkan antara kesadaran dengan insting paling dasar pada kejiwaan manusia, baik dari ketakutan (terkadang dibutuhkan agar seseorang tidak berlaku ceroboh), dan beberapa insting lain terutama kehausan spiritual. Tradisi urban menuntut —hingga taraf memaksa— manusia untuk lebih mengedepankan rasionya, berpikir serba realistis dan pragmatis. Walhasil, krisis yang dipaparkan oleh Jung sebagai ‘terciptanya manusia-manusia plastik’ yang bahkan karena terlalu lelah bekerja dan pemikiran yang serba sempit dalam memandang sesuatu, memaksa pikiran untuk tidak lagi memproduksi mimpi sebagai pengingat alamiah dari alam bawah sadar yang berfungsi mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan oleh kesadaran. Mereka pasti mengabaikan kata hati yang mereka rasakan pertama kali yang terkadang muncul sebagai mimpi yang  meninggalkan jejak di kepala meski sudah terbangun, dan malah mengikuti alur logika yang mereka anggap benar.
Seorang pemikir kondang pun masih bisa menyangkal makna mimpi. Dalam buku Thus Spoke Zarathustra milik Nietzche, terdapat bagian kisah yang bercerita tentang insiden yang terjadi dalam perjalanan sebuah kapal pada tahun 1686. Secara tidak disengaja, Jung pernah membaca kisah tersebut pada sebuah buku yang terbit pada tahun 1835, hampir separuh abad sebelum Nietzche melahirkan magnum opus-nya. Psikolog Jerman ini mulai menyadari kejanggalan tersebut saat ia menemukan gaya tulisan yang sangat berbeda pada Thus Spoke Zarathustra, hanya pada bagian tertentu yang mengisahkan tentang insiden dalam sebuah data perjalanan kapal.
Saat ia mencocokkannya dengan buku miliknya, tulisan yang ada sangatlah mirip, kata demi kata, bak plagiasi. Meskipun Nietzche sama sekali tidak pernah menulis referensi yang merujuk ke buku tersebut, saat Jung mengklarifikasikan hal itu kepada adik dari pencetus ungkapan terkenal “Gott ist tot!” ini, sang adik mengaku bahwa mereka berdua pernah membaca buku tersebut saat Nietzche berumur 11 tahun. Bisa jadi, 50 tahun setelahnya, memori tersebut mencuat dari alam bawah sadar Nietzche saat gelombang sadarnya berada dalam keadaan sangat tenang, antara mimpi dan sadar, dan dia pun menuangkannya pada bukunya.
Maka sebuah mimpi tidak akan hadir tanpa sebuah faedah, baik proyeksi simbolik sebagai pengingat alam bawah sadar, maupun mimpi sebagai pencetus ide dari rekaman memori yang pernah ditangkap otak. Mimpi pun bisa hadir sebagai isyarat Tuhan, ilham yang ditangkap oleh para nabi, ulama dan orang-orang saleh pilihan. Islam sama sekali tidak memungkiri hal ini, karena ada tiga epistemologi menurut para ulama Mantiq: rasio, empirik dan wahyu atau ilham. Banyak kisah terabadikan dalam al-Quran, seperti mimpi nabi Ibrahim, mimpi nabi Yusuf, mimpi raja Mesir, mimpi Fir’aun, dan banyak lagi.
Dalam penafsiran mimpi yang membawa isyarat ilahi, sepenuhnya kembali ke kepribadian dan sisi religius si pemimpi. Tidaklah mungkin seorang begal, bermimpikan menjadi nabi kecuali mimpi tersebut dibawakan oleh syetan. Bahkan Tafsir al-Ahlam milik Ibn Sirin juga tidak bisa semata-mata menjadi pedoman dalam menginterpretasikan mimpi, karenanya jangan heran jika ada seseorang bermimpi A, lalu mengira akan terjadi sesuatu seperti yang terbaca atas deskripsi dari mimpi A, yang terjadi malah sebaliknya atau di luar interpretasi tersebut.
Di dalam mimpi, seringkali kita berada dalam sebuah peristiwa, tanpa pernah mengingat bagaimana mulanya kita bisa sampai di sana.
Di dalam mimpi, bisa jadi kita menjelma seorang manusia superior bak superhero di kisah-kisah fiktif. 
Di dalam mimpi, kita bisa menemui seseorang yang seharusnya tidak mungkin bisa kita temui di dunia nyata. Perasaan selanjutnya yang menyusul, entah haru biru atau bahkan ketakutan yang mencekam.
Mimpi adalah sahabat yang acap kali dibenci atau diacuhkan, meski menyikapinya secara berlebihan tanpa ilmu yang cukup juga sangat tidak baik. Mimpi itu unik, selalu membawa aura enigmatis yang sangat khas.
Siapa tahu saat semua orang serentak memimpikan kejadian yang sama, suatu kejadian yang mengguncangkan semesta akan terjadi.

* - tulisan ini pernah tayang di website berbeda.

Barangkali kesalahan dek Afi dan om Hartanto bukan berasal dari diri mereka, melainkan masyarakat di sekitarnya. Dan kita adalah bagian dari masyarakat itu. Manusia memang mudah terpesona dengan sesuatu yang menyilaukan mata, menyibukkan diri dengan rumor yang sedang panas-panasnya, mengikuti tren yang ada tanpa tedeng aling-aling dan langsung mengecap sesuatu dari tampilan zahir. Umum dan remeh memang. Tetapi kita tahu, sebuah kesalahan yang kerap dilakukan berulang kali bisa menjadi kebiasaan yang membentuk karakter tanpa disadari.
Boleh jadi Dek Afi dan Om Hartanto adalah korban.
Masyarakat kerap menilai baik-buruknya seseorang dari prestasi dan penampilan. Pria berdasi dan berpakaian rapi lebih mudah memantik kharisma dan memancing hormat dari lawan bicara dibanding pria berambut panjang, berbaju kumal dengan celana jins yang bolong di lututnya. Orang akan lebih mendengarkan argumen seseorang yang terkesan ilmiah dengan sesekali mencomot kutipan dari sana-sini dibandingkan perkataan jujur yang tidak sistematis dan sedikit terbata-bata. Seorang pendiam yang lebih banyak mengucilkan diri untuk berkarya dan menulis akan lebih mudah menerima fitnah dibanding seorang bermulut besar tetapi aktif dalam kegiatan warga, meski niatannya cuma setor muka dan bertegur sapa.
Saya bisa mengatakan, bahwa pada beberapa tahun ke depan akan semakin banyak Dek Afi dan Om Hartanto lain yang bermunculan jika budaya kritis dan peka-sekitar semakin terkikis dan orang-orang mudah sekali menyebarkan sebuah berita tanpa sama sekali ada niatan mengklarifikasi. Jika kebiasaan ini dibiarkan berlangsung, generasi kini dan mendatang akan semakin tertutup pikirannya dan bakal semakin mudah menyalahkan. Sebuah kabar tidak mengenakkan tersebar, dan semua orang berbondong-bondong mengiyakan. Semua ramai menyalahkan, dan yang mencoba berempati atau tidak ikut-ikutan dengan maksud untuk menyelidiki akan dikucilkan.
Tidak heran akhirnya orang akan mencoba mencari jalan pintas dan berpikir: jika aku bukan dari golongan berada dan kemampuanku pas-pasan, bagaimana caranya untuk membuat masyarakat mengakuinya? Walhasil mereka akan menjadikan sosmed sebagai pelarian, karena sosmed tidak memiliki medium untuk memverifikasi. Segala yang diunggah bersifat netral. Benar tidaknya tergantung persepsi pembaca. Terlepas tulisan atau foto yang kerap ditampilkan adalah hasil plagiat atau manipulasi. Toh, jarang ada masyarakat yang kritis. Mereka yang kritis biasanya cuma mereka yang kerdil hati atau kurang kerjaan, begitulah stigma yang biasa beredar.
Freud sudah menulis analisis yang lebih detil terkait kasus di atas dalam Studies on Hysteria sejak lama, bagaimana seseorang sangat mencemaskan penampilan, budaya gunjing-menggunjing yang tidak terbatasi moral dan sifat takut dikritik sebagai gejala penyakit jiwa. Hanya saja dengan semakin berkembangnya teknologi informasi, seseorang juga semakin mudah menilai sesuatu berdasarkan nafsu semata. Sengaja kata nafsu yang digunakan di sini–bukan hati, karena jika seseorang menggunakan hatinya dengan baik, maka nurani yang akan berkata. Bukan ego. Ingat sebuah hadis yang mengatakan  bahwa di dalam sebuah jasad terdapat segumpal daging, jika dia sakit maka seluruh tubuhnya akan turut sakit. Gumpalan daging tersebut adalah hati. Dari hadis tersebut, kita bisa menyimpulkan dua hal: secara fisik hati termasuk organ yang memiliki peranan penting dalam menetralisir racun, mengatur komposisi kandungan lemak dan gula dalam darah, membuat empedu untuk membantu pencernaan lemak, dan banyak lagi. Dalam pengibaratan metafisik, hati atau qalb juga bisa dimaknai sebagai jiwa. Rusaknya jiwa seseorang mampu menyebabkan rusaknya salah satu atau seluruh tubuh.
Psikolog Barat cenderung memaknai hati sebagai jiwa. Dalam Psikologi dan Agama, Carl Jung menjelaskan alasan rusaknya jiwa seseorang sebagai penyebab sakit fisik, dan pemicu terjadinya neurosis atau psikoneurosis: suatu kelainan mental yang mempengaruhi kepribadian seseorang tanpa mengganggu fungsi rasionalnya. Neurosis ini menyebabkan orang untuk sangat berhati-hati terhadap penampilan luar, rapuh dikritik, malu berlebihan, mudah cemas dan puncaknya: jatuh stress. Seseorang yang menderita neurosis mudah terpengaruhi lawan bicara, sehingga dia selalu berhati-hati dalam melakukan sesuatu dan mengevaluasi gayanya tiap dalam hitungan mikro detik untuk membuat orang-orang di sekitarnya terus memuji dan tidak mengkritisinya. Karena dia sangat rentan dikritik, maka dia selalu memperhitungkan agar topeng yang dikenakan adalah topeng terbaik dan mengikuti arus. Dia sangat takut untuk dikucilkan atau dianggap berbeda, sehingga dia selalu mengikuti tren yang beredar.
Meski neurosis sudah dihapus dari klasifikasi kelainan jiwa dan digolongkan bersama gangguan-gangguan impuls seperti anxiety (cemas), disosiatif, mood, dan semacamnya oleh American Psychiatric Association pada tahun 1974–salah satunya karena kesulitan yang muncul saat mendefinisikan kewarasan seseorang, tetapi saya tetap mengikuti pendapat Freud dan Jung bahwa neurosis muncul jika seseorang terlalu membentengi hatinya untuk berekspresi sehingga mengganggu pola-pola adaptif dirinya. Neurosis akan menghalangi kebebasan seseorang untuk berkembang, mengurangsi fleksibilitas pemikiran, perilaku dan emosinya, sehingga memunculkan paranoia berlebihan dan rasa cemas yang tak kunjung akhir dan bisa berujung depresi.
Para ahli menjelaskan bahwa pemicu terjadinya neurotik ini adalah konflik antara id, yang mengatur pemenuhan kebutuhan hidup, dengan ego yang berusaha menjaga bagaimana kebutuhan hidup bisa terpenuhi tanpa berbenturan dengan realitas. Faktor lain juga bisa tercipta jika kesadaran seseorang berbanding terbalik dengan egonya. Seseorang yang sangat memperhatikan kesehatan dan kebersihan akan mudah mengait-ngaitkan munculnya suatu penyakit yang berbahaya pada tubuhnya usai membanding-bandingkannya dengan artikel kesehatan yang ia baca, terlebih jika gejala-gejala ringan yang muncul pada tubuhnya sama seperti gejala yang terdapat pada suatu penyakit kronis tertentu seperti kanker, misalkan. Dia cenderung melebih-lebihkan sesuatu, meski sudah berkonsultasi dengan dokter terpercaya dan menetapkan tidak ada kanker dalam tubuhnya, dia tetap keukeuh dengan kepercayaannya dan terus mengeluh. Penderita kanker imajiner tersebut jika dibiarkan akan bisa memaksa tubuh untuk benar-benar menciptakan kanker sungguhan atas reaksi dari dorongan sugesti yang kuat, mempengaruhi tindakan dan pola makan tanpa disadari, menciptakan darah kotor yang tersumbat dan semakin lama memicu kanker.
Begitu juga yang terjadi dalam kasus Afi dan Hartanto. Jika orang-orang di sekitarnya tidak mampu mengklarifikasi dengan cepat terkait rumor yang beredar atas diri mereka, maka bisa disimpulkan: mereka pandai mengenakan topeng, atau mereka jarang bergaul. Mereka jarang berinteraksi dengan kawan dan keluarga, atau komunikasi yang terjalin sebatas formalitas belaka. Terbukti pengakuan dari guru Afi yang telat muncul dan rekan-rekan PPI Delft yang telat klarifikasi karena kesulitan menggali latar belakang Hartanto. Kita juga bisa menyimpulkan hal yang sama bahwa keduanya sama-sama meraih pamor dari medsos, sedangkan medsos bukanlah refleksi yang menggambarkan karakter sejati seseorang Medsos hanyalah serpihan, itu juga bagi orang-orang yang menyadari. Tapi bagi sebagian orang, medsos adalah proyeksi jati diri seseorang. Selama yang ditampilkan adalah hal-hal baik, maka mudahlah label orang baik tersemat kepada mereka, begitu juga sebaliknya.
Jadi obsesi atau paranoia yang berlebihan terhadap sesuatu, mengasingkan diri tanpa menyibukkan diri dengan hal-hal positif, kurangnya solidaritas dari orang-orang di sekitar dan menyikapi medsos sebagai proyektor karakter sejati seseorang adalah dampak negatif yang mampu mempengaruhi kepribadian. “Sudah sewajarnya setiap orang membutuhkan orang lain dalam kehidupannya,” begitu adagium masyhur dari Muqoddimah Ibn Khaldun. Timbal balik dari orang lain, pola pikir yang terbentuk dari himpunan pengalaman baik menyenangkan maupun traumatis dan kemampuan untuk menggali hikmah di kala sedih atau bahagia, itulah yang akan membentuk diri manusia dan bisa menjauhkan mereka dari penyakit-penyakit jiwa, atau hati menurut ulama Islam.
Merujuk pada kasus di atas, rasa cemas dan takut akan runtuhnya imej berasal dari dengki yang mengakar setelah melihat prestasi mengagumkan orang lain, dan memaksanya mengukir kebohongan demi kebohongan untuk menciptakan karakter imajiner agar orang-orang lain menatapnya terkesima. Penyakit semacam ini disebut dengan Mithomania (masih tergolong sebagai neurosis). Setiap orang memiliki neurosis potensial dalam dirinya, dan bisa terjangkiti Mithomania atau neurosis lain tergantung bagaimana dia mengelola jiwanya dengan cerdas. Ketika seseorang sanggup mengelola emosi dengan baik dan proporsional, mampu menerima dirinya secara utuh dengan mengakui kelebihan dan kekurangan yang ia miliki, serta berani mengembangkan potensi dirinya setelah menelan bulat-bulat kenyataan bahwa dirinya tidak sempurna dan mengerti tidak ada sesuatu yang instan bahkan butuh proses untuk menjadi sebuah pribadi yang matang. Dengan begitu, maka tidak ada lagi adek-adek gemes seperti Afi dan om-om nakal laiknya Hartanto yang lahir dari konsensus sosial.
“Orang beruntung adalah orang yang mengetahui untuk apa dia diciptakan, bekal apa yang telah dipersiapkan, dan mencari hal yang bersifat duniawi untuk sekadar memenuhi kebutuhan pokoknya,” begitu yang ditulis oleh Abdul Khaliq el-Syarbawi dalam Maratib al-Nafs miliknya. Menonjolkan prestasi berlebihan akan menumbuh-kembangembangkan sifat arogan, padahal hanya Sang Pencipta yang boleh berbaju kesombongan.

* - late post dari tahun 2017.

Saya belajar banyak dari Lookism, sebuah manhwa yang memperkenalkan realita: mayoritas masyarakat hanya memandang seseorang hanya dari penampilan atau isi kantong, bakat nomer dua. Kamu berpenampilan menarik, mengenakan baju-baju atau aksesoris bermerk, orang akan memandangmu dalam dua kategori: entah kamu termasuk kalangan borjuis, elitis, apalah itu, dan memandangmu dengan mata penuh hasad; atau kamu dileburkan dalam kategori makhluk-makhluk unggul pemimpin ras manusia, kamu pantas menyandang segala jabatan dan masa depan untuk apa saja, dan kamu akan dipandang dengan sorotan penuh kagum.

Kamu tidak berpenampilan menarik dan tidak mempunyai bakat? Saya mau mengatakan tenggelam saja di laut, atau dengan sinis, mengapa kamu masih bernafas? Tetapi tidak mungkin saya berkata seperti itu, karena saya sendiri termasuk orang-orang yang tidak bertampang menarik dan mengganggap penampilan mencolok itu sungguh memuakkan. Cukup berpakaian rapi, pantas dipandang, sesuai syariat, tidak muluk-muluk. Tetapi saya sadar, orang yang beranggapan seperti saya, tidak banyak. Apalagi jika mereka sudah tahu bagaimana rasanya mencari uang.

Sebelum saya berbicara lebih lanjut, saya sarankan bagi kawan-kawan yang membaca tulisan ini, jika masih duduk di bangku kuliah dan masih melajang, lebih baik melanjutkan aktivitas lain yang lebih berguna. Alasannya simpel, mahasiswa lebih mudah menjunjung idealisme sebelum akhirnya mengenal prioritas lain dan meneguk ludah dengan pahit. Saya cerita sedikit. Dulu saya pernah mencibir seorang kawan pekerja kantoran. Kerjaannya mengeluh di sosmed. Apa yang dikeluhkan, panjang, tidak usah dibahas. Sedangkan saya yang saat itu belum lulus kuliah tetapi kerja serabutan untuk menambah uang saku, dengan santainya berkata, jangan mengeluh, semua orang memiliki pasang-surut hidup masing-masing. Entah kesurupan jin mana, dengan ketusnya dia membalas, kamu bakal tahu sendiri jika kamu merasakannya. Sebenarnya saya mau menjawab, ya tapi tidak usah lah diumbar-umbar ke mana-mana laiknya pengemis, konyol kelihatannya. Untung saya mengutarakannya dalam hati, kalau tidak hubungan pertemanan kami sudah hancur.

Sekarang saya merasakan hal yang sama seperti yang kawan saya alami. Karma memang, saya merutuki nasib. Jika kamu tidak mau mengalami hal yang sama, tinggalkan tulisan ini dan lakukan sesuatu yang bermanfaat, memasak mie instan misalnya.

Sederet tokoh dalam manhwa Lookism.
Saya lanjutkan kembali, saya senang memerhatikan karakter orang-orang di sekitar saya, dan hal yang paling saya sukai saat membaca suatu kisah atau menonton film adalah perkembangan para tokoh di dalamnya. Dalam tulisan saya yang berjudul Ikon, manusia gemar menggunakan sesuatu yang merepresentasikan kegemaran atau kecenderungan mereka. Di kantor, saya seperti melihat akuarium dengan berbagai macam ikan hias, banyak sekali topeng dan simbol dalam atribut yang mereka kenakan.

Contohnya saja, ada yang melulu mengenakan kostum seronok dan setelah merasakan bagaimana akibat dari pandangan lelaki mata keranjang, perlahan-lahan kulit tubuhnya mulai tertutup, meski masih tidak semua. Ada yang memiliki tampang menarik, tetapi seolah tidak peduli apa tanggapan orang terhadap baju asal-asalan yang dia kenakan. Ada yang tampangnya biasa tetapi berusaha keras agar dipandang sedap oleh yang lain sehingga mengabaikan standar tampan atau cantik secara umum. Ada yang ingin menonjolkan karakter sangar mereka dengan bertato dan memiliki rambut khas preman pasar. Ada juga yang selalu berpakaian ala gypsy lengkap dengan kalung, gelang, anting di sekujur tubuh layaknya toko perhiasan murahan berjalan, dan banyak lagi.

Memang kenalan saya di kantor tidak banyak, setidaknya lumayan menambah pahala salaman biar tidak melulu yang disapa cuma kolega asal Indonesia. Saya juga beranggapan sebagai warga asing, kerja di tanah lain dan berkenalan dengan banyak warga asli adalah sesuatu yang merepotkan, kecuali di luar lingkup bisnis. Ibarat jika menghadiri suatu pesta, lebih baik berdiri di sudut daripada ikut bergumul di tengah dan menjadi sorotan kecuali terpaksa. Walhasil, lingkar pertemanan saya ya itu-itu saja. Saya tidak mau dikenal orang banyak kecuali situasi memaksa dan tidak mau tahu-menahu urusan orang kecuali mereka sendiri yang bercerita, sampai suatu hari saya menyadari bahwa saya sempat menjadi bahan gunjingan. Saya tidak tahu hal tersebut sampai seorang kawan menyampaikan langsung. Dia bilang, saya kutip kata demi kata, “You know, man. I envy you, you’re always looked so cool. You have this cool aura or something. We often spoke about you but hesitantly approach because you seem so distant.”

Seperti biasa, saya menjawabnya dengan memasang wajah dungu, tertawa, dan mengatakan not really beberapa kali, meski dalam hati saya menyangkal keras. Hidung saya tidak memerah atau kembang kempis karena tidak mengganggap itu pujian, dan sepertinya memang bukan. Melihat dari karakternya yang blak-blakan, apa adanya, supel dan tidak ragu dalam menyapa orang, khas tipikal seorang ekstrovert, mereka lebih memilih untuk mengatakan sesuatu yang tidak merugikan mereka. Terlebih lagi, dia cowok. Jika cewek yang mengatakan, mungkin pipi saya sudah seperti tomat. Saat saya bertanya apa alasannya beranggapan begitu, dia menjawab, kamu tidak pernah malu mengenakan jaket anime saat ke kantor. Padahal banyak penggemar anime di sini tetapi mereka malu berpakaian seperti itu, sedangkan kamu tidak. Lagi-lagi saya tertawa. Untung tadi muka saya tidak memerah.

Tetapi perkataan serupa juga sering saya dengar sebelumnya, kali ini dengan nada menyindir, yang paling saya ingat saat seseorang menyebut saya sebagai orang yang berkarakter dingin. Kemudian dia menjelaskan lebih lanjut, dingin karena seolah-olah berkelas dan berselera tinggi, yang bakal cuek jika disapa karena menganggap status yang tidak sama, yang selalu memasang tampang seolah-olah tidak peduli dengan dunia karena merasa sudah memiliki segala. Jujur saya tersinggung. Tentu saya tidak perlu panjang lebar menjelaskan bagaimana kondisi keluarga saya dan lain sebagainya, tapi penting kiranya saya meluruskan satu hal: saya hanya ingin berpenampilan pantas sesuai selera, tidak lebih. Menarik atau tidak, terserah anggapan orang, tetapi banyak yang keliru bahwa saya harus berpenampilan trendi atau semacamnya. Mereka yang menganggap saya dingin, kemungkinan besar karena saya lebih sering memasang topeng tidak peduli terhadap orang-orang yang belum kenal atau akrab. Sebagian orang pasti menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak sopan, sok elitis atau apalah, apa daya saya seorang introvert yang sangat menghargai ruang privasi. Selama saya tidak melakukan sesuatu yang mengganggu, tentu saya sangat mengapresiasi untuk tidak diganggu juga.


Sekelumit kisah di atas dipaparkan dengan baik juga di Lookism. Meski bukan manhwa pertama yang saya baca, rupanya menyinggung banyak hal terkait favoritisme, kehidupan glamor selebriti dan dunia entertainment, terutama di Korea Selatan. Saya semakin menyadari beberapa hal terkait persepsi memang tidak bisa diubah. Manusia dinilai pertama dari tampang, kedua dari tubuh, ketiga dari pakaian. Manusia cenderung iri kepada seseorang yang berpakaian bagus, dan berakhir dalam dua hal: lamat-lamat mengikuti gaya tersebut tanpa mereka sadari, dengan mengorbankan banyak hal hanya untuk mengikuti tren, atau menabung sebisa mungkin dan selalu mengenakan baju yang mereka anggap prestisius atau masih setia dengan gaya yang biasa mereka kenakan.

Untuk kasus pertama, kebanyakan wanita begitu melihat barang yang mereka minati, tanpa ba-bi-bu segera membelinya meski harus mengorbankan uang saku. Saya banyak menemukan kasus tersebut terutama dari kalangan kelas menengah ke atas dan beberapa pria juga berperilaku sama (ingat prinsip Anima/Animus milik Jung). Sedangkan untuk kasus kedua, kebanyakan didominasi pria, meski tidak menafikan minoritas wanita, mungkin karena di sekitar saya cenderung didominasi oleh kaum penganut kantong tipis, mereka tidak peduli untuk beli barang baru selama barang yang lama masih bisa digunakan. Sekali lagi, tentu tidak semua seperti ini, dan banyak juga kaum wanita yang tidak mudah tergiur dengan hal-hal glamor. Jika kamu cowok lajang, belum punya calon, dan menemukan wanita macam itu, segera pinang. Jika boleh jujur, saya lebih respek kepada seseorang yang lebih mengutamakan kesederhanaan dalam segala hal. Bukankah Islam juga mengajarkan untuk tidak melihat dari penampilan saja? Pembelajar tashawwuf pasti mengamini.

Di Lookism sendiri tokoh utama digambarkan sangat sederhana. Dia berpenampilan menarik hanya karena dia menerima banyak baju berkelas dari sahabat karibnya, sedangkan uang hasil keringatnya dibelikan baju atau tas untuk ibunya. Dia anak tunggal, ibunya membanting tulang dengan memulung dan kerja serabutan demi menafkahi anaknya, dan sungguh, bagaimana hubungan keduanya untuk saling membahagiakan satu sama lain benar-benar menginspirasi. Tidak lain karena saya benar-benar berempati dengan tokoh utama. Membacanya, saya seperti melihat sosok diri sendiri meski dengan catatan: minus tampang keren dan tubuh tinggi nan atletis seperti model-model plastik.

Ibu dari si tokoh utama.
Tetapi sekali lagi, manhwa tersebut mengajari saya bagaimana seharusnya sikap seorang anak lelaki untuk ibunya, bagaimana lingkar kecil pertemanan seorang introvert akan berdampak banyak di kemudian hari jika ditunjang dengan persahabatan tanpa pamrih, bagaimana simbiosis introvert dengan ekstrovert bisa tercipta dengan baik, bagaimana persepsi manusia untuk menilai bakat selalu datang nomer dua setelah penampilan, bagaimana kemistri akan tercipta jika memiliki gaya pemikiran yang sama, dan tentunya bagaimana kerja keras untuk menghasilkan atau memperoleh sesuatu agar menuai hasil. 

Mungkin beberapa dari kita sudah pernah mendengar suatu pepatah, satu hal di dunia ini yang tidak mungkin mengkhianati kita adalah apa yang kita latih dan pelajari. Kamu ingin menjadi hafidz? Seringlah membaca dan mendengarkan murottal, tapi tolong jauhkan otak dari hasad dan menghasut. Kamu ingin pandai menggambar, menulis atau bermain musik? Seringlah berkarya dan tidak malu dicaci orang. Sebuah ilmu tidak mungkin tercapai kecuali dengan berkorban, komik Lookism dan bahkan dunia ini mengajarkan begitu. Hanya satu hal yang saya sesalkan dalam manhwa ini, ilustrator selalu menggambarkan tokoh berperangai buruk dengan penampilan yang buruk, sedangkan karakter yang baik juga digambarkan memiliki penampilan yang menarik. Padahal jika kita telaah kisah-kisah klasik, stereotipe penampilan buruk identik dengan jiwa yang buruk juga, merupakan teori kriminologi usang yang sudah lama ditanggalkan. Miris, padahal melihat dari jargon yang diusung komik ini bahwa penampilan bukan segala, tetap saja si ilustrator terjebak dalam stereotipe usang itu. Kemudian saya menyadari, barangkali itu yang diinginkan si ilustrator, agar pembacanya benar-benar jeli saat membaca cerita yang ia suguhkan bahkan sampai di luar konteks, atau saya yang terlalu berprasangka baik.

Lamat-lamat saya berpikir, saya sering menemukan bagaimana manusia tampan atau cantik, entah sadar atau tidak, sudah sering buang harga diri dan berperangai busuk, tapi bukan berarti semua seperti itu. Saya juga sering menemukan bagaimana seseorang yang berwajah buruk hatinya sama buruk, meski lagi-lagi, semua tidak seperti itu. Tapi perlu diingat, label kawan atau lawan, kita yang menentukan (untuk kalimat terakhir ini, saya ingin membantah meme yang lagi viral bahwa penyematan label kawan atau lawan, muslim atau kafir, dll, hanya digunakan oleh orang-orang liberal atau semacamnya. Naif sekali.)

Mungkin standar mengenali watak atau tabiat seseorang di era dijital ini dengan cara melihat apa yang mereka posting, semakin sering mereka memposting hal-hal yang berbau agamis, lumrahnya kita akan melabelinya sebagai orang yang agamis pula, padahal itu adalah kesalahan besar. Era dijital benar-benar era yang menjebak, banyak orang menilai sesuatu hanya dari kulit, baik itu karakter, bahkan informasi. Saya tidak tahu apakah ini merupakan ciri-ciri akhir zaman atau bukan, saya cuma bisa menyimpulkan satu hal: kita harus bisa melihat esensi dari segala sesuatu yang menarik perhatian kita sebelum menyimpulkan, kalau tidak, kita sendiri yang menanggung akibatnya. Mungkin bukan sekarang, tetapi saat ototmu sudah tidak lagi mampu menopang tulang, kamu akan tertawa dengan penuh sesal meratapi kesalahan yang sudah-sudah.

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Software