“Saya cerai sudah lama, tiga tahun lalu. Mungkin lebih tepatnya, istri saya yang meninggalkan rumah.” Pria berjaket abu-abu itu tersenyum miris. Berbagi pengalaman pahit di awal pembicaraan akan mengundang lawan bicara untuk lebih berempati dan semakin banyak berbicara. Taktik yang selalu ia lakukan dari dulu, dan selalu saja berhasil.
Matanya terjatuh pada tape
recorder hitam yang ada di tangan. Banyak lecetan di tape recorder
itu, mungkin umurnya melebihi pria yang memegangnya. Dia memastikan agar tombol
merah pada mesin tua itu tidak tertekan dengan sengaja. “Barangkali saya kurang
memperhatikannya. Sama seperti benda di tanganku ini. Ada ribuan kaset yang
saya simpan di rumah, sampai-sampai istri saya bilang, ‘Kamu selalu lebih
perhatian terhadap kaset-kaset busukmu daripada aku!’ Mungkin hanya itu
kata-katanya yang selalu terngiang sampai sekarang…” kali ini tidak ada senyum
yang mengukir wajahnya. Pandangannya melekat pada pria dengan tangan terborgol
yang sedari tadi menatapnya tanpa ekspresi.
“Dokter, mungkin kau sama tidak
warasnya denganku.”
Raut muka pria yang dipanggil dokter tidak berubah. Dia tahu pria berkacamata di depannya berkata seperti itu hanya untuk memancing emosinya, tapi itu tanda berarti siasatnya untuk memaksa lawan berbicara, sukses. Alih-alih menanggapi, matanya malah melekat tajam kepada pria berkacamata bundar itu. Rambutnya panjang dikuncir ke belakang. Dia mengenakan kaos putih yang sedikit kekecilan sehingga membuat perut tambunnya semakin mencuat. Kumis dan jenggotnya tercukur rapi. Tangannya bersidekap. Mata kedua pria itu saling bertemu, dan si dokter tersenyum simpul sebelum menyalakan tape-nya dan berkata pelan.
“Setiap saya menguliti topeng para kriminal sepertimu, saya menyadari
kemungkinan saya terpengaruh oleh kalian semain besar. Itu yang dikatakan
Nietzsche, kamu senang membaca karya-karyanya bukan?” Si dokter mengeluarkan
sebuah map tebal dari dalam kopernya. Sebuah nama ditulis tebal-tebal dengan
spidol merah. Peter Gerrard.
Pria berkacamata bundar masih terdiam. Si dokter melanjutkan
pertanyaannya, “Saya ingin bertanya tentang Anne korban pertamamu. Kamu sudah
menyelidiki kehidupan gadis itu dari rumahnya, keluarganya, sekolahnya, siapa
saja teman-temannya, bagaimana rutinitasnya. Kamu terobsesi dengannya. Kamu
sangat menginginkan sensasi ketika nanti Anne berada dalam pelukanmu.”
“21 Oktober. Anne pulang dari sebuah pesta. Dia berjalan sendirian. Kamu
yang sudah bersembunyi di halaman depan rumahnya, langsung menyergap Anne
begitu tahu ia datang, dan menancapkan pisau ke dadanya. Saat itu kamu
merasakan ada kenikmatan hebat yang menjalari tubuhmu, apakah saat itu juga libidomu
meningkat?”
“Tidak.”
“Tapi kamu orgasme saat itu, benar?”
Peter tidak menjawab.
“Dokter, lebih baik kamu menanyakan kepadaku tentang korban kesebelas.”
Senyum si dokter mengembang lagi. Peter muak akan senyum itu, seperti
mengejek dan mengasihaninya sekaligus.
“Hanna Kemp, 62 tahun, seorang janda dari Munich. Dia tinggal di sebuah
rumah mewah hasil peninggalan almarhum suaminya. Kamu membunuh janda tua itu di
kamarnya. Sebelumnya kamu menerobos masuk rumah dan bersembunyi di gudang bawah
tanah. Saat kamu mendengar langkah kaki wanita tua itu memasuki rumah, kamu
keluar dari persembunyianmu, membuntutinya, dan ketika dia membuka kamarnya,
kamu langsung menusuknya dari belakang. Bukan begitu?”
Peter meringis. “Tepat sekali, dok.”
“Dalam sepuluh pembunuhan sebelumnya targetmu selalu gadis remaja, tapi
tidak kali ini. Dan dalam pembunuhan lainnya kamu selalu menusuk para korban di
dada, Kemp tidak. Kamu menusuknya dari belakang.”
Peter meringis lagi.
Si dokter mengingat baik-baik seluruh kasus yang pernah ditanganinya.
Dia tahu seharusnya kasus pembunuhan kali ini tegolong sebagai pembunuhan
berantai berpola. Sepuluh korban pertama adalah remaja wanita dengan kisaran
umur antara 16 sampai 18 tahun. Mereka mati dengan luka tusukan di dada, dan
selalu ditemukan sedikit bekas sperma di tubuh para korban, tapi korban
terakhir Peter adalah seorang janda tua, ini aneh, juga tidak ada bekas sperma
di lokasi kejadian. Si dokter berpikir keras. Hanya ada dua alasan mengapa
Peter melakukannya. Dia tahu Peter adalah seorang pria yang cerdik. Barangkali
dia sengaja melakukannya untuk mengacaukan investigasi polisi, sehingga mereka
bakal tidak mengira jika pelaku pembunuhan Kemp ini sama dengan sepuluh korban
sebelumnya. Paling besar kemungkinannya hanya itu, kalau bukan, lantas apa?
“Sebenarnya apa alasanmu membunuh Kemp?” nada ucapan si dokter berubah
tajam. Senyumnya hilang.
Peter mengangkat bahu, “Monster.”
Si dokter menghela napas panjang. “Kamu benar, ada monster yang hidup
dalam hatimu, juga dalam hatiku. Emosi dalam hati seorang manusia dipisahkan
oleh sebuah garis yang sangat tipis. Bayangkan kamu berada dalam sebuah kamar
gelap gulita. Ketika kamu menyorotkan lampu senter ke salah satu sisi kamar,
kamu akan mendapatkan sebuah lingkaran besar yang sangat terang. Tapi kamu
tetap tidak bisa mengabaikan bagian tembok yang tidak terkena sinar senter.
Seperti itulah hati kita.”
“Kamu salah, dok.”
“Maksudmu?”
“Teorimu. Di dunia ini, benar-benar ada seorang monster berkulit
manusia. Dia, dia yang menyuruhku membunuh nenek tua itu!”
Dahi si dokter semakin mengerut. “Jika kamu mau berpura-pura gila atau
menuduh orang lain untuk semua perbuatan kejimu, percuma. Saya sudah
mempelajarimu, dan saya di sini hanya untuk kepentingan riset, tidak lebih.
Kamu bisa berkata seperti itu depan pengacara dan hakim.”
Peter menggebrak meja. Kedua tangannya yang besar mencengkeram leher si
dokter, “Schwein!” Si dokter meronta-ronta berusaha melepaskan tangan
Peter dari lehernya. Dia heran, meski kedua tangan Peter masih terborgol, tapi
dengan mudahnya dia berusaha mencekiknya. Dengan sekuat tenaga, dia mencoba
menekan tombol yang tersembunyi di balik meja.
“Kamu takut? Kamu takut, kan?!” Peter menggeram. Muka si dokter semakin
pucat.
“Di dunia ini, ada yang lebih menakutkan daripada sekedar orang mencoba
membunuhmu,” cengkraman Peter mulai mengendor. Si dokter mencoba bernafas, tapi
malah terbatuk-batuk. Tiga orang polisi mendobrak masuk dan segera meringkus
Peter. Sebelum para polisi itu membawanya pergi, si dokter mendengar Peter
berteriak,
“Ruang bawah tanah Kemp! Ruang bawah tanah Kemp!!!”
***
Ucapan Peter yang terakhir memaksa si dokter untuk pergi ke Munich.
Masih banyak pertanyaan yang ingin dia ajukan kepada Peter setelah wawancara
lima hari lalu, tapi selama seminggu penuh dia dimasukkan ke sel khusus dan
tidak diperbolehkan menerima pengujung. Si dokter hanya sempat mengirim surat
kepadanya dan sudah dibalas Peter. Sekarang si dokter sudah berada di rumah si
janda tua. Dia sudah meminta ijin langsung ke inspektur polisi di Munich untuk
melakukan investigasi pribadi ini, kebetulan inspektur tersebut, Klaus Lambert,
adalah karibnya dulu di kampus. Masalah izin tentu bukan soal.
Rumah itu sepi. Si dokter mengusap meja ruang tamu dengan jarinya. Ada
sedikit debu, tapi tidak tebal. Tentu wajar, sudah beberapa bulan sejak Peter
terciduk dan kasus sudah ditutup. Hanna Kemp tidak pernah menyewa pembantu,
tapi rumah besar ini mampu dirawatnya sendirian dengan telaten dan penuh kasih.
Jika tidak, tentu debu yang melekat di meja bakal lebih tebal. Si dokter
berdecak kagum.
Dia segera melangkah ke gudang bawang tanah. Sebelum diringkus polisi,
Peter sempat memberitahunya letak gudang itu ada di bawah tangga yang menuju
lantai dua. Saat si dokter membuka pintu gudang, dia menemukan selembar kertas
terselip di bawahnya. Cuma selembar kertas putih biasa, hanya ada beberapa
kalimat yang ditulis dengan tulisan tangan yang tebal, penuh tekanan, tapi
huruf-hurufnya sangat rapi. Mata si dokter terbelalak saat membaca isi tulisan
itu:
“WAS WILLST DU HERE FINDEN, HERR HASTINGS?”
Si dokter mengernyitkan dahi. Dia melihat-lihat ke sekeliling dan
mencermati kembali baik-baik kertas yang dia pegang. Tidak ada nama penulis,
tidak ada tanda tangan atau sesuatu yang mencolok. Tidak ada juga wangi parfum
atau bau lainnya. Hanya ada kertas putih dan sebuah tanya, Siapa yang
menulis kertas ini? Peter? Si dokter menggeleng. Tidak mungkin. Saat polisi
melakukan investigasi, tidak mungkin kertas ini luput dair penyelidikan mereka.
Dan lagi, kertas inin benar-benar ditujukan untuknya. Hastings.
Hastings mulai memasang mata dan telinganya tajam-tajam. Ada yang tidak
beres, bisa jadi pelaku yang menyelipkan kertas ini masih berada di sekitar
rumah. Setelah memastikan setidaknya benar-benar tidak ada orang lain di rumah
ini selain dirinya, dia mengubah niatan awal dari pergi ke gudang beralih ke
kamar tidur Kemp. Hastings menyalakan tape recordernya.
“Saya baru saja memasuki kamar tidur Kemp, tempat Peter membunuhnya
sebulan lalu. Para kepolisian sudah mengembalikan kondisi kamar seperti semula,
tapi saya masih melihat sedikit noda darah di tembok. Rumah ini sudah menjadi
milik para keponakan Kemp, meski sepertinya mereka tidak berniat menempatinya.”
Hastings melirik ke arah foto yang dipajang di samping tempat tidur. “Suami
nyonya Hanna sudah meninggal sejak lama, dan pasangan tersebut tidak memiliki
anak sama sekali.”
Hastings teringat lagi isi surat Peter, “… jika kamu pergi ke gudang
bawah tanah, kamu akan menemukan jejak monster terkutuk itu di sana! ...”
Setelah mematikan tape recordernya, dia berjalan ke gudang.
Suasana gudang sangat gelap. Hastings menyalakan lampu dan tidak lupa
alat perekamnya. Berbeda dengan apa yang dibayangkannya semula, kondisi gudang
sangat bersih dan rapi. Tidak ada sarang laba-laba, justru gudang tu terlihat
lebih seperti ruang belajar daripada tempat penyimpanan barang. Ada banyak foto
dan tumpukan buku di sana.
“Saya sekarang berada di gudang bawah tanah tempat Peter bersembunyi
setelah menerobos masuk rumah Kemp dan menunggunya pulang. Menurut
pengakuannya, dia sempat bersembunyi di sini selama beberapa jam,” Hastings
berjalan ke pojok gudang. Ada beberapa peralatan berkebun dan tumpukan kaleng
cat.
Tiba-tiba Hastings merasa seperti ada sepasang mata yang mengawasinya.
Dia menoleh.
Seorang anak perempuan bertopi bundar, menatapnya tajam. Anak itu duduk
di atas kursi dan mengenakan gaun berwarna putih yang dibalut pita berwarna
merah. Senyumnya menyeringai.
Hastings terlonjak ke belakang, hampir terjungkal. Tape recorder jatuh.
Dadanya berdebar keras. Mata anak itu serasa menembus jantungnya. Hampir
beberapa menit dia terpaku, lantas menyadari.
“Was zur hölle?! Cuma boneka.”
Hastings mengambil tape recordernya dari atas lantai, untung
tidak rusak. “Baik, tidak ada apa-apa di sini. Bukti adanya monster seperti
yang dikatakan Peter hanyalah bualan belaka. Peter melakukan pembunuhan
kesebelas hanya untuk mengecoh petugas hukum, tidak lebih. Biasanya korban
hanyalah gadis remaja berumur 16-18 tahun, tapi Frau Kemp adalah wanita lanjut
usia, dan tidak ditemukan bekas sperma di lokasi. Peter bilang, dia
melakukannya atas permintaan seorang monster dan saya akan menemukan bukti
adanya monster itu di gudang. Tapi tidak ada apa-apa di sini, hanya sebuah
boneka.” Hastings terdiam sejenak. “Semuanya ia lakukan hanya untuk mengelabui
seorang kriminiolog sepertiku…”
Ucapannya terhenti. “Tunggu, boneka?” Buru-buru dia merogoh sakunya. Dia
mengambil surat dari Peter dan membacanya kembali dengan seksama.
“… Ketika aku kecil, aku selalu dihukum oleh mamaku. Setiap hari Mama
memukuliku dengan sapu. Ketika sedih, aku selalu melarikan diri ke gudang bawah
tanah di rumah. Kemudian Mama membuka pintu gudang, dan dengan tatapannya yang
mengerikan dia berjalan ke arahku dan memukuliku tanpa henti.
Di gudang itu ada sebuah boneka anak perempuan berbaju putih dan bertopi
bundar favorit Mama Ketika kecil yang selalu saja memandangiku. Tatapannya
kosong. Boneka itu hanya duduk saja di pojokan dan menyaksikan tubuh kecilku
dipukuli. Aku merasa, boneka itu adalah Mama. Mama juga selalu menyimpan
foto-fotonya bersamaku di gudang. Setiap kali aku ke gudang, aku selalu merasa Mama
tetap mengawasiku dari foto-foto itu. Mama, Mama, di mana-mana ada Mama! Dia
selalu menghantuiku! ...”
Hastings terperanjat. “Apa ini boneka yang dimaksud? Mengapa boneka di
rumah ini sama seperti boneka di gudang bawah tanah Peter?!” Surat di tangannya
dia remas. Hastings melihat satu demi satu foto-foto yang dipajang di gudang
itu. Foto-foto Nyonya Kemp dan seorang anak lelaki berkacamata. Hastings
mengambil arsip Peter dari dalam kopernya dan mencocokkan foto dalam mapnya
dengan foto di pigura. Foto anak lelaki berkacamata itu adalah foto Peter
semasa kecilnya.
“Tidak mungkin! Seharusnya Peter kecil tidak pernah bertemu Kemp! Dia
tinggal di Saarland sampai umur 18, dan Kemp tidak pernah meninggalkan Munich
semasa hidup!”
Hastngs memperhatikan foto-foto itu dengan lebih seksama. Ada guratan
aneh di sekeliling foto si anak. Dia mengambil satu foto dan melepaskannya dari
pigura. Dirabanya kedua sisi foto, rupanya foto anak itu hanya foto tempelan
yang dipasang dengan lem. Dia mengambil foto lain dan memeriksanya. Sama. Foto
ketiga juga sama. Foto keempat. Foto kelima. Hastings mengambil semua foto di
dinding. Semuanya tempelan. Ada seseorang yang memasang foto-foto Peter kecil
dan menyandingkannya dengan foto-foto Nyonya Kemp, membuat seolah-olah mereka
berdua ibu dan anak.
Hastings merasa keringat dingin menjalari tubuhnya. Dia membuka Kembali
surat dari Peter.
“…Aku pernah menerima sebuah surat. Tidak ada nama, tidak ada perangko,
tidak ada alamat. Hanya sebuah amplop yang diselipkan di bawah pintu rumahku.
Penulis surat itu berbicara dengaku seolah-olah kami sudah akrab. Gaya
bicaranya sangat sopan dan hangat. Dia bilang, dia tahu semua detil
pembunuhanku. Dia tahu di mana aku tinggal, bagaimana aku bisa mendapatkan
informasi mengenai semua gaids itu, dan dia sangat menghormatiku. Menurutnya,
perbuatanku bukanlah kejahatan. Gadis-gadis itu, gadis-gadis itulah yang telah
berdosa karena senang menggoda para lelaki dengan kemolekan tubuh mereka!
Kemudian dia memberiku sebuah alamat di Munich. Aku tidak pernah ke sana
sebelumnya. Dia berkata, pergilah ke gudang bawah tanah. Aku menurut.
Sesampainya di gudang, aku sangat terkejut. Kepalaku pusing. Gudang ini, kenapa
gudang ini sama persis dengan gudang rumahku dulu? Gudang terlaknat itu! Aku
bertanya-tanya dalam hati, apakah pemilik rumah ini, Mama? Tapi Mama sudah mati
karena kanker. Aku melihat ke sekliling gudang. Boneka itu! Kemudian ada
foto-foto… Mama? Apakah itu foto-foto Mama dan aku? Yang di foto… aku kan? Aku
menangis. Aku takut. Aku merasa seperti kembali menjadi anak kecil lagi.
Kemudian aku mendengar ada pintu dibuka. Aku mengendap-endap keluar dari gudang
dan kulihat wanita tua itu berjalan menuju kamarnya. Darahku mendidih…”
Hastings menyimpan kembali surat itu dalam saku jaketnya. Mendadak
perutnya mulas. Dia berjalan keluar dari gudang dan mencuci muka. Dia butuh
sesuatu yang menenangkan, apa saja. Ada sebuah minuman kaleng yang masih utuh
di kulkas, Hastings menenggak separuh.
Dia menekan kembali tombol merah di tape recordernya.
“Peter Gerrard, 32 tahun. Apa yang dikatakannya, benar. Ada yang janggal
di rumah ini. Di pembunuhannya yang terakhir, mungkin Peter tidak menyadari ada
orang yang memanfaatkannya. Kesimpulan polisi salah, seharusnya semua bukti di
lokasi menunjukkan jika pembunuhannya kali ini sama sekali tidak direncanakan.
Ada orang lain yang memanipulasinya dengan cerdik, dan pengetahuan orang ini
tentang Peter, sangat menyeramkan. Dari mana dia mendapatkan informasi tentang
Peter? Dari mana dia tahu masa kecil Peter? Orang ini memainkan Peter seperti
bidak catur, dia tahu Peter memiliki trauma dan dia sangat membenci ibunya.”
Hastings menghabiskan minumannya. Dia membuka kembali arsipnya tentang
Peter dan memeriksa beberapa catatan. Raut mukanya berubah.
“Peter tertangkap tidak lama setelah dia melarikan diri dari rumah Nyonya
Kemp. Dari mana polisi tahu kecuali ada orang yang menelepon para polisi itu
sebelumnya? Si pelaku. Orang yang telah mengirimi Peter surat.” Hastings
mengingat-ingat lagi. Dia pernah melakukan penelitian terhadap beberapa kasus
yang sama sebelumnya. Model pembunuhan berantai, korban terakhir selalu berbeda
dari korban-korban sebelumnya seolah-olah tidak direncanakan oleh si pelaku.
Tetapi gara-gara itu mereka tertangkap. Semula dia anggap, itu hanya
kecerobohan si pelaku. Tapi semuanya terbantahkan dengan kasus Peter. Ada orang
lain di balik itu semua. Seseorang yang mampu membunuh tanpa mengotori
tangannya sendiri. Seseorang yang entah bagaimana mampu mengetahui masa lalu
Peter dan para pembunuh lainnya dengan kedetilan yang menyerupai setan.
Seseorang yang mampu memanipulasi hati dan perasaan orang lain serta mampu
mengubah mereka menjadi budaknya tanpa disadari, seperti Mephistopheles yang
bermain-main dengan jiwa Faust.
Informasi-informasi seputar pembunuhan Peter juga seharusnya tidak ada
yang diketahui masyarakat awam kecuali setelah pers rilis beberapa hari lalu.
Jika ada seluruh informasi tindak criminal dan hasil investigasi berkumpul di
satu tempat, dan orang yang berkepentingan bisa mengaksesnya dengan mudah,
tempat itu tidak lain adalah…
Hastings tersentak. Tidak ada yang tahu dia pergi ke rumah mendiang Kemp
hari ini, kecuali satu orang. Bukan Peter, Hastings tidak memberitahu dalam
suratnya, kapan dan apakah ia akan benar-benar ke rumah Nyonya Kemp atau tidak.
“Klaus?”
_______________________________________
Catatan:
(Dalam Bahasa Jerman)
Schwein! :
Bangsat!
WAS WILLST DU HERE FINDEN? : Apa yang mau kamu cari di sini?
Herr :
Tuan
Frau :
Nyonya
Was zur hölle : Apa-apaan?!
0 comments:
Post a Comment