Coba ingat kembali periode awal SBY menjabat sebagai penguasa Indonesia, banyak hal-hal positif yang tertuai. Dia sudah dipercaya rakyat untuk menahkodai Nusantara dengan gemilang. Tapi selang beberapa bulan dari 20 Oktober tiga tahun silam, banyak kecam dan sindiran dari pelbagai pihak dan semua tertuju kepada pria kelahiran Pacitan ini. Memang benar ucapan salah seorang Kompasianer atas perlunya penyegeraan amandemen UU bahwa presiden cukup menjabat satu periode saja, tidak lebih. Karena realitanya, aksi dan tindakan presiden saat awal dilantik, benar bertujuan untuk menggubah negara agar apa yang pernah ia janjikan saat kampanye bukanlah sekedar obral kata. Memasuki periode kedua, posisinya aman, hidupnya sudah tentram. Fasilitas yang diperoleh selama empat tahun masih kurang. Walhasil, lupa, terlena, kritik rakyat diacuhkan, tambah maju pantat-perut, kena kecam.
Masisir juga punya republik. Bak negara mungil, ada sistem, ada trias politika. Mengaca pada Indonesia, masyarakat Masisir juga tidak buta. Mereka paham dinamika, paham sosialita dan bosan digombali. Jadi pemimpin yang terpilih adalah hasil kesadaran komunal yang terbangun atas kepercayaan kolektif, bukan rekayasa prajurit kampanye. Berangkat dari asas ini, bisa disimpulkan bahwa suara mayoritas menentukan. Lantas timbul pertanyaan, jika pemimpin mendzalimi rakyat, itu salah pemimpin atau yang dipimpin? Kan rakyat sendiri yang memilih pemimpin? Mereka yang terpilih untuk memimpin juga tidak mungkin menjadi pemimpin jika bukan karena suara rakyat, bukan?
Konteks yang perlu dicermati di sini, terutama tatanan kepemerintahan. Untuk melumpuhkan kawanan musuh misalkan, bidik sang jenderal, prajuritnya pasti berhamburan. Tata negara pun begitu, jika kepemerintahannya sudah benar, pastinya jejeran di bawahnya turut mengekor. Meski tidak menafikan ada pengecualian dalam beberapa kasus. Tatanan sebuah kepemerintahan dan pemerintah itu sendiri dikatakan baik dan sukses, jika melalui proses yang benar-benar matang. Dalam hal ini, ada dua hal yang perlu dibahas, disadur dari beberapa ulama klasik, dimana antara konsep satu dengan yang lain terdapat pola yang mirip dan saling melengkapi.
Pertama, terpilihnya seorang pemerintah (selanjutnya, kata pemimpin akan selalu merujuk ke pemerintah). Mawardi dalam buku al-Ahkam al-Sulthaniyyah-nya menyatakan bahwa terpilihnya seorang pemimpin merupakan hasil kesepakatan antara Ahl al-Hilli wa al-‘Aqdi atau Ahl al-Ikhtiar dengan calon pemimpin terpilih, berasaskan sebuah kontrak sukarela yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak. Tentunya kontrak ini juga berdasarkan asas timbal-balik. Jadi, pemimpin berhak untuk ditaati oleh rakyat dan menuntut loyalitas penuh dari mereka, tetapi pemimpin juga berkewajiban untuk melindungi dan mengelola kepentingan rakyat dengan baik dan bertanggung jawab. Sedikit berbeda dengan teori kontrak sosial milik Hobbes, Locke maupun Rosseau. Tapi satu hal yang perlu dicatat, Mawardi lebih dulu mengungkapkan teori ini pada abad XI, sedangkan yang berkembang di Eropa baru muncul pada abad XVI.
Di karya fenomenal Two Treaties of Government, Locke juga menyatakan hal senada. Ada konsekuensi yang tercipta dari kontrak rakyat dengan pemerintah, bahwa pemerintahan adalah suatu trust (amanah), sedangkan rakyat berfungsi sebagai pemberi amanah sekaligus beneficiary (yang diamanahkan) dan pemerintah di sini adalah trustee (penerima amanat). Jadi, pemerintahan adalah amanah yang diberikan oleh rakyat kepada pemimpin terpilih yang mengindikasikan bahwa rakyat ikhlas terpimpin dan mengakui kredibilitas ‘yang terpilih’ sebagai pemerintah mereka. Di sini, Locke lebih menekankan bahwa kewajiban yang ditampuk pemerintah lebih krusial dibandingkan hak yang diperoleh. Rakyat pun berhak untuk menarik amanah yang telah mereka berikan kepada pihak penerima amanah, jika dia mengabaikan kewajiban-kewajibannya. Maka, pemimpin tidak boleh semena-mena menjalankan tugas. Kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan secara penuh, karena apa yang ia pegang tidaklah kekal, sekedar semu dan bisa dilepas kapan saja.
Di sini ada benang merah yang bisa ditarik. Mandat, tanggung jawab, atau amanah (trust), begitu Ibnu Taimiyah menyebutnya dalam buku Siyasah Syar’iyyah fii Islahi al-Ro’i wa al-Ro’iyyah, meminjam istilah dari surat an-Nisa ayat 58. Amanah ini adalah hasil dari kontrak antara pemimpin dengan rakyat, dan amanah ini langsung diprakarsai dan dijaga oleh Empunya Segala. Jadi, menurut Ibnu Taimiyah, terpilihnya seorang pemimpin tidak lain karena kehendak Allah SWT dan pemimpin adalah wali-Nya. Dia juga mengatakan bahwa pemimpin negara wajib menyampaikan amanah kepada pihak yang berhak dan berlaku adil.
Oleh karena itu, hal kedua yang perlu diperhatikan untuk seorang pemimpin adalah penyampaian amanah dan berlaku adil. Ibnu Taimiyah menjelaskan konsep tersebut dengan realita yang ia alami, dimana dia hidup pada masa dunia Islam sedang dalam puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial, dan dekadensi moral. Bagi Ibnu Taimiyah, amanah yang terkandung dalam surat al-Nisaa: 58 mempunyai dua arti.
Satu, amanah merupakan segala kepentingan rakyat yang wajib dikelola oleh pemerintah. Pengelolaan tersebut hanya berjalan baik dan sempurna jika pemerintah terpilih benar-benar cakap dan mampu. Sedikit berbeda dengan pengertian Mawardi, dimana amanah adalah produk dari kontrak sosial antara kedua pihak. Arti kedua, yaitu amanah tersebut adalah kewenangan memerintah yang dimiliki oleh pemimpin dan jika dalam pelaksanakannya membutuhkan bantuan wakil seperti menteri, dll, maka dalam pengangkatannya tidak boleh ada unsur subjektifitas dan nepotisme. Tapi jika memang tidak ditemui seseorang yang bukan ahlinya, maka boleh mengangkat siapa saja yang dianggap pantas dengan memperhatikan dua faktor: kekuatan karakter yang sesuai dengan bidang tempat ia bekerja nanti, serta integritas yang dinilai dari ketakwaannya kepada Allah secara utuh dan kesetiaan kepada hukum Islam dengan mendalam.
Maka, terpilihnya pemimpin adalah tanggung jawab rakyat, karena secara tak langsung, rakyat-lah yang memilih pemimpin mereka. Dalam prosesnya, tercipta sebuah perjanjian kasat mata antara pemimpin dan rakyatnya. Rakyat rela dipimpin, siap dikomandoi, siap loyal, tapi pemimpin juga harus siap bertanggung jawab, siap berlaku adil dan siap mengelola urusan rakyat. Keterpahaman ini terbentuk secara otomatis. Jadi, ketika pemimpin sudah tidak lagi mengindahkan urusan kepemimpinannya, tidak ada salah bagi rakyat untuk memintanya mundur. Teorinya simpel, meski aplikasinya sulit. Kepatuhan mutlak pada pemimpin hanya terjadi ketika pemimpin dan rakyat sama-sama melaksanakan amanah masing-masing. Dan kasus yang acapkali terjadi, kesalahan terletak pada pemimpin yang terlena janji, terbuai fasilitas dan tidak mendengar keluhan rakyat. Jika sudah seperti ini, pemimpin-lah yang salah karena melanggar amanah yang sudah disepakati. Maka jika pemimpin lalim berkuasa dan sistem yang berlaku telah termonopoli, meski tidak harus, kudeta selalu bisa menjadi opsi.
Masisir juga punya republik. Bak negara mungil, ada sistem, ada trias politika. Mengaca pada Indonesia, masyarakat Masisir juga tidak buta. Mereka paham dinamika, paham sosialita dan bosan digombali. Jadi pemimpin yang terpilih adalah hasil kesadaran komunal yang terbangun atas kepercayaan kolektif, bukan rekayasa prajurit kampanye. Berangkat dari asas ini, bisa disimpulkan bahwa suara mayoritas menentukan. Lantas timbul pertanyaan, jika pemimpin mendzalimi rakyat, itu salah pemimpin atau yang dipimpin? Kan rakyat sendiri yang memilih pemimpin? Mereka yang terpilih untuk memimpin juga tidak mungkin menjadi pemimpin jika bukan karena suara rakyat, bukan?
Konteks yang perlu dicermati di sini, terutama tatanan kepemerintahan. Untuk melumpuhkan kawanan musuh misalkan, bidik sang jenderal, prajuritnya pasti berhamburan. Tata negara pun begitu, jika kepemerintahannya sudah benar, pastinya jejeran di bawahnya turut mengekor. Meski tidak menafikan ada pengecualian dalam beberapa kasus. Tatanan sebuah kepemerintahan dan pemerintah itu sendiri dikatakan baik dan sukses, jika melalui proses yang benar-benar matang. Dalam hal ini, ada dua hal yang perlu dibahas, disadur dari beberapa ulama klasik, dimana antara konsep satu dengan yang lain terdapat pola yang mirip dan saling melengkapi.
Pertama, terpilihnya seorang pemerintah (selanjutnya, kata pemimpin akan selalu merujuk ke pemerintah). Mawardi dalam buku al-Ahkam al-Sulthaniyyah-nya menyatakan bahwa terpilihnya seorang pemimpin merupakan hasil kesepakatan antara Ahl al-Hilli wa al-‘Aqdi atau Ahl al-Ikhtiar dengan calon pemimpin terpilih, berasaskan sebuah kontrak sukarela yang melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak. Tentunya kontrak ini juga berdasarkan asas timbal-balik. Jadi, pemimpin berhak untuk ditaati oleh rakyat dan menuntut loyalitas penuh dari mereka, tetapi pemimpin juga berkewajiban untuk melindungi dan mengelola kepentingan rakyat dengan baik dan bertanggung jawab. Sedikit berbeda dengan teori kontrak sosial milik Hobbes, Locke maupun Rosseau. Tapi satu hal yang perlu dicatat, Mawardi lebih dulu mengungkapkan teori ini pada abad XI, sedangkan yang berkembang di Eropa baru muncul pada abad XVI.
Di karya fenomenal Two Treaties of Government, Locke juga menyatakan hal senada. Ada konsekuensi yang tercipta dari kontrak rakyat dengan pemerintah, bahwa pemerintahan adalah suatu trust (amanah), sedangkan rakyat berfungsi sebagai pemberi amanah sekaligus beneficiary (yang diamanahkan) dan pemerintah di sini adalah trustee (penerima amanat). Jadi, pemerintahan adalah amanah yang diberikan oleh rakyat kepada pemimpin terpilih yang mengindikasikan bahwa rakyat ikhlas terpimpin dan mengakui kredibilitas ‘yang terpilih’ sebagai pemerintah mereka. Di sini, Locke lebih menekankan bahwa kewajiban yang ditampuk pemerintah lebih krusial dibandingkan hak yang diperoleh. Rakyat pun berhak untuk menarik amanah yang telah mereka berikan kepada pihak penerima amanah, jika dia mengabaikan kewajiban-kewajibannya. Maka, pemimpin tidak boleh semena-mena menjalankan tugas. Kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan secara penuh, karena apa yang ia pegang tidaklah kekal, sekedar semu dan bisa dilepas kapan saja.
Di sini ada benang merah yang bisa ditarik. Mandat, tanggung jawab, atau amanah (trust), begitu Ibnu Taimiyah menyebutnya dalam buku Siyasah Syar’iyyah fii Islahi al-Ro’i wa al-Ro’iyyah, meminjam istilah dari surat an-Nisa ayat 58. Amanah ini adalah hasil dari kontrak antara pemimpin dengan rakyat, dan amanah ini langsung diprakarsai dan dijaga oleh Empunya Segala. Jadi, menurut Ibnu Taimiyah, terpilihnya seorang pemimpin tidak lain karena kehendak Allah SWT dan pemimpin adalah wali-Nya. Dia juga mengatakan bahwa pemimpin negara wajib menyampaikan amanah kepada pihak yang berhak dan berlaku adil.
Oleh karena itu, hal kedua yang perlu diperhatikan untuk seorang pemimpin adalah penyampaian amanah dan berlaku adil. Ibnu Taimiyah menjelaskan konsep tersebut dengan realita yang ia alami, dimana dia hidup pada masa dunia Islam sedang dalam puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial, dan dekadensi moral. Bagi Ibnu Taimiyah, amanah yang terkandung dalam surat al-Nisaa: 58 mempunyai dua arti.
Satu, amanah merupakan segala kepentingan rakyat yang wajib dikelola oleh pemerintah. Pengelolaan tersebut hanya berjalan baik dan sempurna jika pemerintah terpilih benar-benar cakap dan mampu. Sedikit berbeda dengan pengertian Mawardi, dimana amanah adalah produk dari kontrak sosial antara kedua pihak. Arti kedua, yaitu amanah tersebut adalah kewenangan memerintah yang dimiliki oleh pemimpin dan jika dalam pelaksanakannya membutuhkan bantuan wakil seperti menteri, dll, maka dalam pengangkatannya tidak boleh ada unsur subjektifitas dan nepotisme. Tapi jika memang tidak ditemui seseorang yang bukan ahlinya, maka boleh mengangkat siapa saja yang dianggap pantas dengan memperhatikan dua faktor: kekuatan karakter yang sesuai dengan bidang tempat ia bekerja nanti, serta integritas yang dinilai dari ketakwaannya kepada Allah secara utuh dan kesetiaan kepada hukum Islam dengan mendalam.
Maka, terpilihnya pemimpin adalah tanggung jawab rakyat, karena secara tak langsung, rakyat-lah yang memilih pemimpin mereka. Dalam prosesnya, tercipta sebuah perjanjian kasat mata antara pemimpin dan rakyatnya. Rakyat rela dipimpin, siap dikomandoi, siap loyal, tapi pemimpin juga harus siap bertanggung jawab, siap berlaku adil dan siap mengelola urusan rakyat. Keterpahaman ini terbentuk secara otomatis. Jadi, ketika pemimpin sudah tidak lagi mengindahkan urusan kepemimpinannya, tidak ada salah bagi rakyat untuk memintanya mundur. Teorinya simpel, meski aplikasinya sulit. Kepatuhan mutlak pada pemimpin hanya terjadi ketika pemimpin dan rakyat sama-sama melaksanakan amanah masing-masing. Dan kasus yang acapkali terjadi, kesalahan terletak pada pemimpin yang terlena janji, terbuai fasilitas dan tidak mendengar keluhan rakyat. Jika sudah seperti ini, pemimpin-lah yang salah karena melanggar amanah yang sudah disepakati. Maka jika pemimpin lalim berkuasa dan sistem yang berlaku telah termonopoli, meski tidak harus, kudeta selalu bisa menjadi opsi.