Mungkin salah satu alasan mengapa buku-buku motivasi beredar, karena masih banyak orang yang tidak sadar jika kunci sukses hidup ada di tangannya, bukan di orang lain. Kesuksesan dalam hal ini bukan semata nilai duniawi semata, pertimbangan moral, kebutuhan atas pengakuan eksistensi atau perkembangan karakter seseorang juga begitu.
Dalam sebuah perkumpulan, mungkin terlalu sempit jika saya menggunakan diksi tersebut, tetapi saya berharap kata perkumpulan bisa mewakili. Seseorang yang terjun di dalamnya akan melihat sesuatu dari dalam ke luar bisa dengan pelbagai kacamata, baik skeptis, bening, bahkan hitam pekat. Tetapi pandangan tersebut masih tertutup dengan sekat bernama perkumpulan itu sendiri. Jika kita mencoba menjauh sesaat dan melihatnya dari luar, acapkali kita bisa melihat kebobrokan yang semula tidak tampak dari dalam.
Saya sangat prihatin jika melihat suatu kelompok yang terlalu didominasi oleh sebuah pihak atau seseorang, sedang yang lain tidak menyadari jika mereka sedang dikendalikan. Dalam hal ini, karisma dan retorika seseorang itu berpengaruh sekali. Kita bisa melihat figur-figur besar dalam setiap keadaan atau bahkan sejarah, cenderung dipenuhi banyak retoris. Manusia yang tidak berpikir kritis dan hanya mengiyakan perkataan karib atau kolega yang mereka percayai, selamanya akan didominasi oleh control-freak seperti para retoris itu.
Misal ada beberapa ide yang terlontar, dan itu berasal dari mulut orang yang tidak kamu hormati atau sayangi, meski ide tersebut gemilang, apakah kamu akan mendengarkannya? Nihil. Jarang ada orang yang bisa berpikiran terbuka dalam hal tersebut. Nepotisme, pilih kasih dan hal-hal sentimentil lain sepertinya sudah terlalu mendarah daging di dalam diri kita. Kalau kamu menyangkal karena tahu kamu tidak seperti itu, baguslah. Kalau kamu menyangkal karena kamu tidak tahu jika kamu seperti itu, sangat disayangkan. Saya bukan siapapun jadi celotehan ini silahkan diampaskan, karena secara naluriah memang tidak ada singa yang mau tunduk sukarela kepada singa lain. Apakah kamu singa? Belum tahu.
Kembali ke motivasi diri dan krisis nalar kritis. Sampai sekarang saya masih mempertanyakan, apakah nalar kritis itu dilihat dari sebanyak apa mulut kita sampai berbusa ketika berbicara tanpa mau memasang telinga atas kritikan orang, atau seberapa keras kita berjuang menahan sabar dari tatapan dan mulut penuh sindir saat kita sedang berupaya. Jawaban yang benar seharusnya yang kedua, cuma banyak juga yang terpengaruh, mungkin dari pergaulan atau wacana mereka terhadap kultur-kultur asing salah kaprah, dan meyakini semakin besar dan banyak bualan kita, semakin tinggi pula nilai diri di hadapan khalayak.
Sayangnya, era milenial, terdukung dengan jaringan sosmed yang penuh dengan ajang unjuk gigi, mendukung jawaban pertama tadi.
Sampai sekarang saya bingung, bagaimana cara bahagia tanpa membuat yang lain iri. Pastinya tidak ada, kodrat manusia memang diciptakan sebagai makhluk tamak. Cukup belajar sabar aja, semakin sering menderita, hatimu semakin baja. Jawaban yang cukup permisif memang, tapi toh ada hikmah yang bisa dipetik dari kalimat tersebut, konon. Pertanyaan lain, sejauh mana seseorang menyadari motif dari suatu tindakan? Apalagi jika tindakan-tindakan tersebut berakibat masif?
Para psikolog Barat menjelaskan motif tindakan seseorang berdasarkan banyak faktor, tidak akan saya ulas di sini, tapi menekankan ke 'bagaimana', jika kita mempelajarinya, tentunya kita akan mampu merancang beberapa rencana berlangkah-langkah jauhnya ke depan. Bagaimana cara melatih diri untuk bisa melihat motif seseorang dengan benar, tanpa tertipu - meminjam istilah Jung - Persona yang seseorang kenakan. Tentunya hal ini hanya bisa dilatih dengan ketekunan dan intensitas interaksi, atau pengalaman berkomunikasi bertujuan menyerap, bisa ilmu atau apa saja dari lawan bicara, kemudian memasang jarak dan memosisikan diri dengan menganggap lawan bicara kita sebagai objek penelitian. Mengamatinya dengan cermat, penuh detil, hingga ke sudut paling dalam, dan tidak berhenti untuk menarik konklusi sebelum memilahnya dengan berbagai macam variabel yang ada.
Sayangnya, seringkali hal tersebut hanya berlaku kepada seseorang yang kita minati, bisa karena cinta atau penasaran. Ketika kita acuh kepada sesuatu atau seseorang, kita terima saja ucapan atau data yang sampai ke telinga, tanpa konfirmasi. Fatabayyanu, fatabayyanu, biasanya cuma jadi pengingat saat kita yang jadi korban.