Barangkali kesalahan dek Afi dan om Hartanto bukan berasal dari diri mereka, melainkan masyarakat di sekitarnya. Dan kita adalah bagian dari masyarakat itu. Manusia memang mudah terpesona dengan sesuatu yang menyilaukan mata, menyibukkan diri dengan rumor yang sedang panas-panasnya, mengikuti tren yang ada tanpa tedeng aling-aling dan langsung mengecap sesuatu dari tampilan zahir. Umum dan remeh memang. Tetapi kita tahu, sebuah kesalahan yang kerap dilakukan berulang kali bisa menjadi kebiasaan yang membentuk karakter tanpa disadari.
Boleh jadi Dek Afi dan Om Hartanto adalah korban.
Masyarakat kerap menilai baik-buruknya seseorang dari prestasi dan penampilan. Pria berdasi dan berpakaian rapi lebih mudah memantik kharisma dan memancing hormat dari lawan bicara dibanding pria berambut panjang, berbaju kumal dengan celana jins yang bolong di lututnya. Orang akan lebih mendengarkan argumen seseorang yang terkesan ilmiah dengan sesekali mencomot kutipan dari sana-sini dibandingkan perkataan jujur yang tidak sistematis dan sedikit terbata-bata. Seorang pendiam yang lebih banyak mengucilkan diri untuk berkarya dan menulis akan lebih mudah menerima fitnah dibanding seorang bermulut besar tetapi aktif dalam kegiatan warga, meski niatannya cuma setor muka dan bertegur sapa.
Saya bisa mengatakan, bahwa pada beberapa tahun ke depan akan semakin banyak Dek Afi dan Om Hartanto lain yang bermunculan jika budaya kritis dan peka-sekitar semakin terkikis dan orang-orang mudah sekali menyebarkan sebuah berita tanpa sama sekali ada niatan mengklarifikasi. Jika kebiasaan ini dibiarkan berlangsung, generasi kini dan mendatang akan semakin tertutup pikirannya dan bakal semakin mudah menyalahkan. Sebuah kabar tidak mengenakkan tersebar, dan semua orang berbondong-bondong mengiyakan. Semua ramai menyalahkan, dan yang mencoba berempati atau tidak ikut-ikutan dengan maksud untuk menyelidiki akan dikucilkan.
Tidak heran akhirnya orang akan mencoba mencari jalan pintas dan berpikir: jika aku bukan dari golongan berada dan kemampuanku pas-pasan, bagaimana caranya untuk membuat masyarakat mengakuinya? Walhasil mereka akan menjadikan sosmed sebagai pelarian, karena sosmed tidak memiliki medium untuk memverifikasi. Segala yang diunggah bersifat netral. Benar tidaknya tergantung persepsi pembaca. Terlepas tulisan atau foto yang kerap ditampilkan adalah hasil plagiat atau manipulasi. Toh, jarang ada masyarakat yang kritis. Mereka yang kritis biasanya cuma mereka yang kerdil hati atau kurang kerjaan, begitulah stigma yang biasa beredar.
Freud sudah menulis analisis yang lebih detil terkait kasus di atas dalam Studies on Hysteria sejak lama, bagaimana seseorang sangat mencemaskan penampilan, budaya gunjing-menggunjing yang tidak terbatasi moral dan sifat takut dikritik sebagai gejala penyakit jiwa. Hanya saja dengan semakin berkembangnya teknologi informasi, seseorang juga semakin mudah menilai sesuatu berdasarkan nafsu semata. Sengaja kata nafsu yang digunakan di sini–bukan hati, karena jika seseorang menggunakan hatinya dengan baik, maka nurani yang akan berkata. Bukan ego. Ingat sebuah hadis yang mengatakan bahwa di dalam sebuah jasad terdapat segumpal daging, jika dia sakit maka seluruh tubuhnya akan turut sakit. Gumpalan daging tersebut adalah hati. Dari hadis tersebut, kita bisa menyimpulkan dua hal: secara fisik hati termasuk organ yang memiliki peranan penting dalam menetralisir racun, mengatur komposisi kandungan lemak dan gula dalam darah, membuat empedu untuk membantu pencernaan lemak, dan banyak lagi. Dalam pengibaratan metafisik, hati atau qalb juga bisa dimaknai sebagai jiwa. Rusaknya jiwa seseorang mampu menyebabkan rusaknya salah satu atau seluruh tubuh.
Psikolog Barat cenderung memaknai hati sebagai jiwa. Dalam Psikologi dan Agama, Carl Jung menjelaskan alasan rusaknya jiwa seseorang sebagai penyebab sakit fisik, dan pemicu terjadinya neurosis atau psikoneurosis: suatu kelainan mental yang mempengaruhi kepribadian seseorang tanpa mengganggu fungsi rasionalnya. Neurosis ini menyebabkan orang untuk sangat berhati-hati terhadap penampilan luar, rapuh dikritik, malu berlebihan, mudah cemas dan puncaknya: jatuh stress. Seseorang yang menderita neurosis mudah terpengaruhi lawan bicara, sehingga dia selalu berhati-hati dalam melakukan sesuatu dan mengevaluasi gayanya tiap dalam hitungan mikro detik untuk membuat orang-orang di sekitarnya terus memuji dan tidak mengkritisinya. Karena dia sangat rentan dikritik, maka dia selalu memperhitungkan agar topeng yang dikenakan adalah topeng terbaik dan mengikuti arus. Dia sangat takut untuk dikucilkan atau dianggap berbeda, sehingga dia selalu mengikuti tren yang beredar.
Meski neurosis sudah dihapus dari klasifikasi kelainan jiwa dan digolongkan bersama gangguan-gangguan impuls seperti anxiety (cemas), disosiatif, mood, dan semacamnya oleh American Psychiatric Association pada tahun 1974–salah satunya karena kesulitan yang muncul saat mendefinisikan kewarasan seseorang, tetapi saya tetap mengikuti pendapat Freud dan Jung bahwa neurosis muncul jika seseorang terlalu membentengi hatinya untuk berekspresi sehingga mengganggu pola-pola adaptif dirinya. Neurosis akan menghalangi kebebasan seseorang untuk berkembang, mengurangsi fleksibilitas pemikiran, perilaku dan emosinya, sehingga memunculkan paranoia berlebihan dan rasa cemas yang tak kunjung akhir dan bisa berujung depresi.
Para ahli menjelaskan bahwa pemicu terjadinya neurotik ini adalah konflik antara id, yang mengatur pemenuhan kebutuhan hidup, dengan ego yang berusaha menjaga bagaimana kebutuhan hidup bisa terpenuhi tanpa berbenturan dengan realitas. Faktor lain juga bisa tercipta jika kesadaran seseorang berbanding terbalik dengan egonya. Seseorang yang sangat memperhatikan kesehatan dan kebersihan akan mudah mengait-ngaitkan munculnya suatu penyakit yang berbahaya pada tubuhnya usai membanding-bandingkannya dengan artikel kesehatan yang ia baca, terlebih jika gejala-gejala ringan yang muncul pada tubuhnya sama seperti gejala yang terdapat pada suatu penyakit kronis tertentu seperti kanker, misalkan. Dia cenderung melebih-lebihkan sesuatu, meski sudah berkonsultasi dengan dokter terpercaya dan menetapkan tidak ada kanker dalam tubuhnya, dia tetap keukeuh dengan kepercayaannya dan terus mengeluh. Penderita kanker imajiner tersebut jika dibiarkan akan bisa memaksa tubuh untuk benar-benar menciptakan kanker sungguhan atas reaksi dari dorongan sugesti yang kuat, mempengaruhi tindakan dan pola makan tanpa disadari, menciptakan darah kotor yang tersumbat dan semakin lama memicu kanker.
Begitu juga yang terjadi dalam kasus Afi dan Hartanto. Jika orang-orang di sekitarnya tidak mampu mengklarifikasi dengan cepat terkait rumor yang beredar atas diri mereka, maka bisa disimpulkan: mereka pandai mengenakan topeng, atau mereka jarang bergaul. Mereka jarang berinteraksi dengan kawan dan keluarga, atau komunikasi yang terjalin sebatas formalitas belaka. Terbukti pengakuan dari guru Afi yang telat muncul dan rekan-rekan PPI Delft yang telat klarifikasi karena kesulitan menggali latar belakang Hartanto. Kita juga bisa menyimpulkan hal yang sama bahwa keduanya sama-sama meraih pamor dari medsos, sedangkan medsos bukanlah refleksi yang menggambarkan karakter sejati seseorang Medsos hanyalah serpihan, itu juga bagi orang-orang yang menyadari. Tapi bagi sebagian orang, medsos adalah proyeksi jati diri seseorang. Selama yang ditampilkan adalah hal-hal baik, maka mudahlah label orang baik tersemat kepada mereka, begitu juga sebaliknya.
Jadi obsesi atau paranoia yang berlebihan terhadap sesuatu, mengasingkan diri tanpa menyibukkan diri dengan hal-hal positif, kurangnya solidaritas dari orang-orang di sekitar dan menyikapi medsos sebagai proyektor karakter sejati seseorang adalah dampak negatif yang mampu mempengaruhi kepribadian. “Sudah sewajarnya setiap orang membutuhkan orang lain dalam kehidupannya,” begitu adagium masyhur dari Muqoddimah Ibn Khaldun. Timbal balik dari orang lain, pola pikir yang terbentuk dari himpunan pengalaman baik menyenangkan maupun traumatis dan kemampuan untuk menggali hikmah di kala sedih atau bahagia, itulah yang akan membentuk diri manusia dan bisa menjauhkan mereka dari penyakit-penyakit jiwa, atau hati menurut ulama Islam.
Merujuk pada kasus di atas, rasa cemas dan takut akan runtuhnya imej berasal dari dengki yang mengakar setelah melihat prestasi mengagumkan orang lain, dan memaksanya mengukir kebohongan demi kebohongan untuk menciptakan karakter imajiner agar orang-orang lain menatapnya terkesima. Penyakit semacam ini disebut dengan Mithomania (masih tergolong sebagai neurosis). Setiap orang memiliki neurosis potensial dalam dirinya, dan bisa terjangkiti Mithomania atau neurosis lain tergantung bagaimana dia mengelola jiwanya dengan cerdas. Ketika seseorang sanggup mengelola emosi dengan baik dan proporsional, mampu menerima dirinya secara utuh dengan mengakui kelebihan dan kekurangan yang ia miliki, serta berani mengembangkan potensi dirinya setelah menelan bulat-bulat kenyataan bahwa dirinya tidak sempurna dan mengerti tidak ada sesuatu yang instan bahkan butuh proses untuk menjadi sebuah pribadi yang matang. Dengan begitu, maka tidak ada lagi adek-adek gemes seperti Afi dan om-om nakal laiknya Hartanto yang lahir dari konsensus sosial.
“Orang beruntung adalah orang yang mengetahui untuk apa dia diciptakan, bekal apa yang telah dipersiapkan, dan mencari hal yang bersifat duniawi untuk sekadar memenuhi kebutuhan pokoknya,” begitu yang ditulis oleh Abdul Khaliq el-Syarbawi dalam Maratib al-Nafs miliknya. Menonjolkan prestasi berlebihan akan menumbuh-kembangembangkan sifat arogan, padahal hanya Sang Pencipta yang boleh berbaju kesombongan.
* - late post dari tahun 2017.
0 comments:
Post a Comment