Puisi
bukan semena-mena untaian kata-kata yang indah yang diracik sedemikian rupa,
dengan maksud tertentu, lantas disuguhkan begitu saja seperti melepas burung
dari kurungan menuju alam bebas. Kemudian pujian demi pujian bertubi-tubi
datang. Ada yang memuji diksi, ada yang memuji metafora, ada yang mengkritik
sudut pandang.
Puisi
bukan sekedar karya yang tertuang untuk menuai sanjung. Juga jangan
disempitmaknakan sebagai ‘puisi kamar’. Sekedar sebuah karya hasil curhatan
yang meletup sesat, tidak ada simbiosis dari fenomena sekitar atau tidak mampu
menenggelamkan pembaca dalam melankoli penyair. Walhasil, cuma kata-kata
serapah yang dibalut madu jadinya. Atau katakan, ungkapan-ungkapan rindu
dibalut kemelut yang menebar simpati. Bakal hangus oleh waktu jika
‘perenungannya’ kurang.
Jika
diibaratkan puisi sebagai fondasi, maka pantun sebagai bagian kesusasteraan
Indonesia adalah tonggak sejarah peradaban Indonesia. Braginsky dalam bukunya Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah
Sastra Melayu dalam abad 7-19, terjemahan Hersri Setiawan, menyatakan bahwa
dasar tradisi kebudayaan Melayu adalah sastra. Tentu saja hal ini tidak berarti
bahwa kebudaan Melayu tidak menghasilkan pencapaian di bidang-bidang lainnya.
Dasar tradisi Melayu ini (sastra, pen.), baru ada semenjak abad ke-16, tertera
pada sebuah manuskrip dengan aksara Jawi dan menggunakan bahasa Melayu.
Ketika orang Melayu mulai mengenal agama Hindu dan Buddha yang berasal
dari India, mereka turut mengadopsi bahasa dan aksara yang digunakan di dalam
dua agama tersebut. Lantas mereka mengintegrasikannya dengan bahasa asli, dan
mulai menciptakan karya-karya tertulis berdasarkan kaidah-kaidah yang terserap.
Tujuan mulanya, tentu agar perasaan dan pikiran mereka yang tercurahkan dalam
karya bahasa, memiliki kemungkinan lebih besar untuk kekal.
Maka, sebenarnya apa itu puisi?
Puisi sebagai Aku
Puisi (dari bahasa Yunani kuno: ποιÎω/ποιῶ (poiéo/poió)
= I create) adalah seni tertulis di mana bahasa digunakan
untuk kualitas estetiknya untuk tambahan, atau selain arti semantiknya.
Sedangkan puisi dalam KBBI adalah: ragam sastra
yg bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait; 2
gubahan dl bahasa yg bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga
mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus
lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus. Definisi terakhir, puisi dengan
sajak dimiripkan. Meski kini, sajak lebih bebas daripada puisi. Puisi lebih
pendek daripada prosa.
Penekanan pada segi estetik suatu bahasa dan
penggunaan sengaja pengulangan, meter
dan rima adalah yang membedakan puisi dari prosa. Namun perbedaan ini masih
diperdebatkan. Beberapa ahli modern memiliki pendekatan dengan mendefinisikan
puisi tidak sebagai jenis literatur tapi sebagai perwujudan imajinasi manusia,
yang menjadi sumber segala kreativitas. Selain itu puisi juga merupakan curahan
isi hati seseorang yang membawa orang lain ke dalam keadaan hatinya.
Contoh puisi-puisi
milik Sapardi DD:
Aku Ingin
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Hatiku Selembar Daun
hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
Baris-baris pada
puisi juga dapat berbentuk apa saja (melingkar, zigzag dan lain-lain). Hal
tersebut merupakan salah satu cara penulis untuk menunjukkan
pemikirannnya. Puisi kadang-kadang juga hanya berisi satu kata/suku
kata yang terus diulang-ulang. Bagi pembaca hal tersebut mungkin membuat
puisi tersebut menjadi tidak dimengerti. Tapi penulis selalu memiliki alasan
untuk segala ‘keanehan’ yang diciptakannya. Puisi-puisi seperti ini sering
ditemukan dalam karya-karya Sutardji Calzoum Bachri:
Mantera
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mangasapi duka
puah!
kau jadi Kau
Kasihku
Tragedi Winka dan Sihka
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku
Tak ada yang
membatasi keinginan penulis dalam menciptakan sebuah puisi. Jadi, sebenarnya
tidak ada yang salah dalam berkarya. Di sini, menulis puisi. Idealnya,
manifestasi ide dan refleksi perasaan yang ada dalam diri, dipadatkan dalam beberapa
bait. Tulisan yang muncul bakal menjadi cermin, sejauh mana pengalaman
seseorang berkelana dalam rimba kehidupana dan sejauh mana perenungan
yang dihasilkan. Apakah sekedar jelmaan mood yang meletup seperti popcorn
kemudian lenyap? Atau belati yang menghujam dalam batin mereka semua yang
melempar mata ke kata?
Pelangi di atas
Putih
Ada beberapa
perbedaan antara puisi lama dan puisi baru. Puisi lama santun dengan model
pantunnya. Bisa dilihat sekarang, ragam daerah mana yang sering menggunakan
pantun sebagai alat tergur sapa. Pasti daerah Sumatera. Puisi baru lebih bebas.
Konon, sudah dimulai sejak periode Pujangga Lama (ala periodisasi sastra HB
Jassin) mengikut keinginan Sutan Tadir Alisjahbana untuk menjadikan seni
sebagai seni, dan mewujudukan asimilasi kebudayaan Barat dalam dunia sastra
Indonesia. Chairil Anwar, pada periode 45, pun muncul sebagai pelopor pembaharu
puisi.
Ironisnya yang
terjadi kini, beberapa kasus mengenai puisi modern makin memprihatinkan jika
ditilik dari pokok dan kaidah puisi itu sendiri, yaitu ‘pemadatan kata’.
kebanyakan penyair aktif sekarang baik pemula ataupun bukan lebih mementingkan
gaya bahasa dan bukan pada pokok puisi tersebut.
Menulis puisi
dengan baik itu gampang-gampang susah. Ada orang yang mengatakan “Saya bisa
menulis puisi jika sedang berada di kamar yang sunyi.” Ada pula yang mengatakan
“Saya bisa menulis puisi di mana saja.” Pendapat lain mengatakan “Saya bisa
menulis puisi saat hati saya sedang sedih.”
Ungkapan-ungkapan
di atas, hanya sebagian kecil saja pendapat orang tentang menulis puisi.
Ada berbagai cara yang bisa digunakan untuk mengasah keterampilan menulis puisi
dengan baik dan benar.
Langkah
gampangnya, puisi dapat ditulis berdasarkan catatan harian. Ikutilah langkah
berikut ini jika Anda akan menulis puisi berdasar catatan harian:
1. Baca dan
renungkan isi catatan harian yang Anda miliki.
2. Coretlah kata-kata yang tidak penting dan tambahkan kosakata yang menurut Anda menarik untuk disertakan.
3. Hapuslah baris-baris yang tidak penting.
4. Atur dan urutkan kembali baris-baris yang sudah Anda pilih.
5. Bacalah kembali hasil akhir baris-baris itu.
6. Suntinglah kembali baris-baris itu sehingga menjadi baris-baris puisi yang menarik.
2. Coretlah kata-kata yang tidak penting dan tambahkan kosakata yang menurut Anda menarik untuk disertakan.
3. Hapuslah baris-baris yang tidak penting.
4. Atur dan urutkan kembali baris-baris yang sudah Anda pilih.
5. Bacalah kembali hasil akhir baris-baris itu.
6. Suntinglah kembali baris-baris itu sehingga menjadi baris-baris puisi yang menarik.
Ini hanya salah satu metode saja. Secara teoretis, banyak
ragam dalam menulis puisi. Berikut kutipan dari teknik menulis puisi oleh
Hastra Indriyana:
Teknik Menulis Puisi (1)
Polisindeton: termasuk dalam gaya bahasa
retoris, yaitu beberapa kata, frasa, klausa berurutan dihubungkan satu sama
lain oleh konjungsi. Secara sekilas, mirip dengan repetisi jika kebetulan
konjungsi yg digunakan sama. Lihat contoh berikut.
Jembatan
telah mengantar orang bukit
Menuju pasar menuju sawah menuju
Sekolah menuju jawaban yang ditanyakan
Seperti halnya air dan pasir yang mengalir
Dari hulu ke hilir melewati kota melewati
Nama-nama desa melewati seribu
Penyeberangan melewati ingatan
Menuju muara
Menuju pasar menuju sawah menuju
Sekolah menuju jawaban yang ditanyakan
Seperti halnya air dan pasir yang mengalir
Dari hulu ke hilir melewati kota melewati
Nama-nama desa melewati seribu
Penyeberangan melewati ingatan
Menuju muara
Teknik Menulis Puisi (2)
Impresi: sesuai dengan namanya, impresi
menekankan pada efek kesan, atau pengaruh yang dalam terhadap pikiran dan
perasaan. Kesan atas efek yg diciptakan ini dipengaruhi oleh kerja indera.
Selanjutnya, pikiran dan perasaan (pembaca) mengolahnya sesuai dengan konteks
yang dimaksudkan. Sebagai contoh, indera visual: penyair menggambarkan imaji
penglihatan atas benda atau peristiwa yang dilihatnya. Deskripsi atau narasi
yang ditulisnya dibentuk sedemikian rupa (biasanya dengan bahasa
sederhana-lugas), dan sekaligus diniatkan untuk mencapai maksud dan makna lain
(tersirat). Lihat contoh puisi Sapardi Djoko Damono (Seekor Ulat) berikut.
Seekor
ulat akhirnya mencapai sekuntum bunga lalu
berhenti di sana. Ia telah memakan beberapa lembar daun
muda di ranting itu, dan kini ia berada di atas sekuntum
bunga: ia pun diam…
berhenti di sana. Ia telah memakan beberapa lembar daun
muda di ranting itu, dan kini ia berada di atas sekuntum
bunga: ia pun diam…
Kata
kunci bait pertama puisi tersebut (untuk menikmati/atau bahkan untuk
memaknainya) adalah: sekuntum bunga; memakan beberapa lembar daun; ia pun diam.
Sajak-sajak Sapardi sarat dengan teknik ini. Salah satu yang sangat saya sukai
adalah “Berjalan ke Barat di Pagi Hari” dan “Peristiwa Pagi Tadi”.
Teknik Menulis Puisi (3)
Alusi: majas perbandingan yang
merunjuk secara tidak langsung seorang tokoh atau
peristiwa; kilatan. Tokoh atau peristiwa yang diacu diambil secara parsial,
atau bahkan secara sekilas. Baiklah, untuk memahaminya, saya tunjukkan contoh
puisi yang sangat terkenal, “Dongeng Sebelum Tidur”, karya Goenawan Mohamad.
Agar pembaca bisa menikmatinya, maka sebelumnya pembaca harus faham seluk beluk
kisah Anglingdarma. Tanpa memahami kisah tersebut, puisi menjadi sebuah karya
yang setengah gagal dinikmati, atau bahkan gagal sama sekali. Puisi lain yang
serupa, misalnya “Malam Tamansari”, karya Suminto A. Sayuti, “Celana Ibu”,
karya Joko Pinurbo, dll.
Dongeng
Sebelum Tidur
“Cicak
itu, cintaku, bercerita tentang kita.
Yaitu nonsens.”
Yaitu nonsens.”
Itulah
yang dikatakan baginda kepada permaisurinya, pada malam
itu. Nafsu di ranjang telah jadi teduh dan senyap merayap antara sendi
dan sprei.
itu. Nafsu di ranjang telah jadi teduh dan senyap merayap antara sendi
dan sprei.
“Mengapa
tak percaya? Mimpi akan meyakinkan seperti matahari
pagi.”
pagi.”
Perempuan
itu terisak, ketika Anglingdarma menutupkan kembali kain
ke dadanya dengan nafas yang dingin, meskipun ia mengecup
rambutnya.
ke dadanya dengan nafas yang dingin, meskipun ia mengecup
rambutnya.
Esok
harinya permaisuri membunuh diri dalam api.
Dan
baginda pun mendapatkan akal bagaimana ia harus melarikan
diri – dengan pertolongan dewa-dewa entah dari mana – untuk tidak
setia.
diri – dengan pertolongan dewa-dewa entah dari mana – untuk tidak
setia.
“Batik
Madrim, Batik Madrim, mengapa harus, patihku? Mengapa
harus seorang mencintai kesetiaan lebih dari kehidupan dan sebagainya
dan sebagainya?”
harus seorang mencintai kesetiaan lebih dari kehidupan dan sebagainya
dan sebagainya?”
1971
Teknik Menulis Puisi (4)
Dramatis: teknik penulisan puisi
yang di dalamnya diciptakan sebuah cerita yang melibatkan konflik atau emosi.
Dalam teknik ini elemen yang ada antara lain: tokoh, cerita/alur, konflik,
dialog. Opening dan ending sangat berpengaruh terhadap efek yang diinginkan. Sifat-sifat
teknik dramatis ini adalah mengesankan, meneror, mengejutkan, dan membuat
penasaran (suspensif). Bacalah opening puisi “Zagreb” karya Goenawan Mohamad
berikut, yang meneror dan menegangkan.
Ibu
itu datang, membawa sebuah bungkusan, datang jauh dari Zagreb.
Ibu itu datang, membawa sebuah bungkusan, berisi sepotong kepala,
dan berkata kepada petugas imigrasi yang memeriksanya: “Ini anakku.”
Ibu itu datang, membawa sebuah bungkusan, berisi sepotong kepala,
dan berkata kepada petugas imigrasi yang memeriksanya: “Ini anakku.”
Untuk
ending, mari kita baca puisi “Dengan Kata Lain”, karya Joko Pinurbo berikut
ini.
Dengan
Kata Lain
Tiba
di stasiun kereta, aku langsung cari ojek.
Entah nasib baik, entah nasib buruk, aku mendapat
tukang ojek yang, astaga, guru Sejarah-ku dulu.
Entah nasib baik, entah nasib buruk, aku mendapat
tukang ojek yang, astaga, guru Sejarah-ku dulu.
“Wah,
juragan dari Jakarta pulang kampung.”
beliau menyapa. Aku jadi malu dan salah tingkah.
“Bapak tidak berkeberatan mengantar saya ke rumah?”
beliau menyapa. Aku jadi malu dan salah tingkah.
“Bapak tidak berkeberatan mengantar saya ke rumah?”
Nyaman
sekali rasanya diantar pulang Pak Guru
sampai tak terasa ojek sudah berhenti di depan rumah.
Ah, aku ingin kasih bayaran yang mengejutkan.
Dasar sial. Belum sempat kubuka dompet, beliau
sudah lebih dulu permisi lantas melesat begitu saja.
sampai tak terasa ojek sudah berhenti di depan rumah.
Ah, aku ingin kasih bayaran yang mengejutkan.
Dasar sial. Belum sempat kubuka dompet, beliau
sudah lebih dulu permisi lantas melesat begitu saja.
Di
teras rumah Ayah sedang tekun membaca koran.
Koran tampak capek dibaca Ayah sampai huruf-hurufnya
berguguran ke lantai, berhamburan ke halaman.
Koran tampak capek dibaca Ayah sampai huruf-hurufnya
berguguran ke lantai, berhamburan ke halaman.
Tak
ada angin tak ada hujan, Ayah tiba-tiba
bangkit berdiri dan berseru padaku: “Dengan kata lain,
kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu.”
bangkit berdiri dan berseru padaku: “Dengan kata lain,
kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu.”
(2004)
Teknik Menulis Puisi (5)
Anadiplosis: repetisi dengan mengulang
kata atau frasa terakhir suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa
pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Dua bait pertama puisi “Puake”
karya Sutardji Calzoum Bachri di bawah adalah contohnya.
puan
jadi celah
celah jadi sungai
sungai jadi muare
muare jadi perahu
celah jadi sungai
sungai jadi muare
muare jadi perahu
perahu
jadi buaye
buaye jadi puake
puake jadi pukau
pukau jadi mau
buaye jadi puake
puake jadi pukau
pukau jadi mau
Penutup:
Jejak Sejarah
Yang jelas,
manusia dikenal atas karyanya. Kali ini kita berbicara puisi, jadilah puisi
sebagai bukti. Maka menulislah sebagai bukti bahwa kita ada. Bukan sebagai
pencitraan, tetapi seruan. Sejak zaman praproklamasi, puisi sudah menjadi
senjata yang dituliskan di koran-koran, majalah-majalah, untuk mengajak
berperang. Sekarang, kita mau menjadikan puisi sebagai apa? Jangan cuma hiasan
kamar atau dinding laptop. Era globalisasi, kita lagi perang ideologi. Saatnya
mencongkel mata-mata buta yang terbuai di kealpaan, apatis sama sekitar.
0 comments:
Post a Comment