“Si Claudio kenapa senyum-senyum gitu?” tunjuk Sandro ke
pojok gang. Kawan-kawannya yang lain langsung menoleh. Benar saja, Claudio yang
pendiam, yang senangnya menyendiri, sibuk dengan dunianya sendiri dan jarang
bertukar tawa dengan kawanan lainnya, kini malah berlari ke arah mereka. Wajahnya
sumringah benar. Gerombolan pengemis itu langsung saling berbisik, ada apa dengan
Claudio?
Masih tersengal, Claudio berusaha mengatur nafas. Kawanan
pengemis lain masih melongo heran menatap sosok ceking yang berdiri di hadapan
mereka. Claudio tersenyum lagi, lebih lebar, seperti menyeringai. Terbata-bata,
setengah berteriak dia berkata:
“A-Aku bisa menghipnotis orang!”
Kaget dan bingung. Spontan lima orang berbaju
compang-camping yang duduk di atas tumpukan kardus bekas pizza pada sebuah
ujung gang paling kotor dan paling tidak terawat di Napoli, celingukan, saling melihat
satu sama lain. Mereka tidak berbicara, tapi dalam hati, berpikiran sama. Jadi
ini alasan si Claudio sering menyendiri? Dia berlatih… hipnotis?! Tapi Claudio,
pengemis ceking yang tadi akunya bisa menghipnotis orang, berlagak bak pesulap
yang pernah ia tonton di televisi dulu, mengisyaratkan lima calon penonton di
depannya untuk segera berdiri. Semula lima sekawan itu enggan, tetapi Claudio
sangat memaksa. “Akan aku buktikan!” begitu ucapnya. Sebagai sobat yang agak
sering ngobrol dengan Claudio, Sandro pun mendorong kawanan lainnya untuk mulai
berjalan.
Claudio sibuk memacu langkah. Di mukanya, benar-benar
terpancar rasa percaya diri dan aura kharismatik. Dalam benaknya, dia sudah
menjadi orang yang berbeda. Claudio bukan lagi seorang pengemis yang
sehari-harinya mengais sampah, menengadahkan tangan, air liur menetes setiap
melihat lelaki berjas rapi dengan mobil-mobil mewah mereka, atau wanita-wanita
malam yang berlagak centil tetapi selalu membuang muka setiap lewat di depannya.
Tidak! Sekarang, dia adalah manusia superior. Calon bintang
yang bakal melegenda di Itali, lebih dari Carlos, pesepakbola handal dari tim Calcio
yang terkenal itu!
Tidak lama, enam pria mulai mendongakkan kepala. Pandangan
mereka mengarah ke sebuah kafe, semua mulut terganga, dikurangi satu muka. Beberapa
pejalan kaki yang lewat di sana, menatap heran enam orang yang berjaket lusuh, dengan
kain rajut serba compang-camping dan rambut wajah bercabang ke mana-mana. Claudio
segera mengisyaratkan teman-temannya untuk menunggu di luar kafe, sementara dia
masuk.
Di dalam, Claudio melihat beberapa orang sudah duduk sembari
menikmat kopi. Ada sosok yang terkesan tidak asing, berbaju rapi, duduk
berpangku kaki sambil menikmati rokoknya. Wajahnya yang berkeriput tetapi sorot
mata tegas dan dahi yang lebar, tanda dia bukan orang biasa. Dia
mengingat-ngingat sebentar, apakah pernah melihatnya di suatu tempat. Claudio
memilih acuh dan mendekati meja kasir, langsung melakukan ritualnya.
Di luar, Sandro dan empat kawan lainnya hanya melihat Claudio
yang berjalan masuk kafe parlente ini dengan santainya, langsung menuju meja
kasir, menggerak-gerakkan tangannya dan… velata, secangkir câffelatte
tersaji! Seakan mengerti jalan pikiran tema-temannya di luar, Claudio melihat
balik ke arah mereka dengan senyum, seolah-olah berkata, Lihat, aku
berhasil! Setelah Claudio keluar, serempak lima kawannya berebut tanya.
“Kok bisa?”
“Ini kafe mahal. Kamu tadi bayar pake apa? Mana mungkin kamu
punya uang? Atau..”
“Kamu hebat, Claudio! Rupanya kamu benar-benar bisa
menghipnotis orang! Lain kali, ajak kami ke dalam agar bisa mencecap kopi bersama!”
Tanya dan kagum yang berloncatan ke telinga Claudio,
diterimanya dengan ajakan. Dia
menjanjikan untuk minum kopi bersama pada kali berikutnya. Dan benar saja, enam
pengemis itu sudah berulang kali memasuki Kafe Ghiotto yang konon khas akan
cita rasa kopi terbaik seantero Napoli. Kawan-kawan Claudio tidak lagi
meragukan kemampuan hipnotis Claudio. Yang mereka tahu, saat memasuki kedai,
mereka diharuskan duduk manis di sudut kafe bagian belakang, dan hanya Claudio
yang boleh memesan kopi. Tentu saja, karena cuma dia yang bisa menghipnotis.
Sebulan sudah berlalu, saat pagi yang tentram diusik sebuah tawa.
Keras sekali.
“Hahaha! Rupanya kamu berhasil!”
Enam kepala bertopi rusak langsung menjengit. Suara yang
menggelegar, hingga terdengar oleh Claudio dan kawan-kawannya yang berada di
pojokan. Mereka sedang menikmati kopi di kafe Ghiotto dengan syahdu, saat
tiba-tiba tawa membahana mengusik melankolia mereka. Suara itu berasal dari lelaki
berjas merah yang syal di lehernya terbuat dari bulu-bulu unggas. Dari tadi dia
terbahak-bahak, entah kenapa. Claudio melihat, lawan bicara lelaki berjas merah
itu adalah orang yang pernah dilihatnya dulu di kafe ini, saat pertama kali
mencoba ritual ‘hipnotis’nya. Masih dengan sorot mata yang selalu tegas dan
sebatang rokok di tangan. Sesekali orang itu menimpali bicara sambil tersenyum
sinis, yang lagi-lagi disambung dengan gelak tawa dari si jas merah. Claudio berusaha
tidak peduli, tetapi batinnya menyimpan curiga. Mereka pasti membicarakan
kami! Jelas-jelas mata pria burung itu menatap ke sudut, tempat kami duduk. Saat
itu juga, Sandro menangkap gelagat aneh dari Claudio. Setelah melihat arah mata
yang dituju oleh kawannya, dalam hati dia bertekad mencari tahu arti ‘mengapa’ yang
sengaja tidak ia tanyakan terus terang.
Esok harinya, dia mendatangi Kafe Ghiotto sendirian. Tentu
saja, kawan-kawannya yang lain sedang sibuk untuk meminta uang dari mereka yang
berharta. Claudio juga sama, pastinya lagi meminta duit di jalanan. Sengaja kepergiannya
ke kafe ini dirahasiakan, karena dia tidak mau mengganggu satu-satunya
pekerjaan mereka. Apalagi, ‘kopi hipnotis’ yang rutin dilakukan sekali setiap
minggu, hanya dilakukan pada hari Senin, saat kafe sepi oleh orang kantoran.
Sudah kemarin.
Mata Sandro langsung menyisir ruangan. Berusaha menangkap
sosok yang selalu dia tangkap saat berkopi ria dengan lima kawannya. Pria
separuh baya bermata cerdas, berdahi lebar, selalu dengan setelan jas dan dasi
hitam yang tidak pernah lepas dan rambut wajah yang agak memutih. Benar,
lagi-lagi pria itu duduk di sana, dengan secangkir kopi dan rokok di tangan.
Hari ini, dia duduk sendiri, tetapi Sandro melihatnya sedang berbicara dengan
seseorang di ponsel. Sepertinya, dia adalah pelangan setia, dan ini adalah kafe
favoritnya.
Sedikit mengendap, Sandro mencari tempat duduk yang cukup
strategis. Biar bisa mendengar yang
dibicarakan orang tua itu tanpa ketahuan. Kemarin dia berpikir, tampaknya ada
benang tembus pandang yang menghubungkan orang tua ini dengan Claudio, hipnotis
dan kopi gratis, entah kenapa. Cuma firasat. Alasan yang tidak masuk akal.
Tetapi tetap memaksanya untuk datang ke salah satu kafe mewah di Napoli. Makanya,
hari ini dia mengenakan baju terbaiknya. Bukan apa-apa, hanya kamuflase. Meski
baginya, baju terbaik adalah baju lengan pendek bermotif garis-garis dengan kerah
yang sudah robek, dia ambil setahun lalu dari tempat sampah dan dicuci.
Ditambah sebuah topi butut bekas berbentuk tudung yang agak berlekuk untuk
menutupi separuh wajahnya.
Sandro melirik sedikit untuk memastikan orang tua itu tidak
mengenalinya. Ah, per fortuna. Cemas yang berlebihan. Orang tua itu
sudah terlalu sibuk dengan ponselnya, meski aku duduk di sampingnya pun pasti dia
tidak mengenaliku, batin Sandro.
Orang tua itu berbicara cukup keras. Meski Sandro duduk
membelakanginya dengan jarak dua bangku, suaranya tetap terdengar jelas.
Apalagi, suasana kafe juga cukup sepi. Tidak banyak pelanggan yang datang.
“Kontrak itu belum valid. Biarkan saja pecundang itu dibeli
mereka. Apa? Hahaha! Kamu bilang mereka ingin menaikkan harga? Aku tidak peduli
Fornito punya kaki emas atau besi sekalipun. Selama dia tidak mampu bekerja
dengan tim, sudah, buang saja!”
Sambil mengira-ngira, Sandro menyimpulkan, mungkin orang
ini sedang berbicara tentang bola. Orang itu menyebut-nyebut kaki, tapi
bisa saja dugaannya salah. Apalagi Sandro bukan penggemar olahraga. Salah
seorang pelayan yang melihat Sandro bergegas mendatangi sambil menanyakan menu
yang akan dia pesan. Sandro gelagapan. Dia berusaha mengingat-ngingat apa yang
dilakukan Claudio saat memesan kopi yang biasa mereka minum. Dengan gagap dia
mencoba isyarat tangan. Pelayan kebingungan.
“Kopi, signore?”
“Ah…. ya, ya, satu kopi.”
Sejenak pelayan tersebut memerhatikan pakaian yang dikenakan
Sandro dengan seksama. Baru beberapa detik kemudian, dia bertanya lagi. “Kopi
gantung?”
Sandro bingung. Hanya bisa mengangguk. Dia tidak tahu jenis
kopi yang biasa mereka minum. Tapi matanya sudah cukup pandai menyimpulkan
kalau si pelayan mengerti jenis kopi apa yang dipesan. Meski dia melangkah dari
meja Sandro dengan sikap yang aneh. Antara jijik dan heran, entahlah. Tidak
usah dipikirkan, aku membawa beberapa uang receh, pastinya cukup. Sandro
kembali memasang telinga.
“Ya, saya sudah berbicara dengan manajer kafe ini. Saya kira,
para pelayan di sini juga sudah mengerti. Ampas kopi yang pernah tersaji,
jangan dibuang. Nanti akan dibikin lagi menjadi kopi baru untuk orang buangan. Tentu,
saya sudah menyogok seseorang dari gerombolan pengemis jalanan dekat sini.
Hahaha, kamu harus lihat raut wajahnya saat memesan kopi! Dia pikir dia bisa
menghipnotis orang. Benar-benar tolol. Dia tidak sadar kalau dia diperdaya.
Jadi sebuah jaket biru bisa membuat gratis semua kopi yang dia pesan?”
Sandro sedikit tersentak dengan kalimat barusan. Dia
mengingat-ngingat. Che e di destra! Setiap Senin, Claudio selalu memakai
jaket biru yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Hari pertama dia mengaku bisa
menghipnotis, jaket yang sama dia kenakan. Jangan-jangan…
“Ah tentu. Saya sudah mengirim agen untuk menemui pengemis
itu lagi. Target hari ini, seluruh pengemis di Napoli sudah mengerti apa itu
kopi gantung. Jangan lupa kamu sebarkan di media-media, mulai sekarang, kopi
gantung menjadi sarana baru untuk menyantuni orang miskin, pengemis,
gelandangan, pengamen atau siapalah. Beritahu orang-orang berduit itu, mereka
bisa membeli secangkir kopi dengan
membayar dua kali lipat. Satu kopi untuk dikonsumsi, sisanya diberikan pengemis
yang ingin menikmati kopi cuma-cuma. Sekali lagi, tekankan, ini adalam program
solidaritas baru. Cantumkan juga Ghiotto sebagai kafe pertama yang melestarikan
budaya ini. Kita akan mencetak sejarah. Tunggu, jangan sekali-kali mencantumkan
nama kita! Terserah kamu pakai nama apa. Mudah saja bagimu. Saya tunggu kabar
selanjutnya. Ah ya, tentang al-Kaddouri. Lancar? Bagus. Percuma kita menyewa
kiper jauh-jauh dari Maroko kalau tidak becus. Nanti…”
Sandro merasa mual. Dia langsung beranjak dari tempat
duduknya, bergegas ingin pergi saat secangkir kopi disajikan oleh pelayan
untuknya.
“Ini kopi gantung kan?”
“Si, signore.”
Sandro segera meninggalkan kafe itu tanpa membalik wajah.
Meninggalkan pelayan yang kebingungan dan si orang tua yang masih khusyuk
mengobrol di ponselnya. Dia mempercepat langkah. Teman-temanku jangan sampai
tertipu lagi. Tangannya mengepal keras. Geram. Sedih. Muak. Benci. Emosi
memuncak bercampur aduk. Dia bisa saja terus-terusan meminum kopi gantung itu,
tapi ke mana harga dirinya? Pengemis juga manusia! Dia ingin meninju Claudio,
tetapi kawannya ini tidak salah. Claudio adalah korban. Korban dari kebiadaban
orang-orang atas. Korban dari penipuan atas nama solidaritas dan empati sosial.
Sandro mengumpat-umpat.
Dia telah sampai di gang kumuh tempat persemayamannya dan
kawanan pengemis lain daerah situ. Terbelalak, Sandro memberhentikan langkah. Tidak
mempercayai mata dan telinganya. Di sana, Claudio sudah mengumpulkan
pengemis-pengemis yang Sandro ketahui berasal dari daerah tetangga. Mata mereka
menatap Claudio takjub. Menggebu-gebu, tubuh Claudio yang kurus itu berbicara
lantang.
“Il mio caro amico! Mulai besok, kalian tidak lagi harus
menelan ludah untuk bisa menikmati secangkir kopi. Kalian tahu Kafe Ghiotto di
ujung jalan? Aku sudah menghipnotis seluruh pelayan di sana. Cukup katakan, caffe
sospeso, secangkir kopi panas akan tersajikan dengan gratis. Satu cangkir,
untuk satu orang! Beberapa hari ke depan, akan aku hipnotis seluruh kafe di
Napoli, biar semua kawan kita bisa merasakan!”
Suasana gang langsung ramai dengan pekik, pujian, tepuk
tangan, “Claudio! Claudio!” dan siulan yang bersahutan. Sandro ternganga.
------------------------------
Kosakata:
velata :
wow
câffelatte :
kopi susu
Ah, per fortuna : Ah,
untung saja
signore :
Tuan
Si :
Benar
Che e di destra! : Tentu
saja!
Il mio caro amico: Teman-temanku semua
caffe sospeso :
suspended coffee; kopi gantung
0 comments:
Post a Comment