Dualisme alam sadar dan alam bawah sadar. Masalah psike (jiwa) dan perdebatan mengenai letak, sudah terlalu lama berlarut dan sebenarnya jawabannya juga cukup jelas. Jika menggunakan wacana keagamaan, analisa yang didapat pun beragam. Untungnya, semakin banyak porsi argumen yang menghiasi perkataan seorang alim (dan hiasan dalam hal ini, bukanlah sekedar permainan kata, tetapi paduan sel kelabu yang gemilang dengan keringat darah dalam mencari referensi serta balutan teknik bejibun yang benar-benar terkuasai matang) maka akan semakin besar pula kepercayaan yang diraih dari pembaca untuk mengikutinya.
Yang paling menarik, pengaruh alam bawah sadar dalam laku keseharian manusia tidak bisa dirumuskan dengan lugas. Semisal, dalam mimpi. Letak titik tolak yang menyatakan apakah itu manifestasi pengalaman dan memori-memori yang terpendam, ataukah keinginan menggebu-gebu yang menjelma bunga tidur, tidak semuanya serta merta menjadi makna. Freud dan Jung tidak mempermasalahkan kausalitas mimpi dengan pengaruhnya pada alam sadar, tidak, tetapi abstraksi dan kompleksitas sebuah mimpi yang menjadi kunci dalam psikoanalisa. Di sini, mimpi memegang peran penting dalam menentukan tabiat dan laku seseorang serta mengapa dan bagaimana mereka bersikap dalam hidup.
Sebelumnya, mungkin perlu dijelaskan sedikit perbedaan dalam praktik psikoanalisa antara Freud dan Jung. Freud akan mencoba menerangkan mimpi tersebut dengan menyambungkan hasrat jiwa yang terpendam dengan naluri dasar hewaniah bernama libido. Dia juga berkesimpulan bahwa pusat alam bawah sadar seseorang mampu terjelaskan secara total dalam mimpi-mimpinya. Jung tidak. Dia menjelaskan bahwa mimpi adalah produk gabungan antara alam sadar dan alam bawah sadar. Ada memori-memori yang tersupresi, complexes, yang bisa jadi terlupakan baik disengaja maupun tidak. Proses melupakan hal-hal yang tidak penting atau hal-hal yang tidak mengenakkan hati, bisa dilakukan baik dalam keadaan sadar maupun sebaliknya. Lagi-lagi, perbedaan antara ‘guru dan murid’ memang kentara. Complexes seperti yang telah dibahas di atas, menurut Jung, bisa terjadi baik dalam secara sadar maupun bawah sadar, sedangkan Freud mengkerucutkan penciptannya terbatas pada alam bawah sadar saja.
Dan perdebatan antara guru dan murid tidak berhenti sampai di situ. Jung memberikan argumen pembanding terhadap complexes di atas berdasarkan pengalaman-pengalamannya dalam terapi. Kasus pertama, mengenai seorang lelaki yang bermimpi menjadi ‘istri’ seseorang. Dalam wawancara, pria tersebut selalu menyanggah bahkan enggan memaparkan isi mimpinya secara detil. Hal ini wajar, sejatinya manusia memiliki malu. Nantinya, sisi feminin dalam diri pria dan maskulinitas dalam diri wanita dijelaskan oleh Jung dalam terma anima/animus. Bukan berarti setiap orang berpotensi untuk menjadi waria/banci, bukan, tetapi arketipe anima/animus ini menggambarkan sisi/watak lain dari seseorang yang tidak akan/ingin ditampilkan ke publik (Akan ada tulisan lain yang menjelaskan tentang hal ini, later. When? You guess).
Kembali pada mimpi pria yang menjadi ‘istri’ tadi. Sesi wawancara tetap berlanjut dan semakin tegas, hingga Jung mendapatkan jawaban langsung dari mulut pasien. Keinginan untuk menutup-nutupi isi mimpi atau ketidakmampuan untuk berterus terang sebenarnya hanya manifestasi alam bawah sadar untuk melupakannya, dan sengaja memaksa alam sadar untuk tidak menceritakannya karena malu. Malu, dalam kesehariannya, pasien pria tersebut terkenal sebagai karyawan yang galak dan kasar. Tampan, meski tidak terlalu atletis, tetapi pesonanya tetap menarik diri para gadis untuk terpikat. Naasnya, dia suka sesama jenis.
Dalam kasus kedua, seorang profesor (Jung sendiri, pen.) sedang terlibat di tengah perdebatan serius dengan salah satu mahasiswanya. Saat perdebatan semakin memanas, tiba-tiba saja sang profesor lupa akan konteks permasalahan. Ingatan lamanya akan masa kecil tiba-tiba menyeruak begitu saja. Ada sebuah lumbung, gubuk kecil, sebuah lahan, kadang kuda dan tumpukan jerami di pojokan, dan hawa pedesaan yang begitu asri dan sejuk. Sang profesor tidak kehilangan akal. Dengan hati-hati, dia mencoba menelusuri memorinya dari pagi ia keluar rumah sampai setibanya di universitas. Profesor tersebut berinisiatif untuk mengajak si mahasiswa untuk menyertainya mengendarai mobil. Dia mengambil rute yang sama ia lewati tadi pagi. Dan benar saja, setelah berjalan beberapa lama, di kiri jalan, ada sebuah lumbung, gubuk kecil, di belakangnya terdapat sebuah lahan dan ada kandang kuda beserta tumpukan jerami di pojokan. Tempat itu sebenarnya sudah sering ia lihat selintas, karena rute perjalanan yang dia ambil, setiap harinya selalu sama. Tapi tadi pagi berbeda, ada kemacetan tepat di jalan depan lumbung. Agar tidak terjebak jenuh, spontan matanya mengedar ke sekeliling dan menangkap pemandangan tersebut. Pemandangan yang selalu mengingatkannya pada keindahan masa kecil yang ia jalani. Walhasil, setelah puas menangkap akar masalah ‘kealpaan’ profesor tadi, mereka pun kembali melanjutkan perbincangan serius di mobil sembari kembali ke kampus.
Kasus kedua ini cukup memberikan gambaran bahwa complexes mampu dilakukan secara sadar. Apa itu complexes? Memori lama yang berimpresi sangat kuat hingga mempengaruhi tindakan sadar dan perilaku keseharian, itulah dia. Memori-memori itu bisa berasal dari pengalaman paling manis hingga paling pahit sekalipun. Dan seperti yang sering saya ungkapkan pada tulisan-tulisan sebelumnya, memori itu seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Seringkali dia muncul tak terduga, meskipun seseorang sering mengotosugesti dirinya untuk melupakannya atau bahkan ingin sekali menghilangkannya, tetapi jika tidak ada kompromi antara alam sadar dan alam bawah sadar, semisal di lisan seseorang ingin melupakan, tetapi dalam hati masih timbul rasa dendam, maka seseorang tidak akan pernah bisa berdamai dengan complexes tersebut. Ini baru salah satu contoh.
Contoh lain yang kerap menjumpai para mahasiswa adalah kelupaan mereka dalam menjawab soal ujian. Padahal semalam suntuk mereka telah mati-matian menghafal, misalkan. Tetapi karena suatu sebab, entah pada pagi harinya karena memakan mie yang sudah kadaluarsa dengan lima belas cabe yang memaksa dia bolak-balik ke toilet sehingga susah berkonsentrasi untuk mengulang pelajaran, maka saat lembar soal dibagikan pun yang ada di pikirannya hanyalah perut melilit bukan main. Ingatannya atas diktat terbang sudah, entah ke awan mana. Ini termasuk complexes, meski bukan secara langsung. Bukan memori itu sendiri yang menjadi biang kerok melainkan ada faktor lain. Cara mengatasinya? Sarapanlah yang sehat. Pagi hari antara jam tujuh sampai jam sembilan adalah waktu terbaik bagi lambung untuk bekerja, maka konsumsilah makanan yang benar-benar menyehatkan dan cek tanggal ekspirasi.
Lantas apa korelasi antara complexes dengan mimpi? Dari penjelasan di atas, sekiranya ada gambaran singkat mengenai proses pembentukan mimpi yang berasal dari kumpulan memori. Memori-memori indah membentuk bunga tidur pengembang senyum, dan memori pahit akan menampilkan adegan pemerontakan untuk keluar dari jeratan masa lalu. Meski tidak bisa digeneralisir demikian, terlalu dini. Mimpi adalah kompleksitas misterius, yang bahkan Ibn Thulun sendiri perlu menerbitkan bukunya dengan berpegangan pada simbol-simbol dalam at-Quran dan beragam kisah kaum salaf: para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabiin (bukan mereka yang mendeklamasikan Salafi ya. Salaf adalah kurun waktu, bukan nama kelompok). Jika ingin menemukan kunci jawaban atas mimpi menyeramkan yang kerap menghantui atau mimpi-mimpi aneh yang berulang kali muncul, bisa dimulai dari menggali complexes dalam diri. Dan hal itu sungguh sangatlah sulit, kecuali manusia bisa mengakses setidaknya 25% minimal kekuatan otak kita.
Walhasil sebagai penutup, jika ada yang bertanya apakah pengalaman makan mie saat ujian di atas merupakan pengalaman pribadi atau bukan, penulis hanya tersenyum nyengir. Jika ada yang bertanya, solusi kompromi untuk mengatasi pelbagai complexes yang bandel dalam hidup kita masih belum terjelaskan tuntas, mungkin tunggu beberapa hari lagi ketika penulis mengkhatamkan bukunya. Yang jelas, penulis turut berbahagia karena tulisan ini setidaknya mengawali entri 2015 setelah hampir setahun lamanya menjelajah alam antah-berantah. Ah, banyak sarang laba-laba di sini!
0 comments:
Post a Comment