.avatar-image-container img { background: url(http://l.yimg.com/static.widgets.yahoo.com/153/images/icons/help.png) no-repeat; width: 35px; height: 35px; }

"Memento Mori"

What is the PRECIOUS thing you TREASURE most in your LIFE?

"Memento Mori" means:

Remember you are mortal...

Vita brevis breviter in brevi finietur,
Mors venit velociter quae neminem veretur,
Omnia mors perimit et nulli miseretur,

Ad mortem festinamus peccare desistamus.


Tehmina Durrani dalam autobiografinya menulis, seumur hidup ia merasa sebagai itik buruk rupa meski telah menjadi istri seorang Musthafa Khar, orang kedua dan tangan kanan PM Pakistan Zulfikar Ali Bhutto, hanya karena dari kecil ia dikucilkan ibunya karena tidak berkulit putih. 

Bahkan neneknya mati-matian melumuri tubuh dan wajah Tehmina dengan segala macam ramuan. Niatannya supaya cucunya bisa jadi putih. Si nenek gagal. Tehmina tetap dibenci ibunya karena berkulit hitam. Padahal suaminya justru tidak melihat istrinya dari sekadar warna kulit.

Sayangnya, kulit putih, hidung mancung, tubuh langsing, sudah melekat menjadi simbol kecantikan di era posmo, terlebih di Asia. Sepertinya kebanyakan nonton drama korea (drakor) dan iklan kosmetik bikin tambah insecure.

Credit: pxfuel

Mitos Cantik 

Di zaman kolonial, di kalangan etnik Maori, cantik itu besar dan gemuk. Perempuan Jawa dikagumi lantaran bagian belakang-bawahnya yang besar dan bulat, menandakan mudah melahirkan dan banyak anak. Bahkan di Lembah Baliem, maaf, dada wanita yang turun, jadi idaman perempuan dan impian pria.

Tahun 50-an, kecantikan perempuan dilihat dari bentuk gitar Spanyo: dada padat berisi, pinggang sekecil mungkin dan membesar lagi di bagian pinggul. Lantas di era 60-an muncul kualitas cantik ala twiggy yang super ramping dari atas ke bawah.

Kini kecantikan perempuan terutama di Asia, khususnya Indonesia, selalu diidentikkan dengan kulit putih, rambut lurus hitam legam, hidung mancung dan berbadan langsing.

Label jelek secara semena-mena diberikan pada perempuan yang secara kebetulan pula tidak memenuhi kriteria di atas. Demikian tulis Kathy Saelan bernada protes, sosok jurnalis yang memang tidak dianugerahi fisik cantik, dalam artikelnya, CANTIK. Eka Kurniawan juga mengupas tuntas dengan satir dalam novelnya yang berjudul Cantik Itu Luka.

Tidak ada perempuan yang mau mendapat predikat jelek, kurang manis, atau biasa-biasa saja. Predikat jelek bisa membuat seorang perempuan merasa rendah diri, tidak berharga, malu akan diri-nya sendiri, dan na'udzubillah bahkan bisa membuat seorang perempuan bunuh diri saking sedihnya. Psikolog Jacinta F Rini, di bukunya Mencemaskan Penampilan menyatakan, stigma masyarakat dan media sangat berperan dalam mendorong seseorang untuk terlalu peduli pada penampilan dan imej tubuhnya. Media telah melumatkan kepribadian dan jati diri kaum perempuan dan laki-laki, seolah-olah harus menelan mentah-mentah definisi jati diri dan citra diri ala media massa, jika tidak, monggo minder.

Melalui media, produsen kosmetik juga menggembar-gemborkan imej kulit putih lebih cantik daripada kulit gelap, rambut panjang lurus lebih cantik daripada keriting, badan langsing dijamin lebih disukai pria.

Media, tidak bisa dipungkiri, semakin mendorong orang-orang untuk meletakkan standar ideal dirinya seperti yang dikehendaki oleh masyarakat korban iklan.

Kecantikan dan kesempurnaan fisik, menjadi ukuran ideal sehingga banyak yang berusaha mengejar kecantikan dan kesempurnaan dengan bantuan kosmetik, senam, ataupun fashion yang up-to-date. Bahkan tidak sedikit yang ke salon habis ratusan ribu tiap hari hanya untuk menata rambut sampai melakukan koreksi wajah dan tubuh di sana-sini.

Padahal kecantikan bukanlah segalanya. Dan tentu saja, tidak cantik bukanlah kiamat. Tidak ganteng bukannnya tanda dunia akan berputar lebih cepat dua kali lipat juga. Tapi bagaimana cara menyadarkan manusia untuk mensyukuri apapun yang ia miliki, baik itu rambut, warna kulit, dan seterusnya?

Dysmorphobia 

Kita kembali dulu ke beberapa abad silam, di tahun 1891, seorang psikopatologis dari Italia, Enrique Morselli, memunculkan istilah dysmorphobia untuk menerangkan kondisi patologis seseorang karena terus menerus memikirkan kecacatan, entah ada maupun tidak. Sebutan lainnya, merasa buruk rupa.

Istilah Body Dysmorphic Disorder (BDD), secara formal juga tercantum dalam Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder, untuk menerangkan kondisi seseorang yang terus menerus memikirkan kekurangan fisik minor. Akibatnya, individu itu merasa tertekan, bahkan kondisi tersebut melemahkan taraf berfungsinya individu dalam kehidupan sosial, pekerjaan, atau bidang kehidupan lainnya (e.g.: kehidupan keluarga dan perkawinan).

Padahal pada umumnya, penderita BDD tidaklah buruk rupa seperti apa yang mereka pikirkan. Mereka tetap tampak seperti orang kebanyakan. 

Namun, penderita BDD biasanya menunjukkan sikap pemalu, sulit menjalin kontak mata, komunikasi dan memiliki self-esteem yang rendah. Mereka seringkali bertingkah ekstrim untuk menyembunyikan atau menutupi apa yang mereka anggap kurang dan memalukan. 

Misalnya, berulang kali bercermin dan berdandan yang sangat overtime. Penampilan harus sempurna tanpa cela. Memang fitrah terutama wanita untuk berdandan, tetapi perlu hati-hati, jangan sampai berlama-lama dandan yang ternyata malah membangkitkan kecemasan karena takut terlihat ‘kurang’.

Kecantikan itu Ilusi

Salah satu strategi efektif untuk membantu mengendalikan dan mengatasi BDD di atas adalah dengan psikoterapi. Para ahli mengatakan bahwa cognitive-behavioral therapy dan cognitive-rational therapy, sangat tepat membantu pasien.

Pasien dilatih untuk membangun alternatif strategi dan jalan keluar dalam mengatasi pikiran obsesif yang mengganggu konsentrasi dan meningkatkan pengendalian diri terhadap tindakan kompulsif. Sederhananya, semakin sering si pasien sering melihat cermin, jika tidak ada pemahaman kalau bercermin hanya sekedar untuk mematut diri biar pantas, bercermin akan selalu menjadi kegiatan dalam mencari kesalahan diri. 

Ya, meski lebih baik mencari kesalahan diri daripada kesalahan orang lain dengan tujuan muhasabah. Tapi perlu diingat, sesuatu yang berlebihan (ghuluw) tidak pernah berujung baik, terlebih dalam hal fisik dan membandingkan diri dengan orang lain. 

Yang tidak kalah penting lagi, dukungan keluarga. Menurut psikolog medis Jacinta F Rinin, sebaiknya anggota keluarga membantu penderita membicarakan emosi-emosi yang dirasakan, misal: stres, depresi, ketakutan, kekhawatiran. Dengan terbukanya pintu hati, kita pasti akan lebih terbuka terhadap penawaran treatment yang bisa membantu keluar dari masalah.

Islam Sudah Memberikan Solusi

Sebenarnya tak ada terapi terbaik menyehatkan kembali citra diri, selain kembali pada ajaran agama. Rangkaian ibadah, seperti puasa Ramadhan dan tahajudan adalah beberapa dari sekian banyak terapi penyadaran guna menyingkirkan nafsu yang OD ini. Bukan dengan memperbanyak nonton oppa atau unnie dari drakor yang tidak ada pesan moral berarti lantas lupa untuk menghargai jasad yang fana dan pentingnya mengembalikan jiwa yang fitri. 

Jiwa yang suci dan hati yang bersih adalah buah dari takwa. Allah SWT tidak pernah mengukur dan menghargai hambaNya dari keelokan wajah, keindahan fisik atau kemewahan busana, rumah, dan kendaraan. "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu." (QS.Al-Hujurat : 13).

Credit: freepik

Tampil menarik bukan saja perlu, tapi juga sunnah Kanjeng Nabi. Namun jangan sampai kita menjadikan penampilan fisik segala-galanya, seolah penampilan itulah yang menentukan derajat kita dan kita akan melakukan apa saja untuk mencapainya. Apa pun yang melekat pada diri kita, harus disyukuri sebagai anugerah-Nya. "Bukankah kami telah menciptakan manusia dalam sebagus-bagusnya penciptaan?" (QS. At-Tiin: 4).

Kesadaran terhadap jati diri ini nanti akan mengantarkan seseorang terbebas dari BDD. "Kesadaran pada hakikat jati diri akan menimbulkan hal-hal positif seperti dapat menerima kenyataan dan menempatkan diri sebagai manusia yang bernilai dan dibutuhkan orang lain. Mampu menikmati kesuksesan serta kelebihan dan kekurangan dirinya, terlebih dengan rasa syukur kepada Allah SWT," kata psikolog Kartini Kartono.

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Software