.avatar-image-container img { background: url(http://l.yimg.com/static.widgets.yahoo.com/153/images/icons/help.png) no-repeat; width: 35px; height: 35px; }

"Memento Mori"

What is the PRECIOUS thing you TREASURE most in your LIFE?

"Memento Mori" means:

Remember you are mortal...

Vita brevis breviter in brevi finietur,
Mors venit velociter quae neminem veretur,
Omnia mors perimit et nulli miseretur,

Ad mortem festinamus peccare desistamus.


 

Banyak permainan virtual di mana kita bisa membuat sebuah karakter sampai mengubah bentuk tubuh, wajah dan lain sebagainya. Karakter tersebut kemudian kita mainkan dalam sebuah cerita.

Lantas bagaimana hukum membuat sebuah karakter dalam permainan virtual dan mengendalikan karakter tersebut dalam sebuah cerita? Apakah haram hukumnya karena seolah-olah kita menjema menjadi Tuhan yang bisa mengendalikan sosok manusia tersebut?

Seperti dilansir dari Masrawy, Syeikh Ahmad Mamduh, Sekretaris Fatwa di Darul Ifta Mesir, menjelaskan bahwa animasi itu sendiri tidak dilarang.

Perkembangan teknologi di permainan virtual sudah mencapai tahapan pengenalan fitur menciptakan karakter sesuai keinginan. Kita bisa memodifikasi hampir semua fitur baik wajah, rambut, tinggi tubuh dan lain sebagainya. Pemain bahkan diberi keleluasan untuk mengubah bentuk mata, alis, bibir, bahkan rahang sekali pun.

Syeikh menekankan meski animasi tidak dilarang tetapi jika digunakan untuk sesuatu yang vulgar, rasis atau berbau pornografi, haram hukumnya.

Memang animasi tidak dilarang, tetapi Syeikh Mamduh menegaskan apabila permainan virtual menampilkan cerita yang tidak senonoh atau hal-hal yang mengedepankan asusila, haram hukumnya.

Begitu juga jika permainan tersebut mengandung unsur atau konsep yang bertentangan dengan adat dan khususnya, syariat. Bukan animasinya yang dilarang, tetapi karena tujuan, pesan serta dampak negatif yang dianimasikan dalam permainan virtual tersebut.

Syeikh Mamduh juga menekankan bahwa menggambar diperbolehkan menurut mazhab Maliki, dan pendapat itulah yang dirajihkan oleh Darul Ifta Mesir.

Adapun berbagai hadits terkait larangan menggambar seperti,

إنَّ الَّذينَ يصنَعونَ هذِه الصُّوَرَ يعذَّبونَ يومَ القيامةِ، يقالُ لَهم: أحيوا ما خلقتُمْ

“Orang yang menggambar gambar-gambar ini (gambar makhluk bernyawa), akan diadzab di hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka: ‘hidupkanlah apa yang kalian buat ini.(HR. Muttafaq ‘Alaihi)

Atau hadits berikut,

أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ، وَأُمَّ سَلَمَةَ ذَكَرَتَا كَنِيسَةً رَأَيْنَهَا بِالحَبَشَةِ فِيهَا تَصَاوِيرُ، فَذَكَرَتَا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ، بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، فَأُولَئِكَ شِرَارُ الخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ القِيَامَةِ»

“Bahwa Ummu Habibah dan Ummu Salamah menceritakan ada gereja yang mereka lihat di Habasyah, di dalamnya terdapat gambar-gambar (makhluk bernyawa). Mereka berdua menceritakan hal tersebut pada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasalllam. Beliau lalu bersabda: “Gambar-gambar tersebut adalah gambar orang-orang yang dahulunya merupakan orang shalih lalu meninggal. Kemudian dibangunkan tempat ibadah di atas kuburan mereka, dan digambarlah gambar-gambar tersebut. Orang-orang yang menggambar itu adalah orang-orang yang paling bejat di sisi Allah di hari kiamat”” (HR. Muttafaq ‘Alaihi)

Dilansir dari lama resmi Darul Ifta, hadits-hadits di atas dan banyak hadits lain yang serupa tidak mengindikasikan larangan menggambar. Alasan diturunkannya hadits tersebut karena masyarakat Arab masih dekat dengan budaya Jahiliah yang masyhur dengan animisme dan dinamismenya.

Tujuan turunnya hadits tersebut agar masyarakat tidak lantas menyembah gambar atau patung yang telah mereka buat. Menggambar tetap diperbolehkan, tetapi haram menggambar dengan tujuan agar gambar tersebut dikultuskan dan yang semacamnya. Begitu juga dengan beberapa alasan yang sudah disebut di atas.

Grand Syeikh Ahmad Thayyib juga telah mengeluarkan fatwa yang serupa. Syeikh menekankan jika menggambar atau melukis adalah satu satu bentuk seni rupa.

Seni memiliki pengaruh positif untuk kenyamanan dan rileksasi hati selama tidak mengandung atau bertujuan ke hal-hal yang dilarang syariat.

Di akhir penjelasannya, Syeikh Mamduh menerangkan, “Boleh menggambar dengan tangan, komputer atau gawai elektronik lainnya. Asalkan gambar atau animasi tersebut terlepas dari unsur-unsur yang tidak syar’i.”

Beliau juga menjelaskan bahwa pelaku yang menggambar atau membuat animasi dengan tujuan merangsang syahwat akan mendapat hukuman yang setimpal. Begitu juga dengan gambar atau animasi yang menistakan agama, moral atau yang merusak akal sehat. Wallahu a’lam bis shawab.

Membaca Qunut dalam shalat Subuh sudah disepakati oleh banyak ulama salaf salih baik dari golongan Sahabat, Tabi’in bahkan ulama-ulama kontemporer. Tersebut dalam sebuah hadits masyhur yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra,

"أن النبي صلى الله عليه وسلم قنت شهرا يدعو عليهم ثم تركه، وأما في الصبح فلم يزل يقنت حتي فارق الدنيا"

“Sesungguhnya nabi SAW telah membaca Qunut selama sebulan penuh kemudian meninggalkannya, sedangkan dalam qunut Subuh, beliau tetap membacanya sampai akhir hayatnya.”

Hadits di atas telah disepakati oleh para ahli hadits dan dibenarkan, termasuk salah satunya oleh Imam Nawawi ra. dan banyak lagi. Madzhab Syafi’i dan Maliki juga secara tegas mengamini dan mengamalkan bahkan menganggap membaca Qunut dalam setiap shalat Subuh sebagai sunnah muakkadah. Mereka juga menganggap bahwa hukum nasakh atas membaca Qunut hanya berlaku untuk beberapa keadaan tertentu, tetapi tidak berlaku dalam pembacaan Qunut ketika shalat Subuh.

Imam al-Hafidz Abu Bakr al-Hazimi dalam kitabnya, Al-I’tibar fii Bayani an-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar (cetakan III, hal. 90-91) menyatakan, “Generasi salafus salih dan para ulama kontemporer berselisih pendapat dalam membaca Qunut ketika shalat Subuh. Tetapi hampir mayoritas dari seluruh kalangan sahabat, tabi’in dan generasi-generasi setelahnya menyatakan kebolehan membaca Qunut."

Lebih lanjut, beliau merinci setiap sahabat yang membaca Qunut dalam shalat Subuh seperti: para khulafa ar-rasyidin, ‘Ammar bin Yasir ra, Ubay bin Ka’b ra, Abdurrahman bin Abu Bakr Ash-Shidiq ra, Abu Musa al-Asy’ari ra, Abdullah bin Abbas ra, Abu Hurairah ra, al-Barra’ bin ‘Azib ra, Anas bin Malik ra,Abu Halimah Mu’adz bin al-Harits al-Ansori ra, Ahban bin Saifi ra, Sahl bin Sa’d as-Sa’idi ra, Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra dan Aisyah ra.

Sedangkan dari para tabi’in yang sekaligus mengamini, terdapat: Sa’id bin Musib ra, al-Hasan bin Abi al-Hasan ra, Muhammad bin Sirin ra, Abban bin Utsman ra, Qatadah ra, Thawus ra, ‘Ubaid bin Amir ra, ar-Rabi’ bin Hutsaim ra, ‘Ubaidah as-Salmani ra, ‘Urwah bin Zubair ra, Ziyad bin Utsman ra, Abdurrahman bin Abi Layla ra dan tak kalah lupa khalifah Umar bin Abdul Aziz ra.

Begitu juga dari para ahli Fiqh, seperti: Abu Ishaq, Abu Bakr bin Muhammad, Ibn ‘Utaibah, Malik bin Anas, Imam Auza’i, mayoritas dari Ahl Syam, Imam Syafi’I dan para pengikutnya, Imam ats-Tsauri, dan banyak lagi.

Terlepas dari itu, masih banyak segelintir orang yang menyalah-nyalahkan, bahkan melarang untuk membaca Qunut dalam shalat Subuh. Bahkan ada juga yang mengira, pada awalnya memang disyariatkan, tetapi kemudian ternasakh, dan mereka memercayai pendapat tersebut. Padahal pendapat tersebut sangat tidak tepat.

Beberapa ulama berkeyakinan bahwa membaca Qunut dalam shalat Subuh hanya berlaku pada masa pandemi atau saat berlangsungnya bencana alam. Jika tidak ada, maka tidak perlu membaca Qunut. Pendapat di atas diamini oleh mazhab Hanafi dan Hanbali.

Dalam kondisi pandemi, terjadinya suatu wabah atau adanya bencana alam, hampir semua mazhab sepakat menyarankan membaca Qunut ketika shalat Subuh. Terkait di luar shalat Subuh, ada perbedaan pendapat. Mazhab Maliki menyatakan cukup membacanya ketika shalat Subuh, mazhab Hanafi menyunahkan untuk boleh membaca Qunut dalam setiap shalat Subuh, Maghrib atau Isya. Sedangkan mazhab Syafi’i menyatakan untuk boleh membaca Qunut dalam setiap sholat lima waktu, dan pendapat ini yang diamini oleh mufti Republik Mesir, Syeikh Syauqi Alam.

Maka bisa disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat alam membaca Qunut dalam shalat Subuh di luar masa wabah atau era pandemi, tetapi hampir semua ulama sepakat membolehkan membaca Qunut saat sebuah wabah berlangsung.

Syeikh Syauqi Alam di majalah al-Azhar edisi Oktober/November tahun 2013 M, pernah menulis juga tentang hal ini. Bagi umat Islam yang meyakini bahwa membaca Qunut hanya dibolehkan hanya di era pandemi atau pada saat sebuah wabah berlangsung, seyogyanya untuk tidak membid’ah-bid’ahkan sesama saudaranya yang membaca Qunut meski tidak dalam era pandemi.

Salah seorang ulama dari mazhab Hanbali, seperti yang dikutip dalam buku Zadu al-Mu’ad fi Hadyi Khairi al-‘Ibad, Ibn al-Qayyim al-Jauzi juga menyatakan bahwa dia tidak pernah mengingkari atau mencela sesama saudara semuslim yang membaca Qunut dalam setiap shalat Subuh baik saat sebuah wabah atau pandemi berlangsung atau di hari-hari biasa.

Pendapat dua syeikh besar di atas sekaligus mengingatkan kita untuk tidak berkoar-koar berkomentar dan selalu mendahulukan bertanya kepada pakar, dalam hal apapun. Semisal dalam membaca Qunut dalah shalat lima waktu, karena objek tersebut termasuk dalam pembahasan Fikih, maka wajib bagi kita untuk bertanya kepada para ahli Fikih dan mencari tahu segala muasal munculnya suatu pendapat atau fatwa, baik perseorangan atau dari mazhab.

Allah SWT berfirman,

"فَسْئَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ"

“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.”(QS. An-Nahl: 43)

Makna dari ayat tersebut adalah dengan menggunakan pengertian umum, karena dalam hal ini para ulama sepakat menggunakan kaedah 

العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

Ibarat dari firman Allah SWT di atas ditujukan untuk konteks umum karena tidak ada mukhassis (pengkhusus) yang menjelaskan tentang ahlu adz-dzikri di atas, maka sepantasnya untuk tidak elok seorang Muslim berkata, menjawab atau menjelaskan sesuatu yang tidak dia kuasai. Pun tidak elok untuk bertanya kepada yang bukan pakar.

Begitu juga untuk para pengikut seorang ulama atau suatu mazhab untuk tidak menyalahkan madzhab lain dalam suatu permasalahan, karena seharusnya laa yanqudlu al-ijtihad bi al-ijtihad, tidaklah suatu ijtihad membatalkan suatu ijtihad lain dalam permasalahan. Wallahu jalla wa 'alaa a'lam bis shawab.

Setiap penyayang kucing yang lewat di depan Pet Shop dan melihat ada binatang lucu nan menggemaskan, pasti hatinya akan tergugah. Meski kucing tidak disebutkan di dalam al-Qur’an, hewan mungil itu memiliki keistimewaan tersendiri dalam Islam, bahkan Rasulullah SAW dikisahkan memiliki seekor kucing yang diberi nama Muezza. Saking sayangnya dengan gumpalan berbulu satu ini, nabi SAW sampai memotong lengan jubahnya yang dipakai tidur oleh Muezza saat beliau hendak pergi ke masjid. Nabi SAW lebih memilih untuk memotong lengan jubahnya daripada membangunkan kucing kesayangannya.

Jual beli hewan ternak itu mubah, kita bisa menemukan banyak dalil dalam Kitab atau Sunnah, ulama juga telah sepakat. Manusia bisa memanfaatkan hewan ternak untuk bercocok tanam, memakan daging dan meminum susunya, tetapi kucing adalah hewan rumahan. Berbeda dengan anjing penjaga yang berfungsi menjaga rumah atau melacak bau, atau burung bersuara indah yang bisa menghibur manusia dengan kicauan merdunya, kucing seolah-olah tidak memiliki manfaat kecuali memang ras Feline terkenal sebagai predator ulung. Beberapa ulama dari golongan tertentu mengatakan lebih baik beli hewan ternak daripada kucing, hewan ternak jelas bermanfaat, kucing tidak berguna. Lantas sebenarnya bagaimana hukum jual beli kucing?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, permasalahan tersebut harus dikaji dari pelbagai aspek, mulai dari hukum jual beli, syarat benda yang bisa diperjualbelikan, sifat kucing itu sendiri, membandingkan semua faktor, baru setelah itu kita bisa menarik kesimpulan.

Semua jual beli yang tidak berkaitan dengan riba hukumnya boleh, seperti yang tertera dalam QS Al-Baqarah ayat 275. Hukum jual beli diperjelas kembali di dalam QS An-Nisa ayat 29, jual beli apapun selain yang berkaitan dengan riba dan tidak dilarang syariat, hukumnya boleh. Imam Asy-Syafi’ menjelaskan dalam magnum opus-nya di Al-Umm dalam menjelaskan ayat 29 surat An-Nisa di atas, “Hukum asli jual beli itu boleh terutama jika pembeli dan penjual sama-sama sepakat, kecuali apa-apa yang telah dilarang oleh Rasulullah SAW dan yang semacamnya. Tetapi jika Rasulullah SAW tidak melarang dan membiarkan, maka tidak apa-apa.”

Ada lima syarat barang yang boleh diperjualbelikan menurut syariat, yaitu: barangnya berwujud, bersih atau suci, bermanfaat, barang adalah milik penjual dan memungkinkan penyerahan barang baik secara fisik atau tertulis dari penjual ke pembeli. Jual beli sesuatu yang tidak bermanfaat jelas tidak sah hukumnya, seperti jual beli minuman keras atau togel. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 219:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

Sedangkan hukum jual beli bagi hewan yang bersih dan bermanfaat itu jelas mubah, seperti yang tertulis dalam surat Luqman ayat 20 dan Al-Jatsiyah ayat 13. Begitu juga jual beli hewan yang bersifat menghibur seperti burung, ikan hias, dll. Allah SWT menyinggung hal tersebut dua kali, dalam QS Al-Nahl ayat 8 dan 14.

Imam Al-Rafi’i menjelaskan dalam kitabnya Fathu al-Aziz, “Boleh melakukan jual beli hewan yang memiliki manfaat, seperti: kuda dan keledai yang bisa ditunggangi, atau burung pipit, merak, anak kucing dan monyet. Kita bisa terhibur bahkan kita bisa belajar dari mereka.”

Menurut mazhab Syafi’i bulu dan air liur anjing najis hukumnya, sehingga seorang Muslim yang menyentuh atau terkena jilatan anjing harus mencuci tujuh kali salah satunya dengan mengusap tanah. Sedangkan kucing domestik alias kucing rumahan, bulu dan air liurnya tidak najis, berdasarkan hadits hasan sahih yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi: إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ. Rasulullah SAW dengan tegas menyebut kucing tidak najis, senada dengan mayoritas ulama dari golongan Sahabat, Tabi’in dan diikuti seluruh imam dari empat madzhab.

Kita juga pasti pernah mendengar hadits tentang seorang wanita yang masuk neraka gegara menyiksa kucing. Bukan berarti wanita tersebut masuk neraka lantaran memelihara kucing, karena memelihara burung dalam sangkar saja boleh hukumnya. Wanita keji tersebut dijebloskan ke neraka gara-gara dia memelihara kucing, kemudian mengurung dan tidak memberinya makan.

Sedangkan alasan beberapa ulama mengharamkan jual beli kucing berdasarkan hadits:

عن أبي الزبير رضي الله عنه قال: "سَأَلْتُ جَابِرًا عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ. قَالَ: زَجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآله وسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ

Diriwayatkan dari Abu Zubair r.a., dia bertanya kepada Jabir r.a. tentang hukum jual beli anjing dan al-Sinnur. Jabir r.a. menjawab, Rasulullah SAW melarang keras jual beli untuk dua hal tersebut.

As-Sinnur dalam hadits di atas bermakna kucing. Salah satu pendapat Maliki menyatakan hukum jual beli kucing itu makruh berdasarkan hadits tersebut. Dzahiriyah malah menyatakan haram hukumnya jual beli kucing karena lafaz زجر adalah bentuk larangan paling keras.

Mayoritas ulama justru berpendapat sebaliknya. Lafaz as-Sinnur bermakna kucing liar alias kucing hutan. Berbeda dengan Dzahiriyah yang memukul rata semua kucing baik kucing hutan atau kucing rumahan sama haramnya untuk diperjualbelikan, mayoritas ulama berpendapat hanya kucing hutan atan kucing gunung saja yang tidak berguna untuk dipelihara. Sesuatu yang tidak bermanfaat tentu tidak sah diperjualbelikan secara syar’i.

Jumhur ulama juga berpendapat bahwa larangan dalam hadits di atas karena secara umum binatang buas itu najis, dan kucing hutan digolongkan sebagai الوحشي  alias binatang buas. Di dalam Al-Mughni al-Muhtaj juga disebutkan, meski jual beli kucing tidak dilarang secara mutlak, sangat dianjurkan untuk tidak menjual kucing tetapi memberikan kepada orang lain karena begitulah ‘urf (tradisi) yang berlaku. Imam Asy-Syarbini masih dalam Al-Mughni juga menambahkan, larangan dalam hadits di atas jika kucing yang dimaksud bukan milik penjual atau tidak mendatangkan manfaat bagi pembeli.

Sedangkan Syeikh ‘Ali Jumah juga pernah menjelaskan, jika karena suatu hal kita tidak bisa membiarkan kucing di rumah dan tidak terlalu membutuhkan uang, lebih baik jika memberikan kucing tersebut kepada orang lain tanpa minta bayaran. Meski jual beli kucing secara syar’i diperbolehkan, lebih baik mengikuti tradisi yang ada.

Team Anti Wildlife Crime (TAWC) yang bergerak dalam bidang penegakan hukum terhadap kriminalisasi binatang liar, diikuti Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di Indonesia juga mengamini pendapat tersebut. Mereka menindak tegas beberapa warga lokal di daerah Kalimantan Barat menangkapi kucing hutan untuk dijual. Padahal kucing hutan itu instingnya untuk hidup di alam liar, bukan jadi binatang peliharaan. Seekor hewan yang terbiasa hidup di alam bebas kemudian merasakan bagaimana sempitnya tinggal di dalam rumah dan kehilangan area berburu, bukan cuma kehilangan insting, bisa jadi mereka juga kehilangan kewarasannya. Makanya perdagangan hewan liar, seimut-imutnya mereka dan selicik-liciknya pembeli berkilah, secara hukum tidak boleh. Syariat mengakui hukum seperti ini sebagai sumber hukum dan mengadopsikannya ke banyak kaedah fikih. 

Yang jelas jual beli kucing bukan haram karena tidak bermanfaat atau lebih baik punya hewan ternak dibandingkan kucing seperti perkataan beberapa ulama yang viral di YouTube. Kucing bisa digunakan untuk menjaga rumah dari serangan tikus. Selain itu, bagaimana kita merawat peliharaan kita dengan kasih saying dan perasaan bahagia yang muncul atas tingkah laku gumpalan bulu yang menggemaskan tersebut adalah bukti syukur terhadap ciptaan Allah SWT.

﴿ذَلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ ۞ الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ﴾ [السجدة: 6-7]

Tulisan ini juga pernah dimuat di SanadMedia.

Habib Ali al-Jifri pernah memuji ketegaran Syeikh Ramadhan al-Bouthy dalam majlis di Sahah Raudlatun Na’im tiga tahun silam: dulu saat pergolakan konflik Timur Tengah belum terlalu banyak menumpahkan darah, para penguasa, ulama dan tokoh kondang lain sering berkumpul di sebuah even internasional seperti muktamar, dan yang semacam.

Habib Ali al-Jifri menyampaikan, pada saat itu hanya Syeikh al-Bouthy yang tidak merendahkan diri dan ilmunya di hadapan penguasa, sedangkan pada saat itu banyak sekali yang menundukkan diri terlampau rendah, seolah menjilat. Lagi-lagi Habib Ali memuji, Syeikh al-Bouthy sama tidak pernah takut untuk kehilangan muka dan menyampaikan kebenaran, bahkan tidak pernah merasa harus mencari muka.

Belum satu dekade usai meninggalnya alim kabir ini, dunia Islam kembali berkabung. Syeikh Muhammad Adnan al-Afyouni, seorang alim yang tidak kalah kabir dan namanya tidak lagi asing di dunia cendekiawan muslim, meninggal dunia dengan modus yang sama. Dibom. Padahal beliau yang mengajukan Habib Muhammad Luthfi bin Aly bin Yahya sebagai pemimpin Forum Ulama Sufi Sedunia atau Al Muntada' Sufi Al 'Alami tempo hari. 

Sebagai mufti Damaskus yang akrab dengan para habaib Ibu Pertiwi, tidak usah ditanya berapa jumlah pengikutnya. Saya pribadi lebih nyaman menggunakan istilah santri, maka tidak terhitung lagi berapa banyak jumlah santrinya. Setelah mengetahui jika almarhum meninggal karena dibunuh, apakah kita dan santrinya yang lain sanggup mengikhlaskan atau malah turut melaknat si pelaku, secara pribadi saya berdoa jika pelakunya tertangkap, bisa mendapat hidayah dan bertaubat.

Memang dari dulu, bahkan di Indonesia sendiri, para ulama sering sekali menjadi sasaran. Banyak bukti lapangan yang menunjuk, bisa saja pelakunya pemerintah atau suruhan, tapi tentu bukti konkrit tidak bakal terungkap sampai pemerintah yang berkuasa, terguling atau turun sendiri dari kursi. Naasnya, jika ternyata pelaku ini bukanlah orang suruhan pemerintah, melainkan korban dari paham ideologi yang salah. Jika benar begitu, apakah istilah kriminal pantas disematkan kepada pelaku? Benarkah seorang kriminal selalu berdarah dingin, tertawa culas dan menyeringai, tatapannya dingin dan selalu menyendiri seperti yang banyak kita lihat di film-film misteri, komik dan yang lainnya?

Motif kriminal seseorang berasal dari pelbagai macam faktor, baik genetik, lingkungan atau tradisi, yang kemudian membentuk pemikiran seseorang untuk melegalkan segala tingkah laku untuk mengakui eksistensinya. Bahkan tidak jarang beralih jadi psikopat tanpa disadari dan membunuh empatinya.

Jika empati seseorang sudah hilang, dia akan susah mengekspresikan emosinya. Dia bisa menjalin relasi dengan orang-orang di sekitarnya hanya dengan mengenakan topeng. Senyum, sedih, senang, dia sesuaikan dengan logika, bukan berasal dari hati. Osamu Dazai menjelaskan sifat ini dengan apik, detil dan sangat piawai di karakter utama dalam magnum opusnya, No Longer Human, yang menyabet nobel di tahun 1948.  Relasi yang dibangun oleh seseorang yang kehilangan empati dan mengenakan topeng terus-menerus pasti cepat runtuh, karena dibangun di atas kepalsuan. Jadinya bukan relasi baik yang tercipta tapi relasi yang bagaikan waduk bocor, tinggal tunggu waktu sampai ambrol.

Robert Waldinger menjelaskan salah satu penelitian dari Universitas Harvard di sebuah riset bertajuk The Longest Study on Happiness, jika seseorang tidak lagi mampu menjalin relasi yang baik dengan orang-orang di sekitarnya, dia tidak akan merasa bahagia. Seseorang yang kehilangan empati tidak mudah beremosi, entah marah, sedih, apalagi bahagia. Maka dia akan melakukan berbagai cara agar bahagia, terlebih cara yang ekstrim seperti membunuh dan lain sebagainya. Orang yang sering membaca atau menyaksikan berita kriminal, pasti mengerti, mereka menemukan kepuasan dalam membunuh. 

Pernah ada riset, saat mereka diwawancarai, ada gurat samar yang tersirat di bibir setiap pelaku terutama di pertanyaan, “Bagaimana perasaan Anda setelah membunuh korban?” Mereka tidak langsung menjawab, tapi ekspresi mikro yang muncul di bibir mereka mengisyaratkan satu emosi yang sangat diakui dalam psikologi praktis: mereka merasa bersalah.

Saya yakin, pelaku pengeboman almarhum Syeikh Ramadlan al-Bouthy dan Syeikh Adnan al-Afyouni, jika tertangkap dan diinterogasi, tentunya dia akan merasa bersalah. Kita tidak tahu apakah itu ulah pemerintah, penduduk sipil atau malah sesama saudara muslim, tapi jika terbukti opsi ketiga sebagai dalang, sungguh sangat kasihan sekali. Motif yang berangkat dari kesalahpemahaman doktrin, meracuni otak dan akhlak sehingga bisa mencelakai bahkan membunuh sesama Muslim yang lain, akar dari penyakit jiwa ini semua berasal dari hati.

Imam al-Ghazali menjelaskan dalam Ihya ‘Ulumiddin, kesalahan berlogika yang berpengaruh kepada akhlaq dan tingkah laku, semua berasal dari dlomir (nurani). Nurani seseorang berbeda-beda, karenanya tingkatan ihsan dan takwa seorang Muslim juga berbeda antara satu dengan yang lain, bahkan kadar pemahaman al-amr bin la’ruf wa an-nahyu ‘an al-munkar juga bisa berbeda tergantung ilmu, kemampuan nalar, kemampuan berempati dan lingkungannya. 

Seseorang yang salah paham akan suatu bacaan atau wacana tidak akan gegabah bertindak sembrono atau berlaku ekstrim, tetapi jika ternyata didukung oleh kerabatnya, gurunya, keluarganya, nurani yang semula menyangkal untuk berbuat keji lambat laun akan pasrah dan takluk. Dia akan kehilangan empati sehingga susah bertoleransi. Dia juga bakal kebingungan membedakan mana yang baik dan buruk, bahkan perkara qath’i seperti membunuh tetap dilakukan.

Seseorang yang dlomirnya terkikis atau bahkan mati, jiwanya bakal sakit. Jiwa yang sakit akan berpengaruh ke akal dan tingkah laku. Seperti yang dijelaskan di atas, saat nurani sudah mati, seseorang pasti akan berkilah saat melakukan sesuatu, enggan mengakui kesalahan dan berusaha menjustifikasi segala perbuatannya sebagai kebenaran. 

Muhammad Utsman Najati, seorang dosen psikologi di Universitas Kairo dan Universitas Kuwait dalam bukunya al-Qur’an wa ‘Ilm an-Nafs menjelaskan, karena nurani yang rusak menyebabkan jiwa yang sakit, alih-alih berbuat baik dengan menjauhi maksiat, seorang Muslim bisa bertendensi untuk menyerang sana-sini baik verbal atau fisik, kemudian berteriak lantang jika apa yang dia lakukan tujuannya mulia. Padahal detik pertama ketika dia bersikap A, dan itu salah, kemudian menjustifikasi jika itu benar, padahal sudah diingatkan dan tetap ngeyel bukan main, itulah hipokrit. 

Syeikh Imam al-Ghazali r.a. sendiri tidak menyebut mereka sebagai munafik, karena jika munafik berasal dari penyakit hati, bagaimana bisa jiwa seseorang sakit padahal dia tidak tahu dirinya sakit? 

Beliau menjelaskan panjang lebar dalam kitabnya Ma’arij al-Quds fi Madariji Ma’rifati an-Nas, di bab Relevansi Ilmu dengan Hati, hati yang baik menuntut akal untuk selalu bersibuk diri dengan ilmu. Dengan unik, dia menjelaskan, cermin tidak mampu merefleksikan bayangan suatu benda jika pantulan cahaya dari benda ke cermin tidak terang atau bahkan gelap. Jika cermin adalah jasad, maka benda yang akan direfleksikan adalah hati nurani dan cahaya agar hati bisa terefleksikan dalam cermin, itulah ilmu. Maka orang-orang yang masih salah kaprah dalam memahami Islam, mereka bukan munafik, tapi lebih pantas digolongkan sebagai المعتوه alias idiot.

Lantas bagaimana cara menjaga dlomir alias nurani agar senantiasa bersih? Jika tubuh perlu berolahraga untuk menjaga kebugaran, hati nurani juga perlu berolahraga dengan riyadloh-nya. Riyadloh ini macam-macam bentuknya, makanya tidak heran jika ulama-ulama terdahulu atau kyai-kyai kita sering melakukan amalan tertentu, semua itu dilakukan sebagai upaya untuk olahraga hati. Tentunya dengan tidak melupakan ibadah wajib dan menjauhkan diri dari maksiat. 

Ciri seorang alim adalah bukan selalu memperbanyak ibadah, percuma gali lubang tutup lubang jika ibadah yang ada malah tertutup dengan dosa. Ciri seorang alim yang juga bersih nuraninya, yaitu tidak mewajibkan sesuatu yang tidak wajib, dan selalu berkata benar meski itu pahit. Seorang alim juga tidak boleh cari muka, tetapi seperti harus berani saat dibutuhkan. Sifat-sifat tersebut mampu kita temukan dalam sosok almarhum Syeikh Ramadlan al-Bouthy dan Syeikh Adnan al-Afyouni. Jangan ditanya bagaimana tirakat mereka, para ulama lain dan para santri yang sering ngaji atau membaca beragam kitab karya kedua almarhum pasti turut bersaksi. 

Untuk membersihkan hati dengan banyak mengkaji ilmuNya dengan benar dan tidak sesumbar, serta senantiasa menjaga kesuciannya dari berdosa. Dua cara efektif yang mampu mencegah seorang Muslim agar tidak terjerumus ke lubang kriminal dan mencegah terciptanya teroris-teroris lain, wal ‘iyadz billah.

* - Tulisan berjudul sama pernah tayang di situs SanadMedia dengan gubahan seperlunya.

 

Ketika melihat story WA seorang adik kelas, spontan saya iseng tanya, kenapa kok tidak mengajak mabar Among Us padahal saya juga doyan main? Dia menjawab, mereka main larut malam. Oh pantas, tentu saja saya tidak bisa ikutan. Untuk apa menyiksa diri begadang padahal paham jika tidur larut itu merusak kesehatan? 

Obrolan merembet ke perbincangan betapa mudah sebuah klub atau komunitas yang tidak terdiri dari para profesional menerbitkan sebuah sertifikat padahal hanya untuk acara biasa, dengan muatan materi yang biasa juga dan dengan pemateri yang malah kelewat terlalu biasa. Sialnya, manusia hanya bisa melihat yang zahir. Bahkan kebanyakan bukan hanya bisa, tapi hanya mau. Jadi mereka berpikir semakin banyak sertifikat di tangan, terlepas sertifikat tersebut bergengsi atau tidak, diterbitkan oleh sebuah instansi masyhur atau tidak, maka semakin mudah bergaya dalam menampilkan atribut kekerenan diri entah dalam medsos atau dalam hal lain. Yang jelas dalam melamar pekerjaan atau perkuliahan, mereka mengacuhkan sertifikat kecuali yang diterbitkan berlisensi.

Kembali ke perbincangan tadi, saya iseng lagi meminta seorang adik kelas untuk bertanya kepada orang-orang yang dengan sembarangan menerbitkan sertifikat abal-abal tersebut. Dia menolak halus, katanya malu karena itu temannya. Justru saya tegur, teman yang baik harusnya saling mengingatkan, bukan malu atau risih untuk menegur jika ada salah. Dia cengengesan.

Saya jadi teringat perkataan Imam Ghazali r.a. dalam bukunya Bidayatul Hidayah, persaudaraan itu ada tiga: persaudaraan untuk akhirat dan pertimbangan agama yang selalu jadi prioritas, saudara untuk dunia dan bisa mengingatkan dalam hal adab dan etika, dan terakhir adalah persaudaraan yang dibangun hanya untuk berleha-leha, yang kita harus dengan cerdas menghindar dari siasat dan makarnya. 

Memang perkawanan antar muslim itu pantas disebut sebagai persaudaraan. Persaudaraan seagama. Seperti dalam dunia persilatan juga ada saudara seperguruan. Jika sesama perguruan saja saling melindungi, apalagi dalam ikatan keagamaan. Makanya banyak sekali hadits yang mengajarkan untuk tidak saling menebarkan aib sesama saudara misalkan, atau bagaimana sebuah perbedaan itu adalah rahmat dan kita harus menyikapinya dengan bijak, meski dalam kaedah Fikih disebutkan pula bahwa menjaga persatuan yang ada kepada awam lebih baik daripada mengajarkan perbedaan. Tentu karena sikap dan reaksi orang berbeda-beda dan dalam mengajari orang awam lebih baik kita selalu menekankan persatuan atau yang sudah masyhur agar tidak menjadi bahan perselisihan.

Sebenarnya adik kelas saya ini cerdas dan bisa saja menjelaskan kepada kawan-kawannya yang tamak gelar itu agar selalu ingat, di atas langit masih ada langit dan untuk tidak menjadi katak dalam tempurung. 

Saya sengaja menulis tamak gelar, karena untuk manusia berkepala dua ke atas yang masih salah mengambil keputusan, saya kira bukan julukan naif saja yang cocok disematkan. Nah adik kelas saya ini rupanya lebih memilih untuk menahan diri, dan dia menyebutkan sebuah alasan yang saya hormati. Dia tidak mau juga dipanggil orang yang suka ikut campur urusan orang lain, disebut sok alim atau merasa ilmunya terlalu tinggi sehingga hobinya jadi suka menyalahkan. Saya hormati jawaban tersebut, meski dalam hati saya bertanya-tanya: seberapa jauh batasan menasehati, menegur atau mengingatkan sehingga disebut ikut campur?

Paham demokrasi mengajarkan kebebasan berpendapat, yang jika dilihat dari satu sisi memiliki nilai positif dalam kesamarataan hak dan keadilan, tapi di sisi lain kita bisa santai berpendapat dengan dalih hak asasi dan menyerang sana-sini kecuali untuk beberapa kasus yang sudah diikat hukum. Meski apalah arti hukum positif di tangan pelaku hukum berlidah ular. 

Maka jika berkaca ke demokrasi, tidak ada salahnya mengkritik selama masih dalam ranah toleransi. Kita juga pasti sering sekali dalam sholat fardlu atau nafilah membaca surat al-Ikhlas, dan tentu makna saling menasehati dalam hak dan kesabaran itu seharusnya sudah melekat dalam otak, hanya meresap dalam jiwa dan terlaku dalam amal atau belum, itu pertanyaan. Apalagi saat berhadapan dengan dilema, kita mengerti ada yang salah. Seseorang bersalah, menurut kita, tetapi kita ragu ingin menegurnya. Tentu karena kita banyak belajar dari kisah para sufi dan ulama terdahulu, sering sekali mereka menyimpan sebuah amalan dan menampilkan yang lain. Sering sekali orang-orang salah kaprah kepada mereka dan kadung menyematkan label pendosa atau semacamnya kepada mereka, padahal segala yang tersimpan di dalam hati, siapa yang tahu?

Manusia hanya bisa menilai dari sesuatu yang dzahir, perkara hati urusan Tuhan. Biasanya kita menemukan kutipan ayat dan tafsir dari surat al-Ahzab ayat 51 sebagai dalil, naas maknanya terlalu disempitkan dalam urusan cinta sehingga kebanyakan artikel atau video-video 'ustadz muda' yang bersliweran di dunia maya cuma menggunakan ayat tersebut untuk menghibur hati yang gundah gulana atau sebagai dalil untuk cepat nikah muda untuk mereka yang sering dikecewakan cinta. 

Ini jelas-jelas jual agama, memahamkan orang lain dengan pemahaman yang kurang dalam juga. Jika kita akrab dengan dunia turats, kandungan ayat tersebut tidak lagi menyoroti cinta, tapi sangat erat sekali dengan dunia tashawwuf. Perkara hati memang seyogyanya urusan kita dengan Sang Pencipta, bukan unjuk atau minta pengakuan eksistensi sesama makhluk. Caranya juga macam-macam, misal Sunan Bonang dengan tembung Tombo Ati, Abu Nuwas dengan syi'ir I'tirafnya, dan banyak lagi. Mengolah hati bukan semata memperbanyak ibadah, tapi juga bagaimana menemukan mediasi yang tepat dalam setiap laku untuk mengamalkan apa sesungguhnya yang sudah kita pelajari dalam Islam. Agama bukan simbol. Intisari Islam bukan celana harus cingkrang, harus jenggotan dan mudah menyalahkan.

Makanya para ulama kita juga selalu menjelaskan bagaimana adab dalam menegur dan mengingatkan dengan sangat apik, seperti yang dikutip dalam Jami' al-'Ulum wa al-Hikam, Ibn Rajab r.a. menjelaskan, nasehat yang baik utamanya dilakukan dalam ranah privat, bertemu empat mata, bukan publik. 

Beda menasehati dengan menyalahkan. Menasehati selalu diiringi dengan niat baik, dibalut dengan kalimat yang santun, bermaksud mengklarifikasi bukan menuduh dan tentunya mengedepankan tata krama, tentunya akan mengenai hati orang yang ingin mendengar. 

Jika orang yang dinasehati terlalu bebal atau tertutup hatinya, tidak ada salahnya mengingatkan kembali suatu saat dengan mencari sikon yang tepat. Sedangkan menyalahkan, itu jika ternyata kita masih berburuk sangka setelah menegur, apakah dia akan bertaubat atau tidak, padahal itu urusan dia dengan Yang Maha Mengetahui Isi Hati. Menyalahkan juga bisa dalam bentuk merasa alim sendiri, merasa menang sendiri, begitu melihat adanya suatu kebathilan atau kemungkan, lupa seharusnya yang dinasehati duluan adalah diri sendiri, lantas langsung menghakimi orang yang bersalah tersebut tanpa tedeng aling-aling.

Menegur juga berbeda dengan diskusi, Syeikh Asy-Syanqithi panjang lebar menjelaskan dalam Adab al-Bahts wa al-Munadzarah, ranah diskusi agar banyak orang bisa turut menyimak dan turut nimbrung agar bisa mencapai kebenaran dalam suatu hal yang sedang dibahas. 

Sayangnya, masih banyak yang tertukar antara adab munadzarah ini dengan menasehati, atau bahkan menyalahkan. Seperti kasus kawan di atas, karena ini kesalahan pemula, maka etika yang patut diambil adalah mengingatkan dengan apik. Apa yang diutarakan dari hati pasti bisa diterima hati, apalagi sebenarnya ini bukan kesalahan yang teramat fatal, hanya saja untuk mencegah terciptanya mindset gila gelar dan terhindarkan dari ‘ujub atau riya’ lebih baik dicegah sejak dini. Kalau sudah kebablasan, takut kepala mereka bakal semakin bebal. 

Persis seperti bapak-bapak yang kerjanya ongkang-ongkang kaki dapat gaji dari keringat rakyat tapi tidak mengindahkan atau bahkan jadi aspirasi rakyat sama sekali. Dinasehati tidak bisa, diajak diskusi mencari forumnya juga susah, malahan sampai harus ngajak ngobrol dengan kursi kosong misalkan. Kasus seperti ini, bicara hati ke hati jadi tidak bernilai sama sekali. 


*Tulisan ini juga pernah tayang di situs lain dengan gubahan seperlunya. Monggo mampir ke https://sanadmedia.com/seni-menasehati-agar-bisa-didengar-hati/ 

Dalam urusan memasak kita pasti akan memilih bahan terbaik untuk menghasilkan makanan yang enak pula. Sayangnya, tidak begitu dengan hal memilih pasangan.

Saya menyadarinya sedikit terlambat. Ada seseorang yang sangat mencintai saya, saya pun demikian. Dia seorang yang alim, tapi sengaja menyembunyikannya. Semakin jauh saya mengenalnya, semakin kagum saya dibuatnya. Sebuah hubungan yang serius selalu mampu memaksa dua insan untuk saling berdiskusi terutama terkait masa depan, tentu karena hubungan yang benar berasal dari hati akan menargetkan sesuatu sampai selesai. Dia terbuka untuk bercerita apa adanya, sampai suatu ketika dia pernah bercerita suatu hal yang sangat menyentakkan hati. Saya terperanjat. Tidak ada seseorang yang tidak memiliki cacat. Dengan angkuhnya, saya memutuskan hubungan tersebut. Umur masih muda, tapi tak terhitung reputasi dan prestasi yang saya raih. Wawasan agama saya cukup luas, tidak mungkin seorang bidadari yang rupanya jelmaan beruk menyamar disandingkan dengan calon seorang raja. Sesumbar sekali saya berpikir dalam hati. Begitu pongah saya berpikiran, dan dengan teramat menyesal saya menyadari pilihan itu salah setelah lewat ratusan purnama. Tidak usah saya jelaskan bagaimana, tetapi kelak wanita tersebut beruntung telah menemukan pasangan yang mampu menerima segala kebaikan dan keburukannya, bertahan dan terus saling berusaha menjaga dan memperbaiki diri.

Dalam urusan mencintai, kita tentu mengharapkan yang terbaik dari pasangan kita kelak. Manusia selalu berpengharapan lebih, selalu mengharapkan sosok yang sempurna untuk menggenapi separuh jiwanya. Saya menyebutnya sebagai racun budaya yang kerap dipopulerkan oleh serial drama Korea dan serial drama Barat jauh sebelum itu yang kerap menggabungkan budaya hedon dan menampilkan bahwa kebaikan selalu sebanding dengan penampilan, meski mungkin pemikiran saya terlalu dangkal dan picik karena terlalu menggeneralisir, nyatanya banyak pemuda-pemudi yang tanpa disadari melakukan hal ini.

Saya menyadarinya terlambat, sekali lagi menegaskan, karena sekian banyak buku yang dilahap, saya melupakan sebuah esensi yang sangat fatal. Esensi yang seharusnya diajarkan oleh para sesepuh, guru dan banyak hal lain dalam mengajarkan suatu ilmu: keikhlasan.

Makna ikhlas di sini bukan berarti melepas dan merelakan, banyak yang salah kaprah dalam hal itu. Manusia selalu ingin mengubah sesuatu menjadi lebih baik, contoh dalam hal pasangan, mereka pasti ingin pasangan mereka berubah sesuai dengan imej yang ada dalam benak mereka. Disuruhnya ini, itu, mereka harus begini, mereka harus begitu. Saya pernah bercerita kepada Ibu, sangat manusiawi sekali jika kita beranggapan begitu dan melakukannya. Ingin mengubah dan berubah. Kelak lupa, setiap harinya manusia selalu berubah. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, kita tidak tahu kapal ajal kan menjelang, maka seorang muslim yang cerdas senantiasa harus mempersiapkan dirinya unutk kemungkinan yang terburuk yakni kematiannya dan muslim yang lemah akal selalu hanya ingin memperturuti hawa nafsunya. Begitu ucap sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Majah.

Apa kaitannya dengan keikhlasan? Dari dulu saya selalu tertarik memperdalami psikologi, mungkin karena sedari kecil selalu dicecoki bacaan-bacaan detektif, sehingga lambat-laun sering bertanya-tanya, apa motif seorang kriminal melakukan kejahatan? Banyak teori yang diulas oleh para pakar Kriminologi, penjelasan mereka tidak selalu sama. Saya masih belum puas. Kemudian saya pernah menulis sebuah makalah dan diterbitkan di sebuah jurnal yang berkaitan dengan krisis moral dan humanisme dalam pandangan Islam. Tulisan itu menuai banyak puji, tapi juga kritik. Para senior kajian yang terlebih dahulu malang-melintang dalam dunia akademisi menganggap tulisan saya terlalu kering. "Kamu perlu lebih banyak lagi membaca karya-karya tashawwuf, karena ilmu psikologi Barat hanya bisa mengupas kulit. Dalam Islam, karena epistemologi kita meyakini adanya ilmu yang bisa diraih dari selain deduksi dan empirik, maka hati dan kematangan jiwa juga mempunyai dampak yang sangat besar dalam mengembangkan suatu karakter seseorang."

Saya menemukan jawaban tersebut setelah berulang kali menyimak pelbagai pelajaran yang diasuh oleh para guru di Bumi Kinanah dan mengalami suatu kejadian yang selalu terkenang. Hati adalah sesuatu yang sangat amat goyah, dan manusia harus terus mengasahnya agar posisi hati tidak terus tenggelam dalam kubangan sampah. Dengan beberapa sahabat, kami sepakat berusaha memanifestasikannya dalam banyak hal. Kita tidak usah menampilkan topeng kebaikan di muka umum, dan senantiasa mengamalkannya dalam karya yang lain. Kawan lain ada yang mengamalkannya dalam praktik berdagang, dengan anggapan untung dan rugi semua dalam kuasa Tuhan. Bagaimana sikap kita saat diuji dengan kebahagiaan dan kesedihan, itulah esensi keikhlasan. Ada lagi yang mengamalkan dengan mengajar. Dia melihat bagaimana reaksi diri saat dikritik murid, dia juga ingin menguji murid dari segi kejujuran dan ketekunan. Saya sendiri berjanji kepada diri, untuk mampu menghasilkan karya dan seni yang nampak tidak dibalut dengan aksesoris Islami tetapi ruh dan praktiknya adalah manifestasi dari ajaran-ajaran Islami. Semua itu adalah olah batin yang berusaha diperoleh oleh seorang manusia yang ingin mencapai tingkatan jiwa tertinggi: an-nafs al-muthmainnah. Penjelasan lebih hangat dan jelas bisa disimak dalam seluruh majelis ilmu Syeikh Sya'rawi atau dalam bukunya yang sudah dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, Psikologi Sufi.

Tetapi lagi-lagi, ilmu keikhlasan ini sungguh sangat berat. Saya menemukannya dari sosok wanita lain. Sudah belajar dari pengalaman masa lalu, dan dia dengan masa lalunya, kami dipertemukan dalam sebuah garis takdir yang sangat rumit. Dia mengetahui apa kekurangan saya, tetapi berusaha menambalnya dalam hal itu, saya juga berjanji untuk mengubahnya. Saya juga tahu bagaimana kekurangannya, tetapi saya juga mencoba bersabar dan menasehati diri pelan-pelan. Semula keluarganya menentang, karena tentu, siapa pula yang orang tua yang mau anaknya dijodohkan dengan lelaki yang lebih, lebih bau kencur daripada putrinya? Tetapi usaha wanita tersebut selalu saya kagumi bahkan sampai sekarang. Dia rela melawan semua keputusan keluarga yang menentang kami. Lambat laun, mereka pun luluh dan berhasil menerima saya. Tentu juga setelah mereka berdiskusi panjang lebar dengan saya dan banyak hal lain yang kami lakukan bersama. Manusia hanya bisa saling memahami ketika mereka dihadapkan sebuah permasalahan dan mereka bekerja sama dalam memecahkan hal tersebut.

Naasnya, meski keluarganya telah menerima saya dengan baik, lain halnya dengan keluarga saya. Ibu menolak habis-habisan, tentunya dengan pelbagai alasan. Cukup logis memang, karena faktor usia yang diperhitungkan. Tetapi alasan kedua sungguh sangat tidak masuk akal, karena menurutnya latar belakang keluarga si mempelai bukan berasal dari keluarga yang cukup agamis. Saya membantah, keluarga kami juga tidak agamis. Satu-satunya orang yang masuk pesantren dan kuliah di Timur Tengah hanya saya, yang lain tidak. Kemudian Ibu membantah lagi, dan sekaligus mengancam: kalau masih bersikeras, tidak usah pulang. Kalau masih dilanjutkan, beliau tidak akan pernah ridla sama sekali. Ucapan tersebut sanggup mengubah kehidupan kami kelak. Saya menjelaskan kepada keluarga wanita dengan baik-baik, mereka tentu tidak terima dengan kenyataan tersebut. Mereka menganggap saya lelaki yang tidak bertanggung jawab, tidak menyelesaikan urusan yang sudah dimulai. Saya gelagapan tidak tahu harus menjawab apa. Saya sudah kehilagan sosok yang benar-benar saya anggap ideal untuk dijadikan pasangan hidup, juga kehilangan muka, kehilangan semangat, kehilangan banyak hal. Mungkin kawan-kawan yang membaca ini menyatakan: "Kamu terlalu berlebihan!" tapi saya yakin mereka yang pernah mengalami pasti mengamini.

Kejadian tersebut menorehkan luka yang teramat dalam. Saya meminta bantuan beberapa ustadzah yang kebetulan alumni dari kampus saya kuliah dan pihak keluarga untuk mendekati Ibu saya dan membantunya mengajari terus bagaimana Islam yang sesungguhnya, karena saya yakin seseorang hanya bisa dipahamkan dengan orang lain yang mereka hormati atau percayai. Jika kehormatan atau kepercayaan itu hilang, apa saja yang kita katakan tidak akan pernah menyentuh hati. Saya sendiri karena takut berbuat hal yang sanggup dicap sebagai anak durhaka, melarikan diri kembali ke negeri yang saya anggap bisa mengajarkan saya menjadi lebih baik. 

Sebenarnya itu adalah bentuk pelarian diri untuk menghapus kesedihan yang tidak bisa diutarakan. Sekembalinya saya ke negeri itu, saya kerap membunuh waktu dengan belajar banyak hal, sembunyi-sembunyi belajar dari apa pun, bergabung dalam majlis dan kegiatan apapun yang saya yakini bisa membuat saya lebih baik, dengan kerap tidak menampilkan diri atau menyamar. Hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas r.a. terkait seorang muslim harus mampu memetik hikmah dari segala hal dan dalam kondisi apapun selalu saya tanam baik-baik dalam sanubari. Saya tidak akan memposting bahkan melarang kawan-kawan yang mengerti saya terlibat dalam suatu kelompok yang baik, karena cukup bagi saya tidak perlu kelihaian, kepandaian atau kemampuan seseorang diketahui banyak orang. Cukup bagi mereka yang bisa mengapresiasi kita. Maka jangan heran kenapa saya bisa memiliki banyak masker dan kacamata bahkan sejak pandemi Covid 19 ini muncul. Saya juga sengaja membiarkan imej yang melekat dalam diri memang jauh dari kata sempurna, biar hanya mereka yang akrab dan benar-benar ingin mengenal saya yang bisa memahami. Manifestasi ini sudah sering saya tuangkan dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya, di Ikon atau buah pikir singkat di sini. Hasil dari pengembaraan tersebut menyimpulkan sebuah janji untuk saya sendiri: saya ingin berubah lebih baik, tetapi tidak ingin banyak orang yang tahu. Biar hanya segelintir orang yang mengerti, dan saya tidak akan pernah mau menilai sesuatu dari kulitnya. Jika saya melanggar janji, biar Allah SWT yang menegur.

Rupanya ujian datang dalam berbagai bentuk. Seunggul-unggulnya manusia, kita bukan nabi. Posisi hati juga bisa naik dan turun, tidak bisa diprediksi. Saya lalai, pernah bergabung di sebuah wadah keilmuan yang sungguh sangat apik dan karena iming-iming harta kemudian memutuskan untuk tidak melanjutkan lagi. Kekhilafan ini berbuah simalakama.

Saya menemukan seorang wanita yang saya anggap merupakan cerminan ideal dari wanita yang akan menjadi pasangan hidup saya kelak, tapi memang karma nyata adanya. Apa yang terjadi di akhir sungguh seperti kisah yang pernah saya alami. Kekhilafan saya yang melahirkan pelbagai kekecewaan di dirinya walhasil mampu membuatnya mengambil keputusan drastis. Saya tentu memakluminya. Pertama, itu karma, dan saya pernah berlaku serupa, yaitu kisah yang saya ceritakan di awal. Wa jazau sayyiatin sayyiatun mitsluha. Dengan gelap mata saya memandang bahwa sebuah diri tidak aka pernah terjerembap dalam lubang, padahal kita hanya manusia tempatnya salah dan lupa. Kedua, seseorang diuji dengan seberapa mampu dia bertahan dan dengan kepercayaan. Saya yakin sudah tidak ada kepercayaan dalam dirinya dan menyalahkan, padahal dulu dia yang meminta bertahan, rupanya kalam itu diingkari sendiri, meski saya tidak menyalahkan sepenuhnya. Saya juga punya andil dalam membuatnya kehilangan kepercayaan tersebut. Ketiga, jika benar faktor keluarga turut memegang peran, maka keluarganya benar-benar cerminan keluarga saya dulu. Meski di suatu hal, saya sangat menyesalkan kegagalan menikah bukan karena faktor ekternal melainkan dari keluarga saya sendiri seperti yang saya ulas di kisah kedua di atas, rupanya mata keluarga seakan tersingkap setelahnya. Mereka semua benar-benar berubah, entah dari mana, tentu dengan kehendakNya. Maka saya tidak mungkin menyalahkan keluarga wanita kali ini, tapi saya berharap dan berdoa agar kelak dia yang mampu membawa perubahan yang lebih baik di keluarganya. Keempat, meski dia menyangkal, saya kenal karakternya. Dia akan dengan mudah mendapatkan pengganti baru yang menurutnya lebih baik dari sebelumnya. Memang saya juga salah menilai, alasan ketertarikan dia di awal dengan saya karena gelar, bukan karakter. Saya mencintainya karena banyak hal yang tidak bisa diuraikan satu per satu, dan tak acuh dengan segala status, usia atau apapun yang dia sandang. Rupanya dia tidak. Gelar dan harta bisa dikejar. Seharusnya saat bertanya mengenai cinta sejati, kita akan kelimpungan menjawabnya. Beberapa mungkin menjawab dari mata, beberapa lain menjawab karena hal lain. Tapi cinta sejati letaknya di hati. Saya mempelajarinya dari dua wanita, yang satu Ibu Kandung, satu lagi tidak usah saya jelaskan, kawan-kawan mungkin bisa menyimpulkan. Saat diri tidak puas dengan sesuatu yang ada dan dengan serta merta meninggalkan tanpa berusaha, berarti memang dari awal dia tidak ikhlas menerima. Fungsi ikhlas dalam segala sesuatu sangat dalam jika kita mampu melihatnya.

Baik, curhatan ini saya cukupkan. Bagi kawan-kawan yang tidak sengaja tersasar ke blog saya, semoga bisa mengambil hikmah dari tulisan sampah ini. Bagi kalian yang sedang diuji, sebelum tali pernikahan telah terikat, jika kamu masih bisa melihat kebaikan dalam diri pasanganmu, cobalah bertahan. Jika kalian sudah menikah dan kelak menghadapi permasalahan yang sama, ingatlah anak kalian. Jika kalian masih dalam pencarian dan terus mengharapkan sosok yang sempurna, percayalah bahwa hasil yang baik hanya bisa diperjuangkan bersama-sama, bukan sebelah pihak. Jangan gegabah mengambil keputusan, terutama di saat sedih atau senang sedang dalam puncaknya. Satu hal yang perlu dicamkan, bahwa ketika kamu sudah berjanji untuk mengubah diri menjadi lebih baik, biarkan pasanganmu menilai. Jika dia tidak mampu, pasrahkan ke Penciptamu.

Dot 2.0

Mungkin salah satu alasan mengapa buku-buku motivasi beredar, karena masih banyak orang yang tidak sadar jika kunci sukses hidup ada di tangannya, bukan di orang lain. Kesuksesan dalam hal ini bukan semata nilai duniawi semata, pertimbangan moral, kebutuhan atas pengakuan eksistensi atau perkembangan karakter seseorang juga begitu. 


Dalam sebuah perkumpulan, mungkin terlalu sempit jika saya menggunakan diksi tersebut, tetapi saya berharap kata perkumpulan bisa mewakili. Seseorang yang terjun di dalamnya akan melihat sesuatu dari dalam ke luar bisa dengan pelbagai kacamata, baik skeptis, bening, bahkan hitam pekat. Tetapi pandangan tersebut masih tertutup dengan sekat bernama perkumpulan itu sendiri. Jika kita mencoba menjauh sesaat dan melihatnya dari luar, acapkali kita bisa melihat kebobrokan yang semula tidak tampak dari dalam. 

Saya sangat prihatin jika melihat suatu kelompok yang terlalu didominasi oleh sebuah pihak atau seseorang, sedang yang lain tidak menyadari jika mereka sedang dikendalikan. Dalam hal ini, karisma dan retorika seseorang itu berpengaruh sekali. Kita bisa melihat figur-figur besar dalam setiap keadaan atau bahkan sejarah, cenderung dipenuhi banyak retoris. Manusia yang tidak berpikir kritis dan hanya mengiyakan perkataan karib atau kolega yang mereka percayai, selamanya akan didominasi oleh control-freak seperti para retoris itu. 

Misal ada beberapa ide yang terlontar, dan itu berasal dari mulut orang yang tidak kamu hormati atau sayangi, meski ide tersebut gemilang, apakah kamu akan mendengarkannya? Nihil. Jarang ada orang yang bisa berpikiran terbuka dalam hal tersebut. Nepotisme, pilih kasih dan hal-hal sentimentil lain sepertinya sudah terlalu mendarah daging di dalam diri kita. Kalau kamu menyangkal karena tahu kamu tidak seperti itu, baguslah. Kalau kamu menyangkal karena kamu tidak tahu jika kamu seperti itu, sangat disayangkan. Saya bukan siapapun jadi celotehan ini silahkan diampaskan, karena secara naluriah memang tidak ada singa yang mau tunduk sukarela kepada singa lain. Apakah kamu singa? Belum tahu. 

Kembali ke motivasi diri dan krisis nalar kritis. Sampai sekarang saya masih mempertanyakan, apakah nalar kritis itu dilihat dari sebanyak apa mulut kita sampai berbusa ketika berbicara tanpa mau memasang telinga atas kritikan orang, atau seberapa keras kita berjuang menahan sabar dari tatapan dan mulut penuh sindir saat kita sedang berupaya. Jawaban yang benar seharusnya yang kedua, cuma banyak juga yang terpengaruh, mungkin dari pergaulan atau wacana mereka terhadap kultur-kultur asing salah kaprah, dan meyakini semakin besar dan banyak bualan kita, semakin tinggi pula nilai diri di hadapan khalayak. 

Sayangnya, era milenial, terdukung dengan jaringan sosmed yang penuh dengan ajang unjuk gigi, mendukung jawaban pertama tadi.

Sampai sekarang saya bingung, bagaimana cara bahagia tanpa membuat yang lain iri. Pastinya tidak ada, kodrat manusia memang diciptakan sebagai makhluk tamak. Cukup belajar sabar aja, semakin sering menderita, hatimu semakin baja. Jawaban yang cukup permisif memang, tapi toh ada hikmah yang bisa dipetik dari kalimat tersebut, konon. Pertanyaan lain, sejauh mana seseorang menyadari motif dari suatu tindakan? Apalagi jika tindakan-tindakan tersebut berakibat masif? 

Para psikolog Barat menjelaskan motif tindakan seseorang berdasarkan banyak faktor, tidak akan saya ulas di sini, tapi menekankan ke 'bagaimana', jika kita mempelajarinya, tentunya kita akan mampu merancang beberapa rencana berlangkah-langkah jauhnya ke depan. Bagaimana cara melatih diri untuk bisa melihat motif seseorang dengan benar, tanpa tertipu - meminjam istilah Jung - Persona yang seseorang kenakan. Tentunya hal ini hanya bisa dilatih dengan ketekunan dan intensitas interaksi, atau pengalaman berkomunikasi bertujuan menyerap, bisa ilmu atau apa saja dari lawan bicara, kemudian memasang jarak dan memosisikan diri dengan menganggap lawan bicara kita sebagai objek penelitian. Mengamatinya dengan cermat, penuh detil, hingga ke sudut paling dalam, dan tidak berhenti untuk menarik konklusi sebelum memilahnya dengan berbagai macam variabel yang ada. 

Sayangnya, seringkali hal tersebut hanya berlaku kepada seseorang yang kita minati, bisa karena cinta atau penasaran. Ketika kita acuh kepada sesuatu atau seseorang, kita terima saja ucapan atau data yang sampai ke telinga, tanpa konfirmasi. Fatabayyanu, fatabayyanu, biasanya cuma jadi pengingat saat kita yang jadi korban. 

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Software