Pada mulanya anggota grup musik ini hanya terdiri dari Nasution bersaudara. Baru pada tahun 1969, Chrisye dan beberapa personil lain mulai mewarnai sejarahnya. Beberapa tahun setelahnya, mereka diundang ke New York untuk bermain di Restauran Ramayana milik Pertamina, dimana nama grup musik ini pun semakin mengharum. Apalagi setelah Guruh Soekarnoputra mengontak mereka , mencoba menggabungkan nuansa warna musik etnis Bali dengan gaya musik Barat dan lahirlah lagu-lagu fenomenal seperti Chopin Larung dan Bali Agung.
Guruh Gipsy, begitu nama grup musik tersebut. Meski hanya melahirkan satu album, tapi album itulah batu pijakan Chrisye dan Guruh dalam melangkah ke dunia pop Indonesia. Setelah itu, mereka berdua keluar dari cangkang dan berhasil menyabet segudang award dan prestise dari mana-mana. Album Badai Pasti Berlalu rilisan 1977 menyabet peringkat pertama dalam daftar “150 Album Indonesia Terbaik” menurut majalah Rolling Stone Indonesia tahun 2007 dan telah beberapa kali mengalami gubahan aransemen, yang pertama oleh Erwin Gutawa dan kedua oleh Andi Rianto. Sedangkan Guruh berhasil mempopulerkan kreatifitas dan bakatnya dengan melahirkan Swaramaharddhika dan Gank Pengangsaan. Meski sayang, konsistensinya dalam seni diputus dengan masuknya Guruh ke dalam dunia politik.
Sebagai pengagum Chrisye, saya ingin bercerita lebih tentangnya. Namun, ada hal lain yang lebih krusial untuk dibahas, yakni revolusi dalam budaya musik tersebut dan nantinya dalam budaya pada umumnya.
Kiblat awal pop Indonesia yang menjadi hits adalah Koes Bersaudara atau Koes Plus, yang lagu-lagunya sudah diputar di RRI sebelum Guruh Gipsy. Tapi perlu diketahui, lain jenis musik, maka lain pula gaya dan warna yang berkembang.
Memang pada era 70-an, musik yang populer saat itu adalah pop. Menjelang akhir era 80-an, para pemuda lebih menggandrungi musik-musik thrash metal. Sebuah perkembangan gaya musik metal yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy metal, hasil pengaruh dari band-band kondang seperti Metallica, Slayer, Exodus dan semacamnya. Ini baru dilihat dari perspektif perkembangan sejarah music di Indonesia. Tapi disayangkan, sepertinya lagu-lagu Pop modern sudah terkontaminasi oleh permintaan pasar. Meski tema yang diangkat sama, kisah asmara dan cinta, tetapi lagu-lagu pop sekarang sangat mendayu-dayu (meminjam istilah dari Efek Rumah kaca) dan sarat dengan nuansa lebay yang kurang perlu.
Ini baru perkembangan singkat sejarah musik di Indonesia, dimana musik sendiri adalah produk kebudayaan yang lahir dari keterlibatan pelbagai faktor. Ambil contoh, lagu daerah. Dengan sekian ratus adat majemuk yang tersebar di seantero Nusantara, terdapat perbedaan dari selera, watak masyarakat sekitar, faktor geologis, dinamika penduduk dan perubahan ideologi dari satu adat ke yang lain. Lagu-lagu daerah yang berkembang di Sumatra sangat berbeda dengan Jawa misalkan, atau Sulawesi dengan Kalimantan dan Lombok.
Lagu-lagu itu pun berevolusi sering perkembangan zaman. Dalam hal ini, lebih menekankan keterpengaruhan dari kebudayaan masyarakat lain. Musik rap yang dahulunya berbahasa Inggris, mampu diadaptasi dengan baik oleh masyarakat Indonesia dan membuat musik rap dengan bahasa nasional. Selepas beberapa waktu, masyarakat daerah pun tak mau kalah. Musik-musik rap berbahasa daerah mulai meluas kemana-mana. Ini disebut juga dengna istilah demonstration effect, dimana terjadinya pertemuan antara dua kebudayaan yang berbeda dan pengaruh salah satunya dapat diterima dengan kesadaran dan tanpa paksaan. Lawannya adalah cultural animosity. Dalam hal ini, jika suatu kebudayaan mempunyai taraf yang lebih tinggi dari kebudayaan lain, maka akan muncul proses imitasi yang lambat laun unsur-unsur kebudayaan asli dapat bergeser atau diganti oleh unsur-unsur kebudayaan baru tersebut.
Lantas apakah cultural animosity ini sudah menjangkiti masyarakat Indonesia? Iya. Pergeseran makna pop menjadi alay seperti yang tertampang di media-media cetak maupun visual, sudah menjadi bukti. Apalagi dengan munculnya boy/girl band yang lebih menjual tampang daripada estetika seni dalam lagu-lagu mereka. Ini baru seni, musik terutama. jangan sampai Indonesia terkenal imej-nya senang memplagiat dan meniru hasil budaya negara lain tapi dari sisi negatif.
Sekarang, kita tarik ke permasalahan yang lebih luas, yaitu akulturasi dan evolusi budaya serta pengaruhnya dalam masyarakat, baik kesenjangan maupun kesejahteraan sosial. Otomatis tidak bisa menggeneralisir bahwa semuanya menghasilkan kebaikan, tapi juga tidak melulu sebaliknya. Lucunya, jangan sampai kebudayaan dalam suatu masyarakat berubah regresif.
Ambil contoh, penindasan yang terjadi masa Orba oleh militer terhadap kebebasan beraspirasi dan berpendapat. Masyarakat belajar bahwa otoritas diktator dan tekanan militer akan selalu supresif dan tidak pernah berubah jika masyakat sendiri tidak merubahnya dari dalam. Setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya rezim Soeharto pun runtuh. Diikuti oleh tersingkapnya keburukannya dalam masa kepemerintahan. Begitu juga dengan beberapa revolusi yang terjadi pada beberapa negara Timur Tengah belakangan ini. Bisa dibilang, gejolak tersebut muncul karena kebosanan dan ketidakpuasan.
Sayangnya, tidak selamanya perubahan yang terjadi berdampak positif. Contoh dalam seni, seperti yang telah saya singgung di atas. Jika digeser kepada tatanan sosial, maka kita akan mendapatkan revolusi dan beberapa hal lain. Tentunya nanti terdapat suatu perubahan yang bersinggungan dengan sosialisasi, dan proses waktu menuju perfeksi hasil revolusi yang dibutuhkan tidaklah singkat. Dalam proses tersebut, sangat menjanjikan akan terjadinya beberapa gonjang-ganjing yang cukup riskan. Di Negeri Kinanah ini misalkan, selama hasil yang diharapkan masih belum tercapai, otomatis masyarakat harus beradaptasi cepat dan terus berusaha untuk menutupi seluruh kekurangan yang muncul dalam revolusi mendadak, baik dalam segi keamanan, ekonomi, maupun yang lain.
Tapi bisa dilihat, jika masyarakat Indonesia setelah revolusi mampu beradaptasi dengan ideologi demokratis yang telah diusung di tengah-tengah tekanan Orba, mungkin tidak begitu dengan Mesir. Terlihat kekuatan intra-militer yang melemah dan kurangnya kesadaran beberapa elemen masyarakat dalam turut meramaikan demokrasi. Begitu pun hal-nya dengan ekonomi. Seperti yag dikutip dari beberapa media online Mesir, beberapa sumber devisa negara dalam pemasukan turis serta pertambahan saham oleh pihak-pihak asing dalam aset-aset di Mesir menurun. Tetapi pakar ekonom menyimpulkan hal ini bersifat sementara. Bagaimanapun juga, jika tiga stabilisasi dalam tiga aspek: pemerintah, militer dan parlemen pada sebuah negara sudah terpenuhi, maka tata negara yang baik akan berlangsung dan kemakmuran masyarakat bisa terjamin. Tapi tentunya perubahan secara instan sangatlah utopis. Masa kurun waktu yang beresiko sekarang ini menantang masyarakat Mesir untuk menggenapi kematangan ideologi dan kesiapan mental mereka.
Tidak bisa dipungkiri, sebenarnya dalam perubahan budaya, seharusnya memunculkan efek positif, tetapi jika efek yang muncul belum mampu diterima oleh masyarakat, atau diterima mentah-mentah tanpa adanya benteng idealism untuk menyaringnya, yang terjadi adalah chaos. Menurut Ensiklopedi Geografi Jilid 4, 2006, seharusnya hasil dalam perubahan budaya sebagai hasil akulturasi maupun kemauan sendiri, adalah terbentuknya pola pikir yang lebih ilmiah dan rasional lalu munculnya tatanan kehidupan masyarakat baru yang lebih modern dan ideal. Tapi bukan berarti menghapus hal-hal baik yang sudah menjadi ‘adah muhakkamah. Yang baru diterima, yang lama ditinggalkan. Ini berlaku dalam semua aspek dari produk kebudayaan, baik ilmu, seni, politik, maupun yang lain. Jangan sampai seperti pepatah: ‘Habis manis sepah dibuang.’ Jika pemikiran setiap individu seperti ini, mungkin kebudayaan sebuah negara pada masa mendatang bakal menjadi parodi.
Guruh Gipsy, begitu nama grup musik tersebut. Meski hanya melahirkan satu album, tapi album itulah batu pijakan Chrisye dan Guruh dalam melangkah ke dunia pop Indonesia. Setelah itu, mereka berdua keluar dari cangkang dan berhasil menyabet segudang award dan prestise dari mana-mana. Album Badai Pasti Berlalu rilisan 1977 menyabet peringkat pertama dalam daftar “150 Album Indonesia Terbaik” menurut majalah Rolling Stone Indonesia tahun 2007 dan telah beberapa kali mengalami gubahan aransemen, yang pertama oleh Erwin Gutawa dan kedua oleh Andi Rianto. Sedangkan Guruh berhasil mempopulerkan kreatifitas dan bakatnya dengan melahirkan Swaramaharddhika dan Gank Pengangsaan. Meski sayang, konsistensinya dalam seni diputus dengan masuknya Guruh ke dalam dunia politik.
Sebagai pengagum Chrisye, saya ingin bercerita lebih tentangnya. Namun, ada hal lain yang lebih krusial untuk dibahas, yakni revolusi dalam budaya musik tersebut dan nantinya dalam budaya pada umumnya.
Kiblat awal pop Indonesia yang menjadi hits adalah Koes Bersaudara atau Koes Plus, yang lagu-lagunya sudah diputar di RRI sebelum Guruh Gipsy. Tapi perlu diketahui, lain jenis musik, maka lain pula gaya dan warna yang berkembang.
Memang pada era 70-an, musik yang populer saat itu adalah pop. Menjelang akhir era 80-an, para pemuda lebih menggandrungi musik-musik thrash metal. Sebuah perkembangan gaya musik metal yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy metal, hasil pengaruh dari band-band kondang seperti Metallica, Slayer, Exodus dan semacamnya. Ini baru dilihat dari perspektif perkembangan sejarah music di Indonesia. Tapi disayangkan, sepertinya lagu-lagu Pop modern sudah terkontaminasi oleh permintaan pasar. Meski tema yang diangkat sama, kisah asmara dan cinta, tetapi lagu-lagu pop sekarang sangat mendayu-dayu (meminjam istilah dari Efek Rumah kaca) dan sarat dengan nuansa lebay yang kurang perlu.
Ini baru perkembangan singkat sejarah musik di Indonesia, dimana musik sendiri adalah produk kebudayaan yang lahir dari keterlibatan pelbagai faktor. Ambil contoh, lagu daerah. Dengan sekian ratus adat majemuk yang tersebar di seantero Nusantara, terdapat perbedaan dari selera, watak masyarakat sekitar, faktor geologis, dinamika penduduk dan perubahan ideologi dari satu adat ke yang lain. Lagu-lagu daerah yang berkembang di Sumatra sangat berbeda dengan Jawa misalkan, atau Sulawesi dengan Kalimantan dan Lombok.
Lagu-lagu itu pun berevolusi sering perkembangan zaman. Dalam hal ini, lebih menekankan keterpengaruhan dari kebudayaan masyarakat lain. Musik rap yang dahulunya berbahasa Inggris, mampu diadaptasi dengan baik oleh masyarakat Indonesia dan membuat musik rap dengan bahasa nasional. Selepas beberapa waktu, masyarakat daerah pun tak mau kalah. Musik-musik rap berbahasa daerah mulai meluas kemana-mana. Ini disebut juga dengna istilah demonstration effect, dimana terjadinya pertemuan antara dua kebudayaan yang berbeda dan pengaruh salah satunya dapat diterima dengan kesadaran dan tanpa paksaan. Lawannya adalah cultural animosity. Dalam hal ini, jika suatu kebudayaan mempunyai taraf yang lebih tinggi dari kebudayaan lain, maka akan muncul proses imitasi yang lambat laun unsur-unsur kebudayaan asli dapat bergeser atau diganti oleh unsur-unsur kebudayaan baru tersebut.
Lantas apakah cultural animosity ini sudah menjangkiti masyarakat Indonesia? Iya. Pergeseran makna pop menjadi alay seperti yang tertampang di media-media cetak maupun visual, sudah menjadi bukti. Apalagi dengan munculnya boy/girl band yang lebih menjual tampang daripada estetika seni dalam lagu-lagu mereka. Ini baru seni, musik terutama. jangan sampai Indonesia terkenal imej-nya senang memplagiat dan meniru hasil budaya negara lain tapi dari sisi negatif.
Sekarang, kita tarik ke permasalahan yang lebih luas, yaitu akulturasi dan evolusi budaya serta pengaruhnya dalam masyarakat, baik kesenjangan maupun kesejahteraan sosial. Otomatis tidak bisa menggeneralisir bahwa semuanya menghasilkan kebaikan, tapi juga tidak melulu sebaliknya. Lucunya, jangan sampai kebudayaan dalam suatu masyarakat berubah regresif.
Ambil contoh, penindasan yang terjadi masa Orba oleh militer terhadap kebebasan beraspirasi dan berpendapat. Masyarakat belajar bahwa otoritas diktator dan tekanan militer akan selalu supresif dan tidak pernah berubah jika masyakat sendiri tidak merubahnya dari dalam. Setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya rezim Soeharto pun runtuh. Diikuti oleh tersingkapnya keburukannya dalam masa kepemerintahan. Begitu juga dengan beberapa revolusi yang terjadi pada beberapa negara Timur Tengah belakangan ini. Bisa dibilang, gejolak tersebut muncul karena kebosanan dan ketidakpuasan.
Sayangnya, tidak selamanya perubahan yang terjadi berdampak positif. Contoh dalam seni, seperti yang telah saya singgung di atas. Jika digeser kepada tatanan sosial, maka kita akan mendapatkan revolusi dan beberapa hal lain. Tentunya nanti terdapat suatu perubahan yang bersinggungan dengan sosialisasi, dan proses waktu menuju perfeksi hasil revolusi yang dibutuhkan tidaklah singkat. Dalam proses tersebut, sangat menjanjikan akan terjadinya beberapa gonjang-ganjing yang cukup riskan. Di Negeri Kinanah ini misalkan, selama hasil yang diharapkan masih belum tercapai, otomatis masyarakat harus beradaptasi cepat dan terus berusaha untuk menutupi seluruh kekurangan yang muncul dalam revolusi mendadak, baik dalam segi keamanan, ekonomi, maupun yang lain.
Tapi bisa dilihat, jika masyarakat Indonesia setelah revolusi mampu beradaptasi dengan ideologi demokratis yang telah diusung di tengah-tengah tekanan Orba, mungkin tidak begitu dengan Mesir. Terlihat kekuatan intra-militer yang melemah dan kurangnya kesadaran beberapa elemen masyarakat dalam turut meramaikan demokrasi. Begitu pun hal-nya dengan ekonomi. Seperti yag dikutip dari beberapa media online Mesir, beberapa sumber devisa negara dalam pemasukan turis serta pertambahan saham oleh pihak-pihak asing dalam aset-aset di Mesir menurun. Tetapi pakar ekonom menyimpulkan hal ini bersifat sementara. Bagaimanapun juga, jika tiga stabilisasi dalam tiga aspek: pemerintah, militer dan parlemen pada sebuah negara sudah terpenuhi, maka tata negara yang baik akan berlangsung dan kemakmuran masyarakat bisa terjamin. Tapi tentunya perubahan secara instan sangatlah utopis. Masa kurun waktu yang beresiko sekarang ini menantang masyarakat Mesir untuk menggenapi kematangan ideologi dan kesiapan mental mereka.
Tidak bisa dipungkiri, sebenarnya dalam perubahan budaya, seharusnya memunculkan efek positif, tetapi jika efek yang muncul belum mampu diterima oleh masyarakat, atau diterima mentah-mentah tanpa adanya benteng idealism untuk menyaringnya, yang terjadi adalah chaos. Menurut Ensiklopedi Geografi Jilid 4, 2006, seharusnya hasil dalam perubahan budaya sebagai hasil akulturasi maupun kemauan sendiri, adalah terbentuknya pola pikir yang lebih ilmiah dan rasional lalu munculnya tatanan kehidupan masyarakat baru yang lebih modern dan ideal. Tapi bukan berarti menghapus hal-hal baik yang sudah menjadi ‘adah muhakkamah. Yang baru diterima, yang lama ditinggalkan. Ini berlaku dalam semua aspek dari produk kebudayaan, baik ilmu, seni, politik, maupun yang lain. Jangan sampai seperti pepatah: ‘Habis manis sepah dibuang.’ Jika pemikiran setiap individu seperti ini, mungkin kebudayaan sebuah negara pada masa mendatang bakal menjadi parodi.
0 comments:
Post a Comment