Saya sangat menikmati sekali. Malam, dimana yang lain khusyuk beribadah kepada-Nya dan kita termasuk di dalam kerumunan tersebut, kemudian pada penghujungnya, menyusul ikrar "Merdeka!" seperti yang dikumandangkan pada 67 tahun silam dari sekelompok manusia yang berdiri rapat bersama. Mereka terhormat. Mereka siap. Mereka kunci masa depan. Mereka penggoyang, ah maaf, penggoncang dunia!
Itu kemarin. Hanya beberapa saat sebelum jarum jam berdentang dua belas kali dan pekik takbir berdendang memekakkan seisi aula. Aula yang pada sejatinya mungkin sanggup membendung hingga dua ratus kepala manusia, tetapi pada idealisme dan semangat terbakar yang saya lihat mencuat hingga keluar dari jendela dan tumpah ke jalanan Su'q Sayyarot, saya skeptis. "Kok bisa pesimis gitu?" Atapnya bakal roboh, saya jawab. Bagaimana tidak? Jika sedari awal riuh segunung ide saling tumpang tindih, berputar-putar, meliuk-liuk, lalu bak angin topan yang kasat mata, mendobrak hati per orang dan menyadarkan mereka akan kehampaan. Mungkin bukan atap saja yang roboh. Tapi kebodohan yang mengakar di kelam hati muslim Indonesia, bisa tercabut, terbang, hilang! lantang hati saya berteriak waktu itu, disambut mulut-mulut yang menganga.
Ah, maafkan bahasa saya yang berapi-api. Tapi memang tidak bisa menafikan analogi, tatkala sebuah ide sudah bertengger di kepala, akan sulit terlepas kecuali oleh kehendak empunya sangkar. Pada malam itu, di Aula Griya KSW, Rumah Budaya AKAR menampilkan sebuah acara. Saya tidak mau bermulut manis hanya sekedar memuji kehebatan dan kesuksesan acara tersebut. Tapi dibalik sesuatu yang besar, pasti ada penyangga ide yang jauh lebih besar. Di sini, saya berusaha mengupas konsep tersebut satu persatu.
Tema yang diangkat adalah "Merdeka atau Kaya Raya." Ah, semoga pisau yang saya gunakan untuk mengupas ini benar tajam adanya. Jadi begini, acara dibuka dengan rentetan formalitas biasa. Kemudian sebuah lagu. Lantas seorang Tabrani Basya maju ke depan dan memaksa hadirin untuk berdiskusi dengan hati masing-masing. Apakah benar kita sudah merdeka? Nah, merdeka dari siapa? Merdeka dari apa? Mari melatih diri melawan hipokrit.
Sudah menjadi pemahaman umum bahwa hak seseorang terbatasi oleh hak orang lain. Kewajiban seseorang juga pastinya tergeneralisirkan dengan paradigma sosial, dimana kewajiban dalam konteks ini merupakan kewajiban seorang manusia antar sesama. Pertanyaan menarik yang muncul adalah kewajiban sosial sebagai penghidupan. Dalam garis bawah, penghidupan yang menghidupi, bukan hanya menghidupi satu indivdu tapi juga lingkungan dan sekitarnya. Tapi semisal ada antitesis, "Ya suka-suka dong, maunya seseorang itu seperti apa. Mau kaya sendiri kek, mau senang sendiri kek, mau galau sendiri kek. Bukannya itu hak? Kalau anda menyalahkan saya, justru HAM yang sedang anda tentang."
Sebenarnya tidak sepicik itu, kawan. Hak seseorang memang tidak terbatasi kafan sekalipun, tapi terbentur dengan hak-hak lain yang masing-masing berteriak, "Sama penting." Tiap pribadi pasti punya kepentingan masing-masing. Masalahnya, jika setiap pribadi hanya terus mementingkan kepentingannya sendiri tanpa memperdulikan kepentingan-kepentingan lain di sekitarnya, akan lahir di masa mendatang, calon generasi apatis nan egois yang bakal mengejar kepuasan hedonisme semata. Mereka beranak-pinak, memiliki cucu, mati meninggalkan idealisme korup, dan terus begitu jika tidak terjadi pembenahan di tengah-tengah. Dan jika keadaan ini berlanjut, akan jadi siklus. Lantas Indonesia mati. Rakyat menjerit. Pribadi-pribadi korup bermental materialis bermulut manis semakin jelalatan kemana-mana. Umbar janji, cekik leher, batin puas, kemudian meludah.
Jikalau hal itu terjadi, tolong cepat bangunkan saya dari mimpi buruk paling horor yang pernah saya alami. Pasalnya, jika kasus tersebut terjadi hanya dalam skala kecil, maka boleh manusia bersombong, "Ah, paling cuma tetangga yang itu-itu aja nantinya bakal protes." Tapi jika sudah terjadi pada skala nasional, imbasnya juga pada infrastruktur tatanan negara tersebut. Dalam hal ini, Indonesia. Taruhlah orang-orang yang berpikir sekedar untuk mengisi rekening mereka dalam wadah rakyat jelata yang hanya sekedar mengiba. Rakyat cuma bisa mengharap dan meminta. Para materialis itu malah semakin mendongakkan kepala. Kan, egois.
Padahal dalam Islam sendiri sudah gamblang tersampaikan bahwa salah satu tujuan risalah Nabi SAW adalah sebagai rahmat bagi sekalian alam, baik umat pemeluk Islam maupun non-muslim, bahkan mencakup hewan dan benda-benda tak bernyawa. Dalam tataran sosial, Allah SWT mewajibkan kaum berada untuk turut membantu golongan papa. Bahkan Dia akan meminta pertanggungjawaban kepada orang kaya jika ada tetangganya yang mati karena tak mampu mengisi perutnya. Oleh karena itu, tataran individual dalam Islam sengaja saya kaitkan di sini,mengingat mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam dan ketersangkutpautan dengan 'kekayaan' sebagai momok bukan tujuan. Atau boleh sebagai tujuan, tapi hanya dalam garis bawah, mensejahterakan sesama, bukan cuma perutnya dan semata keluarga atau kolega. Sosial itu seluruh, bukan segolongan-segolongan. Masak Indonesia mau kita segiempatkan. Kita masih satu bangsa kan?
Saya teringat, Yusuf al-Qaradhawi, salah satu pemuka agama di Mesir, pernah menyatakan pada tahun 1415 H, “Salah satu keistimewaan sistem Islam adalah tidak terpisahnya politik, ekonomi dan akhlak, seperti halnya tidak rusaknya perpaduan sinergis antara ilmu dan akhlak.” Saya mohon maaf jika terlalu mengintegralkan masyarakat Indonesia hanya kepada penduduk Muslim saja, padahal harusnya majemuk dan tidak me-nyegiempat-kan seperti perkataan saya di atas. Tapi saya meminta izin untuk mengutip perkataan ulama tersohor ini, karena memang betul begitu. Tiga faktor penting yang menentukan tinggi rendahnya tingkat moralitas suatu bangsa ya bisa dilihat dari tatanan politik, sistem ekonomi yang dilakui, serta akhlak tiap individu. Jika politik sekedar menjadi ajang cari pamor, timbun harta, rebut kuasa, disambut gayung dengan sistem ekonomi yang konon 'campuran' tapi kental dengan nuansa kapitalis. Hancur bangsa. Yang lahir bukannya generasi cemerlang tapi malah generasi apatis. Generasi ular. Generasi egois. Ah, semoga saya tidak sedang menggunjing generasi tua sekarang ataupun yang muda.
Jujur, saya takut. Jika para 'kita' sekedar melaksanakan upacara bendera untuk ritualitas, itu juga yang mau saja. Lomba 17 Agustus-an juga ritualitas. Belum lagi pada tahun ini, peringatan kemerdekaan yang begitu sakral jatuh di bulan yang lebih sakral lagi, Ramadhan. Puasa sekedar rutinitas, tuan puan semua? Atau mungkin ritualitas? Pada awal jatuh bulan, semua berbondong-bondong ke masjid. Saling berlomba mengisi shof terdepan. Seiring beralih waktu, yang ada semakin hilang. Yang semula giat, kemudian lenyap. Oh, ternyata maksud awal sering Tarawih cuma pengen tampil kece. Cari gebetan baru, tuan puan? Atau malah setelah sholat langsung hang out? Berduaan lagi? Berpegangan tangan lagi? Ini yang muda-mudi. Meski beberapa lain ada juga yang menghabiskan waktu sekedar nongkrong di tepi jalan sambil merokok dan banyak lagi yang tidak berjam'ah bukan karena ada udzur, tapi menyengajakan. Lebih parah. Di rumah, mata tertatap pada monitor, tidak bisa terlepas. Fenomena yang saya sendiri pernah menjalani dan mengakui, karenanya saya mencibir diri sendiri dan kita semua.
Pada intinya, semua kembali ke niat masing-masing. Makna kemerdekaan hanya berbuah semu jika tidak diiringi dengan perilaku dan perlakuan untuk bersama memajukan bangsa, bukan hanya perut dan pantat saja. Makna Ramadhan bukan sekedar menjadi suci hanya dalam satu bulan, kemudian lepas, lalu liar, kembali binar, banal. Bukan. Ramadhan dan revolusi, keduanya adalah wajan proses. Manusia dimasukkan ke sana, api jiwa dibakar, entah nanti jadinya setengah matang, enak, atau malah gosong, bukan tergantung lamanya memasak tapi kualitas hati dan kekentalan tekad yang jadi penentu. Cara menilainya juga bukan sehari atau dua hari setelah dimasak, alias hari H, melainkan seminggu, dua bulan, sampai dua belas bulan ke depan dimana kita kembali menjadi bahan yang akan dimasak di wajan yang sama.
Jadi pertanyaan terakhir, dan inilah kulit yang belum bisa saya kupas: "Sudahkah kita menjadi pribadi yang bermanfaat bagi diri sendiri, lingkungan, negara dan agama?" Kali ini saya menolak untuk membenturkan tanya ke dinding dan sengaja melepasnya ke angkasa luas.
Itu kemarin. Hanya beberapa saat sebelum jarum jam berdentang dua belas kali dan pekik takbir berdendang memekakkan seisi aula. Aula yang pada sejatinya mungkin sanggup membendung hingga dua ratus kepala manusia, tetapi pada idealisme dan semangat terbakar yang saya lihat mencuat hingga keluar dari jendela dan tumpah ke jalanan Su'q Sayyarot, saya skeptis. "Kok bisa pesimis gitu?" Atapnya bakal roboh, saya jawab. Bagaimana tidak? Jika sedari awal riuh segunung ide saling tumpang tindih, berputar-putar, meliuk-liuk, lalu bak angin topan yang kasat mata, mendobrak hati per orang dan menyadarkan mereka akan kehampaan. Mungkin bukan atap saja yang roboh. Tapi kebodohan yang mengakar di kelam hati muslim Indonesia, bisa tercabut, terbang, hilang! lantang hati saya berteriak waktu itu, disambut mulut-mulut yang menganga.
Ah, maafkan bahasa saya yang berapi-api. Tapi memang tidak bisa menafikan analogi, tatkala sebuah ide sudah bertengger di kepala, akan sulit terlepas kecuali oleh kehendak empunya sangkar. Pada malam itu, di Aula Griya KSW, Rumah Budaya AKAR menampilkan sebuah acara. Saya tidak mau bermulut manis hanya sekedar memuji kehebatan dan kesuksesan acara tersebut. Tapi dibalik sesuatu yang besar, pasti ada penyangga ide yang jauh lebih besar. Di sini, saya berusaha mengupas konsep tersebut satu persatu.
Tema yang diangkat adalah "Merdeka atau Kaya Raya." Ah, semoga pisau yang saya gunakan untuk mengupas ini benar tajam adanya. Jadi begini, acara dibuka dengan rentetan formalitas biasa. Kemudian sebuah lagu. Lantas seorang Tabrani Basya maju ke depan dan memaksa hadirin untuk berdiskusi dengan hati masing-masing. Apakah benar kita sudah merdeka? Nah, merdeka dari siapa? Merdeka dari apa? Mari melatih diri melawan hipokrit.
Sudah menjadi pemahaman umum bahwa hak seseorang terbatasi oleh hak orang lain. Kewajiban seseorang juga pastinya tergeneralisirkan dengan paradigma sosial, dimana kewajiban dalam konteks ini merupakan kewajiban seorang manusia antar sesama. Pertanyaan menarik yang muncul adalah kewajiban sosial sebagai penghidupan. Dalam garis bawah, penghidupan yang menghidupi, bukan hanya menghidupi satu indivdu tapi juga lingkungan dan sekitarnya. Tapi semisal ada antitesis, "Ya suka-suka dong, maunya seseorang itu seperti apa. Mau kaya sendiri kek, mau senang sendiri kek, mau galau sendiri kek. Bukannya itu hak? Kalau anda menyalahkan saya, justru HAM yang sedang anda tentang."
Sebenarnya tidak sepicik itu, kawan. Hak seseorang memang tidak terbatasi kafan sekalipun, tapi terbentur dengan hak-hak lain yang masing-masing berteriak, "Sama penting." Tiap pribadi pasti punya kepentingan masing-masing. Masalahnya, jika setiap pribadi hanya terus mementingkan kepentingannya sendiri tanpa memperdulikan kepentingan-kepentingan lain di sekitarnya, akan lahir di masa mendatang, calon generasi apatis nan egois yang bakal mengejar kepuasan hedonisme semata. Mereka beranak-pinak, memiliki cucu, mati meninggalkan idealisme korup, dan terus begitu jika tidak terjadi pembenahan di tengah-tengah. Dan jika keadaan ini berlanjut, akan jadi siklus. Lantas Indonesia mati. Rakyat menjerit. Pribadi-pribadi korup bermental materialis bermulut manis semakin jelalatan kemana-mana. Umbar janji, cekik leher, batin puas, kemudian meludah.
Jikalau hal itu terjadi, tolong cepat bangunkan saya dari mimpi buruk paling horor yang pernah saya alami. Pasalnya, jika kasus tersebut terjadi hanya dalam skala kecil, maka boleh manusia bersombong, "Ah, paling cuma tetangga yang itu-itu aja nantinya bakal protes." Tapi jika sudah terjadi pada skala nasional, imbasnya juga pada infrastruktur tatanan negara tersebut. Dalam hal ini, Indonesia. Taruhlah orang-orang yang berpikir sekedar untuk mengisi rekening mereka dalam wadah rakyat jelata yang hanya sekedar mengiba. Rakyat cuma bisa mengharap dan meminta. Para materialis itu malah semakin mendongakkan kepala. Kan, egois.
Padahal dalam Islam sendiri sudah gamblang tersampaikan bahwa salah satu tujuan risalah Nabi SAW adalah sebagai rahmat bagi sekalian alam, baik umat pemeluk Islam maupun non-muslim, bahkan mencakup hewan dan benda-benda tak bernyawa. Dalam tataran sosial, Allah SWT mewajibkan kaum berada untuk turut membantu golongan papa. Bahkan Dia akan meminta pertanggungjawaban kepada orang kaya jika ada tetangganya yang mati karena tak mampu mengisi perutnya. Oleh karena itu, tataran individual dalam Islam sengaja saya kaitkan di sini,mengingat mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam dan ketersangkutpautan dengan 'kekayaan' sebagai momok bukan tujuan. Atau boleh sebagai tujuan, tapi hanya dalam garis bawah, mensejahterakan sesama, bukan cuma perutnya dan semata keluarga atau kolega. Sosial itu seluruh, bukan segolongan-segolongan. Masak Indonesia mau kita segiempatkan. Kita masih satu bangsa kan?
Saya teringat, Yusuf al-Qaradhawi, salah satu pemuka agama di Mesir, pernah menyatakan pada tahun 1415 H, “Salah satu keistimewaan sistem Islam adalah tidak terpisahnya politik, ekonomi dan akhlak, seperti halnya tidak rusaknya perpaduan sinergis antara ilmu dan akhlak.” Saya mohon maaf jika terlalu mengintegralkan masyarakat Indonesia hanya kepada penduduk Muslim saja, padahal harusnya majemuk dan tidak me-nyegiempat-kan seperti perkataan saya di atas. Tapi saya meminta izin untuk mengutip perkataan ulama tersohor ini, karena memang betul begitu. Tiga faktor penting yang menentukan tinggi rendahnya tingkat moralitas suatu bangsa ya bisa dilihat dari tatanan politik, sistem ekonomi yang dilakui, serta akhlak tiap individu. Jika politik sekedar menjadi ajang cari pamor, timbun harta, rebut kuasa, disambut gayung dengan sistem ekonomi yang konon 'campuran' tapi kental dengan nuansa kapitalis. Hancur bangsa. Yang lahir bukannya generasi cemerlang tapi malah generasi apatis. Generasi ular. Generasi egois. Ah, semoga saya tidak sedang menggunjing generasi tua sekarang ataupun yang muda.
Jujur, saya takut. Jika para 'kita' sekedar melaksanakan upacara bendera untuk ritualitas, itu juga yang mau saja. Lomba 17 Agustus-an juga ritualitas. Belum lagi pada tahun ini, peringatan kemerdekaan yang begitu sakral jatuh di bulan yang lebih sakral lagi, Ramadhan. Puasa sekedar rutinitas, tuan puan semua? Atau mungkin ritualitas? Pada awal jatuh bulan, semua berbondong-bondong ke masjid. Saling berlomba mengisi shof terdepan. Seiring beralih waktu, yang ada semakin hilang. Yang semula giat, kemudian lenyap. Oh, ternyata maksud awal sering Tarawih cuma pengen tampil kece. Cari gebetan baru, tuan puan? Atau malah setelah sholat langsung hang out? Berduaan lagi? Berpegangan tangan lagi? Ini yang muda-mudi. Meski beberapa lain ada juga yang menghabiskan waktu sekedar nongkrong di tepi jalan sambil merokok dan banyak lagi yang tidak berjam'ah bukan karena ada udzur, tapi menyengajakan. Lebih parah. Di rumah, mata tertatap pada monitor, tidak bisa terlepas. Fenomena yang saya sendiri pernah menjalani dan mengakui, karenanya saya mencibir diri sendiri dan kita semua.
Pada intinya, semua kembali ke niat masing-masing. Makna kemerdekaan hanya berbuah semu jika tidak diiringi dengan perilaku dan perlakuan untuk bersama memajukan bangsa, bukan hanya perut dan pantat saja. Makna Ramadhan bukan sekedar menjadi suci hanya dalam satu bulan, kemudian lepas, lalu liar, kembali binar, banal. Bukan. Ramadhan dan revolusi, keduanya adalah wajan proses. Manusia dimasukkan ke sana, api jiwa dibakar, entah nanti jadinya setengah matang, enak, atau malah gosong, bukan tergantung lamanya memasak tapi kualitas hati dan kekentalan tekad yang jadi penentu. Cara menilainya juga bukan sehari atau dua hari setelah dimasak, alias hari H, melainkan seminggu, dua bulan, sampai dua belas bulan ke depan dimana kita kembali menjadi bahan yang akan dimasak di wajan yang sama.
Jadi pertanyaan terakhir, dan inilah kulit yang belum bisa saya kupas: "Sudahkah kita menjadi pribadi yang bermanfaat bagi diri sendiri, lingkungan, negara dan agama?" Kali ini saya menolak untuk membenturkan tanya ke dinding dan sengaja melepasnya ke angkasa luas.
1 comments:
Syukron
October 8, 2012 at 4:38 AMPost a Comment