"Maka sebuah ucap tanpa aksi pun lebih parah daripada sekedar kentut."
Yang disampaikan oleh apa-apa dalam dunia permainan, dunia perfilman, dunia fiksi - meskipun mengandung pernyataan kenyataan, tetap saja sifatnya fiktif. Kita dihibur sebuah gumam. Igauan, obrolan, rileksasi mata atau apalah itu, semuanya hanya pengejewantahan ide kreatif orang. Jika kita hanya terus mengonsumsi tanpa memproduksi, atau sekedar balas gumam tanpa menghadirkan kristalisasi ide kreatif lain sebagai pembanding, lantas apa nilai diri, kalau bukan kosong? Kosong bukanlah nol, yang masih bisa disubstraksi, eliminasi ataupun apalah, mediasi plus - minus. Kosong ya kosong. Cawan yang kosong selalu bisa diisi bukan? Tapi tanpa 'isi', bahkan untuk anjing sekedar melongok ke dalam tong sampah yang kosong pun ia enggan.
Ini tentang ideologi. Sebuah 'rasa', kata teman.
Pernah ada keyakinan diri yang menekankan, hiburan-hiburan itu adalah bentuk pelarian. Kita ingin hidup sebagai model. Fitrah manusia ingin dikenal, para psikolog modern itu yang bilang. Tapi tidak banyak yang sadar, 'menempuh usaha' yang sekedar dilempar ke takdir, itu pelampiasan. Frustrasi, lebih tepat. Atau malas? Karena banyak rasa malas yang mendatangkan kegagalan. Dan bagaimana kita bisa gagal sebelum memulai, jika memang gagal adalah nilai? Rupanya kosong bersifat lebih destruktif daripada sekedar gagal, karena sebelum kegagalan pun masih ada usaha.
Kembali lagi ke kosong. Manusia-manusia kosong yang berbicara kosong. Dipuji susah, dihina pun untuk apa. Kita harus akui nilai manusia-manusia kosong, ya cuma kosong! Dan kosong bukanlah nol, rujuk analogi di atas. Hanya sedikit yang menyadari bahwa diri barulah kosong. Tanpa nilai, tanpa ide, tanpa aksi, sekedar bual. Cawan hampa yang sedikit kecipratan cat lukis, eh dikira pelangi.
Bahkan jika tulisan ini dianggap bernilai, hemat pribadi, tidak. Konon tulisan yang apik musti berlapiskan data. Di sini tidak ada, isinya curhatan. Nilainya dan si penulis juga masih kosong. Duduk seorang bhuta dengan kaki mengangkang, lalu terlelap dengan keringat menetes dikira hujan. Asam, padahal.
0 comments:
Post a Comment