Pernyataan bahwa setiap orang bisa hidup berbahagia setiap waktu, itu omong kosong. Kenyataannya, setiap orang memiliki permasalahan masing-masing. Terlepas apakah orang lain mengetahui atau tidak, apakah sang pemilih masalah memilih mengundang simpati dari khalayak atau tidak. Hemat saya, dan saya akui sifat pribadi memang egois... masalahku, ya masalahku. Masalahmu, itu urusanmu. Lakukan apa yang terbaik untuk dirimu, dan saya pun begitu.
Tapi tentu saja, bukankah manusia diciptakan untuk saling bekerjasama? Berbagi pengalaman? Tenggang rasa kalau pelajaran PPKn dulu pernah bicara. Tapi tentunya, semua orang pasti mengalami sebuah titik di mana kepercayaan menjadi krisis. Kebergantungan menjadi titik dilematis. Hanya kepadaNya kita kembali, maka hanya kepadaNya pula kita berharap. Tapi tentu saja, ini solusi paling subjektif dan sangat tidak relevan. Tunggu, perintah tersebut sangat syar'i da masuk akal, tapi jangan dibawa ke titik ekstrim. Mengingat, sebenarnya masih ada orang yang pastinya ikhlas membantu kita, jikalau kita meminta tolong mereka.
Ah, harga diri. Jadi harga diri yang dipermasalahkan sekarang.
Kamu bilang, harga dirimu terlalu tinggi, sampai-sampai diberi empati sama saja seperti menjatuhkan 'harga' tersebut.
Tapi tentu tidak. Ada permasalahan lain selain berkutat dengan harga-harga. Sejauh mana para 'pembantu' itu mengerti permasalahan yang kita hadapi? Sedalam mana mereka mengerti perspektif kita? Setinggi apa mereka mengerti apa yang bakal kita tuntut dari bantuan mereka?
Pada dasarnya, manusia itu unik. Mereka hidup untuk bergotong royong, begitu kata Soekarno saat merintis Indonesia. Tapi manusia juga individu idealis yang pastinya memiliki harapan, cita dan doa yang berbeda. Manusia bisa saja saling membantu, tapi itu sebatas kulit. Isi hati manusia lebih dalam dari palung yang terdalam. Meski diteliti denga sonar mata batin atau proyeksi psikologis tercanggih sekalipun, nilai yang tertangkap hanya awang-awang.
Pada dasarnya, dia hanya ingin mengungkapkan, benci dengan keluh kesah berserak. Dirinya sendiri, dan lainnya. Mereka semua hanyalah manusia normal. Ah tolong, itu kicau-kicau sudah berputar jadi beliung. Bisa ditambahkan api? Biar bergelora.
Tapi tentu saja, bukankah manusia diciptakan untuk saling bekerjasama? Berbagi pengalaman? Tenggang rasa kalau pelajaran PPKn dulu pernah bicara. Tapi tentunya, semua orang pasti mengalami sebuah titik di mana kepercayaan menjadi krisis. Kebergantungan menjadi titik dilematis. Hanya kepadaNya kita kembali, maka hanya kepadaNya pula kita berharap. Tapi tentu saja, ini solusi paling subjektif dan sangat tidak relevan. Tunggu, perintah tersebut sangat syar'i da masuk akal, tapi jangan dibawa ke titik ekstrim. Mengingat, sebenarnya masih ada orang yang pastinya ikhlas membantu kita, jikalau kita meminta tolong mereka.
Ah, harga diri. Jadi harga diri yang dipermasalahkan sekarang.
Kamu bilang, harga dirimu terlalu tinggi, sampai-sampai diberi empati sama saja seperti menjatuhkan 'harga' tersebut.
Tapi tentu tidak. Ada permasalahan lain selain berkutat dengan harga-harga. Sejauh mana para 'pembantu' itu mengerti permasalahan yang kita hadapi? Sedalam mana mereka mengerti perspektif kita? Setinggi apa mereka mengerti apa yang bakal kita tuntut dari bantuan mereka?
Pada dasarnya, manusia itu unik. Mereka hidup untuk bergotong royong, begitu kata Soekarno saat merintis Indonesia. Tapi manusia juga individu idealis yang pastinya memiliki harapan, cita dan doa yang berbeda. Manusia bisa saja saling membantu, tapi itu sebatas kulit. Isi hati manusia lebih dalam dari palung yang terdalam. Meski diteliti denga sonar mata batin atau proyeksi psikologis tercanggih sekalipun, nilai yang tertangkap hanya awang-awang.
Pada dasarnya, dia hanya ingin mengungkapkan, benci dengan keluh kesah berserak. Dirinya sendiri, dan lainnya. Mereka semua hanyalah manusia normal. Ah tolong, itu kicau-kicau sudah berputar jadi beliung. Bisa ditambahkan api? Biar bergelora.
0 comments:
Post a Comment