Kalau dulu kita selalu
diwanti-wanti oleh orang tua untuk tidak pergi bermain selepas Maghrib,
anak-anak Mesir bebas bermain setelah Isya selama dalam pengawasan. Kalau dulu
main kelereng, atau nekeran, setiap anak punya gacoan – kelereng pilihan
yang biasanya jadi andalan untuk menembak – kelereng yang anak-anak Mesir
mainkan, biasa saja; hijau bening, polos tanpa motif, dan ukurannya pun sedikit
lebih kecil dari kelereng yg biasa kita mainkan. Mereka tidak punya gacoan.
Gaya permainan mereka juga sama.
Ada banyak jenisnya, tapi dasarnya sama, menembakkan kelereng kita ke kelereng
lawan, dan bagi saya menembak kelereng dengan tangan itu susah sekali. Saya
ingat betul, dulu pas kecil selalu berlatih sendiri di rumah, bahkan beberapa
sahabat sampai rela datang ke rumah hanya untuk mengajarkan cara menembak
kelereng. Tetap saja, tak ada hasil.
Maka ketika saya melihat ada
beberapa anak Mesir bermain kelereng depan toko al-Kheir, Bawabat dua, tawa dan muka serius mereka melempar saya
kembali ke masa lalu.
Saya benci bermain kelereng.
Benci karena kalahan. Tapi karena sakin bosannya diolok-olok kawan, saya pun
memutar otak bagaimana agar tidak menjadi anak bawang. Tidak perlu menang,
hanya untuk membuat mereka mengakui bahwa saya tidak sepecundang seperti yang mereka
bilang.
Suatu hari saya menemukan komik
berjudul Super B-Daman di rental komik.
Para karakter dalam manga Super B-Daman |
Ceritanya menarik. Sebagai
seorang anak tentu saya menyukai kisah petualangan, persahabatan, kerja keras,
kisah penebusan dosa, atau kisah-kisah mengandung moral yang mudah dipahami.
Wajar, karena mental seorang anak menyukai sesuatu yang sederhana dan mudah
dicerna. Semakin beranjak dewasa, kisah-kisah polos dengan bedak moral yang
terlalu tebal malah membuat mual.
Untungnya, kisah dalam komik
Super B-daman itu dikemas dengan beberapa plot twist yang cukup asyik dalam
mata kanak-kanak. Saya bisa mengkhatamkan 15 jilid dalam hitungan jam dan hanya
berhenti untuk sholat atau jika diingatkan makan.
Kemudian dua bulan lalu,
gara-gara percakapan di kantor, saya iseng jelajah Tokopedia dan Bukalapak
karena penasaran buku-buku apa saja yang mereka jual. Sekian lama
melihat-lihat, tanpa sengaja saya menemukan komik yang sangat tidak asing,
Super B-daman. Saya cengengesan, langsung saja saya kontak penjualnya tanpa
pikir panjang. Bukan karena ceritanya yang sangat terkenang, saya membelinya
untuk alasan nostalgik lain.
Komik itu berhasil membuat saya dari dari pecundang, bukan, bukan jadi pemenang seperti slogan-slogan buku motivasi, tapi trensetter.
Bayangkan, pada tahun tersebut Jepang
sudah memikirkan sebuah alat untuk bermain kelereng dengan sebuah alat
berbentuk humanoid, dikemas dengan aksesoris yang menarik, warna-warni, dan
bisa digunakan untuk menembak keras, pelan, lurus atau belok, sesuai dengan
part yang dipasang. Saat itu saya sama sekali tidak beranggapan bahwa Jepang
benar-benar hebat dalam merevolusi sesuatu, tetapi yang ada di pikiran polos
saya, alat ini bisa membantu saya untuk menang main kelereng. Meski
kenyataannya tidak semulus itu.
Saya berniat untuk menunjukkan
B-Daman ke kawan-kawan yang selalu mengolok-olok saya. Cuma jika saya membawa
B-Daman untuk nekeran, maniak kelereng sejati pasti akan berkata, main
kelereng bukan dengan menjentikkan jari itu bukan main kelereng namanya, dan
hampir semua kawan saya seperti itu. Berarti untuk mengubah pola pikir mereka,
dibutuhkan pendekatan halus. Saatnya menyusun rencana.
Saya sering sekali jalan-jalan ke
toko buku terutama Gramedia. Tidak lain karena pada saat itu kita bisa membaca
komik atau novel lain dengan gratis, tidak seperti sekarang. Ketika jalan-jalan
ke sana, saya menemukan mainan Super B-Daman. Alhamdulillah! Saya lihat
harganya, 25ribu. Dengan jatah uang jajan saya saat itu, berarti bisa menabung
selama dua bulan baru bisa beli. Setelah berhasil membelinya, saya langsung
mempraktekkan teknik-teknik yang saya pelajari dari komik. Kebanyakan berhasil.
Saya berlatih diam-diam, sengaja tidak menunjukkannya kepada kawan-kawan lain.
Orang tua saja tidak tahu.
Kemudian saya berpikir,
teman-teman doyan baca manga. Bagaimana jika komik Super B-Daman ini
mereka baca dan mari kita lihat bagaimana reaksinya. Sesuai perkiraan,
benar-benar seperti anak 90-an yang dapat stiker huruf N dari permen karet
Yosan. Banyak yang kesengsem dengan B-Daman yang ada di komik sampai-sampai di
sekolah pasti berceletuk: power shot, canon shot, drive shot,
dan istilah-istilah lain dari komik. Saya senyum-senyum sendiri.
Baru beberapa hari setelahnya,
saya membawa B-Daman untuk bermain. Pertama-tama banyak yang melarang, terutama
kakak kelas. Mereka berdalih menggunakan alat untuk bermain kelereng itu
curang. Maklum, mereka tidak baca komik. Saya tetap ngotot, kawan-kawan lain
yang sudah saya cuci otak turut membela. Tapi tetap saja, namanya anak kecil
tentu takut jika sudah kena ancam tidak boleh lagi bermain bareng. Saya kecewa
tapi nyali tidak ciut.
Saat mereka bermain, saya coba
tembak kelereng yang mereka mainkan dari pinggir jalan. Saya coba power shot yang sudah saya sering latih.
Meski jarak saya saat itu cukup jauh untuk permainan kelereng, tetap saja saya
tembakkan. Pasti kena, toh, saya punya B-Daman.
Sialnya, gagal. Tidak ada satu
kelereng pun yang kena. Saya misuh-misuh dalam hati. Tapi gara-gara
tembakan ngasal barusan, pandangan teman-teman beralih ke B-Daman di tangan.
Raut muka mereka menampakkan ekspresi heran, kesal, dan kaget, campur aduk.
Saya ambil ancang-ancang lagi,
kali ini dengan benar-benar mengukur jarak dan sudut tembakan, dan kena!
Sebagian dari mereka langsung bertepuk tangan dan menghampiri saya sambil
berkata, eh kok bisa, coba dong, coba dong. Dengan senyum culas saya
menjelaskan ke mereka, bermain kelereng dengan B-Daman jauh lebih seru karena
bisa menembak lebih jauh, lebih tepat sasaran. Sistem permainan bisa lebih
dikembangkan dan tentu lebih banyak cara untuk bermain, lebih banyak tantangan.
Tidak semua setuju. Mengubah
permainan yang kadung mendarah daging sama susahnya seperti DPR untuk mengubah
RUU yang jelas-jelas ambigu. Kelompok kami terpisah menjadi dua, yang tertarik
bermain B-Daman atau kukuh dengan permainan tradisional. Kebanyakan yang tidak
berani keluar dari zona nyaman adalah rombongan kakak kelas yang keras kepala,
atau kurang tertarik menonton dan membaca. Kami memisahkan diri dari mereka dan
mencoba meniru permainan seperti yang ada di komik. Seperti dugaan, ternyata
seru sekali.
Bagian yang paling saya ingat
sampai sekarang adalah ketika kami mencoba mereplika pertarungan antara Tamago
dan Sara. Mereka menggiring kelereng mereka sesuai jalur di sebuah bukit
terjal. Di bawah guyuran hujan, mereka berlomba siapa paling cepat menembak
sasaran yang terdapat di bawah bukit.
Di kampung kami tidak ada bukit,
yang banyak sawah. Untuk mengakalinya, karena di kampung kami saat itu banyak
pembangunan rumah baru, banyak sekali gundukan pasir di tepi jalan. Bagi kami
yang masih imut-imut, gundukan pasir setinggi dua meter lebih sudah seperti
bukit. Kami membangun jalur-jalur di atasnya, dilengkapi jebakan-jebakan dan
jalur-jalur buntu agar lebih seru. Permainan hanya boleh dilakukan dengan
B-Daman, dan karena pada saat itu masih belum banyak yang tertarik untuk
membeli (kalah saing dengan tamiya dan tamagotchi berbentuk Digivice)
maka B-Daman yang cuma dua, dipakai bergantian. Tentu saja saat menggunakan
alat yang sama, pemenang ditentukan dari kemampuan dan banyaknya latihan.
Pemenang sudah ditentukan sejak awal permainan.
Kawan-kawan semakin ketagihan,
kami pun memutar otak bagaimana permainan ini bisa dikembangkan, dan tentu agar
pemenang bukan lagi cuma satu orang. Kami mulai bermain di mana-mana, di jalanan,
di gundukan pasir, di sawah, di sekolah, bahkan di pelataran masjid. Ya meski
sering dimarahi oleh bapak-bapak, kami berdalih tidak bermain ketika waktu
sholat. Maklum, bocah. Kami juga semakin memperbanyak tantangan dan rintangan
di setiap permainan, jadi kita tertantang untuk tidak bermain dengan menembak
lurus saja, tetapi bagaimana caranya menembak agar bisa melewati lubang,
gundukan, dan banyak lagi.
Semakin lama kabar permainan kami
semakin tersebar seantero kampung, para kakak kelas dan beberapa kawan yang
semula tidak tertarik juga mulai melirik-lirik. Mereka minta bergabung,
walhasil permainan kelereng tradisional berubah jadi bermain B-Daman.
Sayangnya, permainan tersebut
hanya bertahan beberapa lama. Semakin banyak permainan luar yang merasuki otak
anak-anak, dari Beyblade, Crush Gear, apalagi permainan virtual seperti Game
Boy dan PlayStation. Akhirnya kami membagi waktu bermain jadi dua, satu untuk
bermain B-Daman, satu lagi bermain PS. Meski semakin lama, kawan-kawan beralih
ke permainan virtual saja, termasuk saya. Tidak apa-apa, B-Daman saya juga
sudah rusak. Konyol sebenarnya menceritakan alasan rusaknya B-Daman saya, jadi
sengaja tidak saya bahas.
Yang jelas, hidung saya selalu
memanjang setiap mengingat bahwa saya berhasil menularkan virus B-Daman ke
anak-anak kampung. Sampai sekarang, saya juga sadar. Jika kita bersikeras
dengan prinsip dan idealisme kita, meski semula ditentang oleh kebanyakan
orang, satu hal yang bisa kita lakukan adalah lawan! Tidak usah takut untuk
tidak dianggap atau mundur karena gengsi, utarakan apa yang ingin disampaikan,
jika tidak atau belum diterima, susun rencana, bicarakan lagi. Semua butuh
proses, tidak ada yang instan. Semua itu sudah saya pelajari sejak SD dari
B-Daman. Dan ketika semua rencana tersusun dan tereksekusi rapi, ingat ucapan Kapten Hannibal dalam film The A-Team?
"I love it when a plan comes together."
"I love it when a plan comes together."
0 comments:
Post a Comment