Ilustrasi dari 'Dream of Butterfly' milik Zhuang Zi |
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, mari kembali pada tahun 1961. Pada penghujung hidupnya, Carl Gustav Jung menulis sebuah artikel (yang dicetak pada sebuah bunga rampai pada sebuah buku bertajuk, 'Man and His Symbols') mengangkat krusialnya fungsi mimpi seorang manusia dalam menentukan jati dirinya. Selama ini mimpi selalu memproyeksikan beberapa simbol, tetapi lantas apakah simbol tersebut bisa serta merta dianalisa hanya dengan mengacu kepada sebuah buku dan mencari kemiripan simbol yang muncul dalam mimpi di buku tersebut? Tentu tidak dan tidak akan bisa.
Dalam dunia simbol, kita mengenal simbol kolektif dan simbol individual (pernah saya bahas pada tulisan sebelumnya yang berjudul 'Ikon'). Simbol kolektif tentunya representasi dari simbol dari kesadaran majemuk dan menyatakan bahwa simbol tersebut memiliki makna umum yang bisa diketahui bersama, seperti: tengkorak sebagai simbol kematian, matahari sebagai simbol kehidupan, dan pelbagai simbol lainnya terutama dari pelbagai mitologi kuno. Sedangkan simbol individual ditampilkan sebagai corak khusus manifestasi diri untuk menunjukkan ego. Contoh paling lugas dan simpelnya, jika sebuah perusahaan membutuhkan logo yang unik untuk merepresentasikan 'wajah' mereka kepada masyarakat, maka tiap orang memiliki tanda tangan yang baik dari guratan, garis lengkung, tekanan, sudut tajam, dan banyak faktor lain pastinya berbeda antara si A dengan B dan seterusnya (rujuk ke grafologi untuk informasi lebih lanjut) ataupun pelbagai atribut yang melekat pada tubuh yang menandakan bahwa inilah trademark mereka.
Maka mimpi, sekali lagi, adalah proyeksi simbolik yang ingin ditunjukkan alam bawah sadar kepada kesadaran. Meski dalam dua mimpi atau lebih terdapat kesamaan simbol di dalamnya misalkan, dalam mengintepretasikannya musti merujuk ke personalia masing-masing. Setiap individu memiliki pengalaman, kenangan, pembelajaran, idealisme dan sisi religius yang berbeda, maka tidak mungkin kita menafsirkan semua simbol kunci dan lubang kunci dengan hasrat seksual seperti yang dikemukakan Freud, tetapi Jung mengembalikan mimpi kepada si empunya. Ada titik tolak yang berbeda untuk setiap personalia. Bisa jadi lambang kunci dan lubang kunci menunjukkan satu hasrat seksual untuk mereka yang berlibido tinggi, dan bermakna harapan, kesejahteraan dan kesahajaan untuk lainnya, seperti yang dituangkan Campin dalam lukisannya pada sebuah altar di abad ke-15.
Terkadang mimpi juga beralih menjadi sebuah pengingat. Lihat kasus pasien yang mengalami gangguan neurotik, disosiatif amnesia misalkan. Mereka mengalami gangguan ingatan jangka panjang karena suatu trauma atau musibah yang pernah dialaminya, sehingga otak akan melakukan apa saja sebagai bentuk mekanisme defensif diri untuk menutup akses ke memori tersebut dengan sangat kuat: menguburnya dengan beragam memori yang indah misalkan, atau semacamnya. Tetapi ketika dia berada dalam sikon yang sama sesuai dengan pemicu awal amnesianya (kejadian buruk tersebut) kesadaran akan tetap memblokir utuh akses ke memori buruk tersebut, tetapi alam bawah sadar akan menuntun si pasien untuk menyelamatkan diri agar tidak terjerembap di situasi yang sama dengan memberikan rambu-rambu. Bisa dengan mimpi, ataupun secara sadar, ketika dia tidak tahu harus melakukan apa tapi secara intuitif tergerak untuk berbuat sesuatu dengan spontan.
Dalam kasus sadar (bukan dalam ketidaksadaran seperti mimpi), peristiwa ketika seseorang secara alamiah mampu merepresi memori akan suatu hal, bisa disebut dengan 'lupa yang disengaja'. Freud mendeskripsikannya sebagai kumpulan memori yang benar-benar siap untuk ditanggalkan. Nietzsche juga dengan lugas menggambarkan, 'Where pride is insistent enough, memory prefers to give away.' Para psikolog modern menyebutnya sebagai: a repressed contents; tenggelamnya sebuah ide yang dinilai buruk oleh diri ke dalam alam bawah sadar sebagai mekanisme pertahanan diri.
Contoh paling mudah daru keadaan realita sekitar, seperti halnya seorang sekretaris yang sedikit iri kepada koleganya. Dalam setiap pesta atau rapat, sekretaris ini seringkali lupa untuk mengundang 'si kolega'. Bahkan ketika ditegur atau dilabrak, sekretaris ini dengan simpelnya berkata 'lupa' atau 'sorry, pikiran saya teralihkan'. Dia hanya enggan atau memang secara tidak sadar tidak ingin mengakui faktor dasar kelupaannya adalah karena iri hati karena si kolega tersebut adalah anak emas bos-nya.
Begitu pula dalam mimpi. Simbol kolektif mengenal pelbagai simbol dari mitologi kuno, juga banyaknya kemiripan peristiwa yang memiliki gambaran umum yang sama. Mimpi-mimpi seperti: jatuh dari tempat tinggi, lari dari sesuatu atau seseorang, lari dengan kencang entah menuju apa, dalam keadaan lemah tak berdaya terjebak di tengah-tengah konflik atau sebuah pertempuran, bertempur melawan sesuatu dengan sangat spektakuler, dan sebagainya. Ada kemiripan dari faktor penyebab psikologis di sana akan mengapa dan bagaimana seseorang bermimpi akan salah satu dari kejadian di atas.
Semisal, mimpi terjatuh dari suatu tempat yang sangat tinggi, atau mimpi melayang di udara, baik terbang dengan bebas ataupun terjatuh ke tanah, kemudian terasa sakit atau tidak. Ada beberapa kemungkinan faktor yang menyebabkan munculnya mimpi ini. Pertama, bisa jadi orang tersebut sedang mengerjakan sebuah perkara dengan ekspektasi melebihi kapasitas yang ia mampu. Kemungkinan kedua, hampir sama dengan kemungkinan pertama, hanya saja hasil yang ditargetkan lebih mendekati mustahil dan benar-benar meninggalkan jejak realistis. Sedangkan kemungkinan ketiga, orang tersebut terlalu berjumawa menganggap diri sendiri lebih tinggi daripada orang di sekitarnya, entah mungkin dalam pekerjaan yang digeluti atau lingkungan sekitarnya, dan dia menganggap bahwa tidak ada yang bisa melebihinya.
Tentunya, dalam menganalisa sebuah mimpi, satu dari sekian kemungkinan yang ada memiliki probabilitas yang sama dalam skala prioritas faktor pemicu. Bisa jadi, seseorang yang bermimpi jatuh dari sebuah tempat tinggi, memiliki salah satu dari tiga kemungkinan di atas sebagai pemicu psikologis, atau bisa jadi tidak sama sekali dan penyebab tersebut sangat berkaitan dengan kehidupan pribadi si pemimpi. Karenanya, Jung selalu mengulang-ulang nasehat berikut kepada para muridnya, "Pelajarilah simbolisme secara totalitas, tetapi dalam menganalisa mimpi pasienmu, sejauh mungkin tinggalkan apa yang telah kamu pelajari dari simbolisme." Dibutuhkan sesi terapi, dialog, rangkaian tes, komunikasi akrab, rasa keterpercayaan, untuk menimbulkan suatu pemahaman global terhadap personalia pasien secara menyeluruh.
Sayangnya, perkembangan manusia menuju arah modernisme, ketika penolakan terhadap agama semakin kentara, dan bahkan dalam post-modernisme dengan pelbagai interpretasi skeptisnya, malah seringkali memisahkan antara kesadaran dengan insting paling dasar pada kejiwaan manusia, baik dari ketakutan (terkadang dibutuhkan agar seseorang tidak berlaku ceroboh), dan beberapa insting lain terutama kehausan spiritual. Tradisi urban menuntut --hingga taraf memaksa-- manusia untuk lebih mengedepankan rasionya, berpikir serba realistis dan pragmatis. Walhasil, krisis yang dipaparkan oleh Jung sebagai 'terciptanya manusia-manusia plastik' yang bahkan karena terlalu lelah bekerja dan pemikiran yang serba sempit dalam memandang sesuatu ini, sanggup memaksa pikiran untuk tidak lagi memproduksi mimpi sebagai pengingat alamiah dari alam bawah sadar untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan oleh kesadaran.
Contoh gampangnya, mimpi-mimpi yang telah dijelaskan di atas seperti: jatuh, lari, terbang dan lain sebagainya. Dalam buku The Cambridge Companion to Jung, salah satu Jungian bernama Sherry Salman memberi contoh lain dalam kasus analisa mimpi sebagaimana berikut: Ada seorang lelaki yang terlibat dalam beberapa pekerjaan 'gelap'. Lambat laun tanpa disengaja, alam bawah sadarnya mengembangkan sebuah hasrat kompulsif akut untuk mendaki gunung dengan areal yang sangat terjal dan berbahaya. Pria itu ingin sekali untuk melawan keterbatasan dirinya. Memang, tidak ada yang salah dalam melawan keterbatasan diri, tetapi ketika hasrat tersebut muncul secara spontan, menggebu-gebu, terlalu lepas kendali dan tidak ada pedal untuk mengerem, hasrat tersebut dapat membunuh diri secara perlahan dalam bentuk yang tak terduga. Pernah pada suatu malam, dia bermimpi mendaki gunung, saat tiba-tiba dia kehilangan pijakan dan jatuh menuju ruang hampa. Saat pria tersebut bercerita kepada psikolognya, Jung sudah menangkap ada indikasi berbahaya di sana, dan mewanti-wantinya untuk tidak menuruti egonya. Naas, enam bulan setelah itu, pria tersebut benar-benar 'terjatuh menuju ruang hampa' dalam pendakian sebuah gunung yang sangat terkenal akan kecuramannya.
Kisah di atas hanya satu dari sekian banyak kasus yang mengindikasikan mimpi sebagai proyeksi simbolik yang berfungsi menjadi pengingat bawah sadar kepada diri, Lantas kembali lagi pada pertanyaan paling awal, apakah bisa mimpi memunculkan sebuah ide dari alam bawah sadar semerta-merta?
Saya kira hampir kebanyakan orang tidak asing dengan film Inception. Film spektakuler garapan Christopher Nolan ini menawarkan banyak hal terkait psikoanalisa, implanting, pola arketipal, pikiran bawah sadar, dan masih banyak lagi. Dalam salah satu misi utama sang protagonis, Cobb, mewajibkannya untuk menanamkan sebuah ide kepada rival bisnis kliennya, Robert Fischer, untuk menghancurkan dinasti bisnis yang susah-payah dibangun oleh Maurice Fisher, sang ayah dan rival dari Saito, klien Cobb. Tentunya, menanam sebuah ide tidaklah semudah memberi informasi kepada seseorang. Dibutuhkan konsep paling dasar yang sanggup dikembangkan oleh si empunya kepala. Begitu juga konsep tersebut tidak lantas berkembang dengan sendirinya, dibutuhkan perekat dan pemersatu ide yang berasal dari kompilasi seluruh peristiwa, kenangan, harapan, pengalaman dan pemikiran dari orang tersebut, dalam film ini: Robert Fischer. Di sinilah Earmes sebagai con-artist profesional, turut mengerahkan kemampuannya untuk mendekati Fishcher dengan jalan menyamar menjadi Browning, paman yang sangat ia percaya.
Arthur: Okay, this is me, planting an idea in your mind. I say: don't think about elephants. What are you thinking about?
Saito: Elephants?
Arthur: Right, but it's not your idea. The dreamer can always remember the genesis of the idea. True inspiration is impossible to fake.
Cobb: No, it's not.
|
Di buku tersebut terdapat bagian kisah yang menuturkan akan data perjalanan kapal yang bertuliskan sebuah insiden pada tahun 1686. Secara tidak disengaja, Jung pernah membaca kisah tersebut pada sebuah buku yang terbit pada tahun 1835, hampir separuh abad sebelum Nietzche melahirkan magnum opus-nya. Psikolog Jerman ini mulai menyadari kejanggalan tersebut saat ia menemukan gaya tulisan yang sangat berbeda pada Thus Spake Zarathustra, hanya pada bagian tertentu yang mengisahkan tentang insiden dalam sebuah data perjalanan kapal. Saat ia mencocokkannya dengan buku miliknya, tulisan yang ada sangatlah mirip, kata demi kata, bak plagiasi. Meskipun Nietzche sama sekali tidak pernah menulis referensi yang merujuk ke buku tersebut, saat Jung mengklarifikasikan hal itu kepada adik dari pencetus ungkapan terkenal 'Gott ist tot!' ini, sang adik mengaku bahwa mereka berdua pernah membaca buku tersebut saat Nietzche berumur 11 tahun. Bisa jadi, 50 tahun setelahnya, memori tersebut mencuat dari alam bawah sadar Nietzche saat gelombang sadarnya berada dalam keadaan sangat tenang, antara mimpi dan sadar, dan dia pun menuangkannya pada bukunya. Sungguh dahsyat memang, kehebatan sebuah otak ciptaan Allah SWT yang sebenarnya mampu mengungguli super komputer apapun, tergantung si pemakai apakah menggunakannya dengan benar atau sekedar menyia-nyiakannya.
Maka sebuah mimpi tidak akan hadir tanpa sebuah faedah yang mengiringi, baik proyeksi simbolik sebagai pengingat alam bawah sadar, maupun mimpi sebagai pencetus ide dari rekaman memori yang pernah ditangkap otak. Mimpi pun bisa hadir sebagai isyarat Tuhan alias ilham, yang hanya ditangkap oleh para nabi, ulama dan orang-orang saleh pilihan. Islam sama sekali tidak memungkiri hal ini, karena epistemologi menurut para ulama Mantiq, ada tiga: rasio, empirik dan wahyu atau ilham. Banyak kisah terabadikan dalam al-Quran, seperti mimpi nabi Ibrahim, mimpi nabi Yusuf, mimpi raja Mesir, mimpi Fir'aun, dan banyak lagi. Dalam penafsiran mimpi yang membawa isyarat ilahi, sepenuhnya kembali ke kepribadian dan sisi religius si pemimpi. Tidaklah mungkin seorang begal yang kesehariannya bermoral hitam, bermimpikan menjadi nabi kecuali mimpi tersebut dibawakan oleh syetan. Bahkan Tafsir al-Ahlam milik Ibn Thulun juga tidak bisa semata-mata menjadi pedoman dalam mengintepresikan mimpi, karenanya jangan heran jika ada seseorang bermimpi A, mengira akan terjadi sesuatu seperti deskripsi dari mimpi A, nyatanya tidak.
Di dalam mimpi, seringkali kita berada dalam sebuah peristiwa, tanpa pernah mengingat bagaimana mulanya kita bisa sampai di sana. Di dalam mimpi, bisa jadi kita menjadi seorang manusia superior bak superhero di kisah-kisah fiktif, meski di realita hanyalah seorang lemah tak berdaya. Mimpi adalah sahabat yang acapkali dibenci atau diacuhkan, meski menyikapinya secara berlebihan tanpa ilmu yang cukup juga sangat tidak baik. Mimpi itu unik, selalu membawa aura enigmatis yang sangat khas. Siapa tahu saat serentak semua orang memimpikan hal yang sama, itu pertanda akan terjadi suatu kejadian yang bakal mengguncangkan semesta.
0 comments:
Post a Comment