Setiap penyayang kucing yang lewat di depan Pet Shop dan melihat ada binatang lucu nan menggemaskan, pasti hatinya akan tergugah. Meski kucing tidak disebutkan di dalam al-Qur’an, hewan mungil itu memiliki keistimewaan tersendiri dalam Islam, bahkan Rasulullah SAW dikisahkan memiliki seekor kucing yang diberi nama Muezza. Saking sayangnya dengan gumpalan berbulu satu ini, nabi SAW sampai memotong lengan jubahnya yang dipakai tidur oleh Muezza saat beliau hendak pergi ke masjid. Nabi SAW lebih memilih untuk memotong lengan jubahnya daripada membangunkan kucing kesayangannya.
Jual beli hewan ternak itu mubah,
kita bisa menemukan banyak dalil dalam Kitab atau Sunnah, ulama juga telah
sepakat. Manusia bisa memanfaatkan hewan ternak untuk bercocok tanam, memakan
daging dan meminum susunya, tetapi kucing adalah hewan rumahan. Berbeda dengan
anjing penjaga yang berfungsi menjaga rumah atau melacak bau, atau burung
bersuara indah yang bisa menghibur manusia dengan kicauan merdunya, kucing
seolah-olah tidak memiliki manfaat kecuali memang ras Feline terkenal sebagai
predator ulung. Beberapa ulama dari golongan tertentu mengatakan lebih baik
beli hewan ternak daripada kucing, hewan ternak jelas bermanfaat, kucing tidak
berguna. Lantas sebenarnya bagaimana hukum jual beli kucing?
Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, permasalahan tersebut harus dikaji dari pelbagai aspek, mulai dari
hukum jual beli, syarat benda yang bisa diperjualbelikan, sifat kucing itu
sendiri, membandingkan semua faktor, baru setelah itu kita bisa menarik
kesimpulan.
Semua jual beli yang tidak
berkaitan dengan riba hukumnya boleh, seperti yang tertera dalam QS Al-Baqarah
ayat 275. Hukum jual beli diperjelas kembali di dalam QS An-Nisa ayat 29, jual
beli apapun selain yang berkaitan dengan riba dan tidak dilarang syariat,
hukumnya boleh. Imam Asy-Syafi’ menjelaskan dalam magnum opus-nya di Al-Umm
dalam menjelaskan ayat 29 surat An-Nisa di atas, “Hukum asli jual beli itu
boleh terutama jika pembeli dan penjual sama-sama sepakat, kecuali apa-apa yang
telah dilarang oleh Rasulullah SAW dan yang semacamnya. Tetapi jika Rasulullah
SAW tidak melarang dan membiarkan, maka tidak apa-apa.”
Ada lima syarat barang yang boleh
diperjualbelikan menurut syariat, yaitu: barangnya berwujud, bersih atau suci,
bermanfaat, barang adalah milik penjual dan memungkinkan penyerahan barang baik
secara fisik atau tertulis dari penjual ke pembeli. Jual beli sesuatu yang
tidak bermanfaat jelas tidak sah hukumnya, seperti jual beli minuman keras atau
togel. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 219:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ
كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
Sedangkan hukum jual beli bagi
hewan yang bersih dan bermanfaat itu jelas mubah, seperti yang tertulis dalam
surat Luqman ayat 20 dan Al-Jatsiyah ayat 13. Begitu juga jual beli hewan yang
bersifat menghibur seperti burung, ikan hias, dll. Allah SWT menyinggung hal
tersebut dua kali, dalam QS Al-Nahl ayat 8 dan 14.
Imam Al-Rafi’i menjelaskan dalam
kitabnya Fathu al-Aziz, “Boleh melakukan jual beli hewan yang memiliki
manfaat, seperti: kuda dan keledai yang bisa ditunggangi, atau burung pipit,
merak, anak kucing dan monyet. Kita bisa terhibur bahkan kita bisa belajar dari
mereka.”
Menurut mazhab Syafi’i bulu dan
air liur anjing najis hukumnya, sehingga seorang Muslim yang menyentuh atau
terkena jilatan anjing harus mencuci tujuh kali salah satunya dengan mengusap
tanah. Sedangkan kucing domestik alias kucing rumahan, bulu dan air liurnya
tidak najis, berdasarkan hadits hasan sahih yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi:
إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ. Rasulullah SAW dengan tegas menyebut
kucing tidak najis, senada dengan mayoritas ulama dari golongan Sahabat, Tabi’in
dan diikuti seluruh imam dari empat madzhab.
Kita juga pasti pernah mendengar
hadits tentang seorang wanita yang masuk neraka gegara menyiksa kucing. Bukan
berarti wanita tersebut masuk neraka lantaran memelihara kucing, karena
memelihara burung dalam sangkar saja boleh hukumnya. Wanita keji tersebut dijebloskan
ke neraka gara-gara dia memelihara kucing, kemudian mengurung dan tidak memberinya
makan.
Sedangkan alasan beberapa ulama
mengharamkan jual beli kucing berdasarkan hadits:
عن أبي الزبير رضي الله عنه قال: "سَأَلْتُ جَابِرًا عَنْ
ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ. قَالَ: زَجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَآله وسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ
Diriwayatkan dari Abu Zubair
r.a., dia bertanya kepada Jabir r.a. tentang hukum jual beli anjing dan al-Sinnur.
Jabir r.a. menjawab, Rasulullah SAW melarang keras jual beli untuk dua hal
tersebut.
As-Sinnur dalam hadits di
atas bermakna kucing. Salah satu pendapat Maliki menyatakan hukum jual beli
kucing itu makruh berdasarkan hadits tersebut. Dzahiriyah malah menyatakan haram
hukumnya jual beli kucing karena lafaz زجر adalah bentuk larangan paling keras.
Mayoritas ulama justru berpendapat sebaliknya. Lafaz as-Sinnur bermakna
kucing liar alias kucing hutan. Berbeda dengan Dzahiriyah yang memukul rata
semua kucing baik kucing hutan atau kucing rumahan sama haramnya untuk
diperjualbelikan, mayoritas ulama berpendapat hanya kucing hutan atan kucing
gunung saja yang tidak berguna untuk dipelihara. Sesuatu yang tidak bermanfaat
tentu tidak sah diperjualbelikan secara syar’i.
Jumhur ulama juga berpendapat bahwa larangan dalam hadits di atas karena
secara umum binatang buas itu najis, dan kucing hutan digolongkan sebagai الوحشي alias binatang buas. Di dalam Al-Mughni
al-Muhtaj juga disebutkan, meski jual beli kucing tidak dilarang secara
mutlak, sangat dianjurkan untuk tidak menjual kucing tetapi memberikan kepada
orang lain karena begitulah ‘urf (tradisi) yang berlaku. Imam
Asy-Syarbini masih dalam Al-Mughni juga menambahkan, larangan dalam
hadits di atas jika kucing yang dimaksud bukan milik penjual atau tidak
mendatangkan manfaat bagi pembeli.
Sedangkan Syeikh ‘Ali Jumah juga pernah menjelaskan, jika karena suatu
hal kita tidak bisa membiarkan kucing di rumah dan tidak terlalu membutuhkan
uang, lebih baik jika memberikan kucing tersebut kepada orang lain tanpa minta
bayaran. Meski jual beli kucing secara syar’i diperbolehkan, lebih baik
mengikuti tradisi yang ada.
Team Anti Wildlife Crime (TAWC) yang bergerak dalam bidang penegakan hukum terhadap kriminalisasi binatang liar, diikuti Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di Indonesia juga mengamini pendapat tersebut. Mereka menindak tegas beberapa warga lokal di daerah Kalimantan Barat menangkapi kucing hutan untuk dijual. Padahal kucing hutan itu instingnya untuk hidup di alam liar, bukan jadi binatang peliharaan. Seekor hewan yang terbiasa hidup di alam bebas kemudian merasakan bagaimana sempitnya tinggal di dalam rumah dan kehilangan area berburu, bukan cuma kehilangan insting, bisa jadi mereka juga kehilangan kewarasannya. Makanya perdagangan hewan liar, seimut-imutnya mereka dan selicik-liciknya pembeli berkilah, secara hukum tidak boleh. Syariat mengakui hukum seperti ini sebagai sumber hukum dan mengadopsikannya ke banyak kaedah fikih.
Yang jelas jual beli kucing bukan haram karena tidak bermanfaat atau
lebih baik punya hewan ternak dibandingkan kucing seperti perkataan beberapa
ulama yang viral di YouTube. Kucing bisa digunakan untuk menjaga rumah dari
serangan tikus. Selain itu, bagaimana kita merawat peliharaan kita dengan kasih
saying dan perasaan bahagia yang muncul atas tingkah laku gumpalan bulu yang
menggemaskan tersebut adalah bukti syukur terhadap ciptaan Allah SWT.
﴿ذَلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ
الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ ۞ الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ
الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ﴾ [السجدة: 6-7]
Tulisan ini juga pernah dimuat di SanadMedia.